Demokrasi
para Bohir
Ahan
Syahrul Arifin ; Ketua PB HMI 2013-2015, Mahasiswa Pascasarjana
UI
|
KORAN
JAKARTA, 16 Juni 2014
Uang
dalam politik bagai dua sisi mata koin yang tak dapat dipisahkan. Tanpa uang,
aktivitas politik tidak dapat berjalan sesuai keinginan, apalagi tuntutan
sistem demokrasi langsung yang menghendaki dan memerlukan popularitas demi
elektabilitas tinggi. Ditambah lagi luas wilayah untuk bersosialisasi, konsolidasi,
dan kampanye di Indonesia. Uang akan sangat berperan besar dalam lalu lintas
dinamika politik.
Tanpa
uang, mesin partai, tim pemenangan, hingga relawan tidak mungkin dapat
bergerak dalam irama kontinu, berkesinambungan, dan holistik. Akan sangat tertatih
bagi siapa pun yang hendak mencalonkan diri tanpa bekal anggaran dana
mencukupi. Ambisi dan obsesi tak cukup untuk bertarung dalam ketatnya
kompetisi.
Uang
menjadi faktor yang paling berpengaruh karena dalam proses berpolitik terkait
kandidat, kerja, serta mesin kampanye. Semua itu, baru dapat bergerak dengan
maksimal apabila mendapat dukungan logistik dana yang kuat dan memadai.
Utamanya
dalam proses kampanye, uang akan sangat berpengaruh signifikan dalam
pemenangan sang calon. Kampanye, baik melalui iklan, tatap langsung, door to door, ataupun dialogis
memiliki pengaruh yang menentukan dalam menentukan hasil pemilu. Kampanye tak
akan maksimal berjalan tanpa uang sebagai sumber utama kekuatan politik dalam
memenangi demokrasi langsung.
Maraknya
korupsi kader-kader partai tidak lepas juga dari mahalnya ongkos politik.
Para kader mencari celah anggaran proyek-proyek APBN/APBD untuk kepentingan
biaya politik. Situasi ini juga berkaitan erat dengan tuntutan partai sebab
gaji mereka dipotong untuk sumbangan.
Dana kampanye termasuk isu sensitif terutama
terkait asal uang. Sangat mungkin, kasus-kasus pencucian uang dilakukan dalam
proses kampanye. Bahkan, uang hasil korupsi, keuntungan dari pasar gelap,
pengusaha hitam, hingga penjualan narkoba terbuka peluang disusupkan.
Pengaturan
dana kampanye untuk pileg dan pilpres memang agak berbeda. Sumbangan
perseorangan tidak boleh melebihi 1 miliar, sedangkan untuk badan usaha tidak
boleh di atas 5 miliar.
Dalam
penyampaiannya kepada KPU, pada pasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK tidak
ditemukan pelanggaran. Prabowo-Hatta melaporkan penerimaan tahap pertama
sesuai aturan KPU. Jumlah yang dilaporkan 10 miliar yang 5 miliar berasal
dari pasangan capres dan cawapres. Kemudian 4,8 miliar dari pihak ketiga
seperti badan usaha. Sisanya 200 juta dari simpatisan individu.
Sementara
itu, tim pasangan capres Jokowi-JK melaporkan penerimaan awal dana kampanye
ke KPU sebesar 44,9 miliar. Di mana 2,9 miliar berasal dari donasi
(masyarakat) yang digalang melalui rekening. Tidak dijelaskan secara
teroerinci penyumbang. Padahal, daftar nama penyumbang, alamat, dan identitas
penyumbang sangat dibutuhkan demi terciptanya transparansi.
Sandera
Keterbukaan
asal uang kampanye sangat penting. Jeffrey Winters mengatakan setelah Orde
Baru runtuh, muncul sebuah “oligarki liar”. Kelompok ini tidak bisa
ditertibkan pemerintahan dan hukum. Karakter demokrasi yang berjalan di
Indonesia bergerak dalam labirin korupsi elite yang tak pernah merasa puas
karena terus memburu rente.
Para pemodal
perlu akses politik untuk meningkatkan bisnis dan kekuasaan. Politik
dijadikan jalan pintas memperbesar pengaruh dan bisnisnya. Dengan model
tender proyek yang transparan dan wajib diketahui publik, sangat tidak
mungkin bagi para pemilik modal mengelabui. Maka, kongkalikong harus
dilakukan sejak awal, dari proses pemilihan.
Para
pemodal, mau tak mau, harus menjadi bohir bagi para politisi yang
menginginkan jabatan. Proses transaksi menjadi klop: politisi butuh jabatan,
tetapi tak memiliki modal, sedangkan pengusaha memiliki banyak uang dan butuh
pengembangan usaha dari proyek-proyek APBN/APBD maupun kebijakan-kebijakan.
Demokrasi
langsung menjadi pintu masuk kaum borjuasi untuk kembali memegang kendali.
Yang tak lazim dalam demokrasi langsung saat ini, prosesnya berjalan cepat,
sementara supremasi hukum dan pendidikan politik ketinggalan. Di sinilah,
kekuatan borjuasi menunggangi demokratisasi melalui penjinakan aparat-apara
hukum.
Edward
Aspinal menyebutkan aktor kunci yang melemahkan netralitas dan efisiensi
hukum di Indonesia adalah kekuatan-kekuatan bisnis yang berkolaborasi dengan
para penguasa. Kekuatan bisnis yang bermain di ranah politik tak hanya
terjadi di Indonesia. Menurut studi Lary M Bartels dari Pricenton University
(2004) tidak kurang dari 58,1 persen senator yang terpilih memiliki basis
pendanaan dari perusahaan.
Menurutnya,
ini bukan persoalan belas kasihan, melainkan ada udang di baliknya. Politikus
butuh dana, sementara pebisnis memerlukan kebijakan untuk menguatkan bisnis.
Dalam The Rise Capital, Robison
juga menyebutkan kekuatan revolusioner yang paling penting mengubah negara di
belahan dunia ketiga bukan lagi sosialisme atau komunisme, tapi kapitalisme.
Pemodallah yang pada akhirnya mutlak berkuasa.
Jalan Baru
Kembali
pada soal pilpres dan pendanaan, publik pantas tahu asal uang kampanye karena
akan menyangkut kebijakan-kebijakan mendatang, benar-benar untuk rakyat atau
hanya titipan pemodal. Ini penting agar publik bisa menjaga capres-cawapres
terpilih tetap berada dalam koridor visi dan misinya.
Langkah
Jokowi-JK mengumpulkan dana kampanye dari masyarakat patut diapresiasi. Ini
sebagai bentuk kontribusi, perjuangan, serta pertanggungjawaban kandidat
kepada pemilih dan penyumbang.
Gebrakan
tersebut dapat dinilai bahwa negara bukan sekadar terdiri dari para pemodal
dan penguasa, tetapi juga pergerakan dari kelas-kelas sosial lain. Bila para
penyumbang dari kelompok-kelompok kelas menengah yang ekonominya sudah mapan
akan lebih baik lagi. Jadi, banyak pendonor, bukan hanya pengusaha-pengusaha
besar. Dengan demikian, dapat diharapkan muncul budaya politik baru yang
menghiasi akhir masa transisi demokrasi Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar