Sabtu, 14 Juni 2014

Charles Darwin dan Prasangka Ateisme

Charles Darwin dan Prasangka Ateisme

Eko Wijayanto  ;   Dosen Filsafat Universitas Indonesia;
Doktor di Bidang Evolusi Kebudayaan
KOMPAS,  12 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
PADA suatu pagi, 24 November 1859, buku The Origin of Species karya Charles Darwin diterbitkan. Buku tersebut memuat teori evolusi. Dalam perkembangannya, muncul tuduhan bahwa keberadaan teori evolusi telah memengaruhi pemikiran mengenai tentang ateisme. Teori evolusi Darwin dituduh dapat mengikis kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang metafisik, termasuk kepercayaan terhadap Tuhan.

Kenyataannya, teori evolusi yang digagas Darwin tak berpretensi ateisme. Pretensi baru muncul ketika ilmuwan dan filsuf memikirkan implikasi sosiologis dan filosofis dari teori evolusi, seperti yang dilakukan oleh ilmuwan Richard Dawkins dan filsuf Daniel Dennett.

Daniel Dennett dan Richard Dawkins menulis dalam buku yang berbeda meskipun tahunnya sama. Daniel Denett menerbitkan buku Breaking the Spell, sedangkan Richard Dawkins menerbitkan The God Delusion. Kedua buku tersebut terbit pada tahun 2006.

Kedua buku itu berbicara tentang (1) status Darwinisme dan teori evolusi serta pengaruhnya terhadap dunia, (2) teori Charles Darwin yang membangkitkan ateisme ilmiah, serta (3) teori evolusi gagasan Darwin sebagai sarana reduktif kepercayaan kepada Tuhan.

Singkat kata, Darwinisme bisa menjadi semacam ”ideologi” yang mempunyai pengaruh besar terhadap masyarakat luas. Darwinisme menjadi sebuah landasan untuk menolak hal-hal yang tidak bersifat empiris, metafisik. Dengan kata lain, Darwinisme bisa menjadi amunisi pengetahuan untuk mendukung ateisme.

Antitesis observasi

Salah satu penganut Darwinisme adalah Richard Dawkins, penulis The God Delusion yang merupakan profesor zoology asal Oxford University. Sebagai seseorang yang ahli dalam bidang gen dan biologi, Dawkins memercayai keberadaan Darwinisme sebagai suatu teori yang mampu membantah observasi empiris dan keberadaan Tuhan.

Dawkins disebut sebagai orang yang mampu menggunakan biologi sekaligus orang yang menyalahgunakan biologi.

Dawkins menyimpulkan tiga cara untuk melihat dunia, yaitu Darwinism, Lamarckism, dan Ketuhanan. Lamarckism dan Ketuhanan dianggapnya tidak mempunyai penjelasan yang tepat tentang dunia.

Ketika masyarakat memercayai teori evolusi Darwin sebagai sebuah deskripsi mengenai realitas, Dawkins berpikir lebih untuk membuat Darwinisme sebagai penjelasan mengenai benda-benda dan seluruh hal-ihwal kehidupan.

Daniel Dennett, dosen filsafat asal Tufts University, berpendapat sama dengan Dawkins. Hanya saja, Dennett meneliti teori evolusi Darwin melalui pandangannya sebagai ahli filsafat.

Menurut dia, teori evolusi Darwin dapat membangkitkan kesadaran tentang ideologi evolusioner. Sebagai penganut Darwinisme, Dennet memercayai bahwa teori Darwin adalah kejelasan mengenai makna ruang dan waktu, serta sebab dan akibat. Artinya, Dennet juga percaya teori Darwin dapat mengikis kepercayaan lama tentang Tuhan.

Tentu saja ada yang berpendapat berbeda mengenai Darwinism—yang percaya bahwa sebuah teori mengenai dunia hanyalah bersifat sementara. Artinya, masih ada teori-teori biologi lain yang menjelaskan tentang keberadaan alam semesta dan kemungkinan memfalsifikasi teori evolusi Darwin.

Dengan demikian, Darwinisme pun lama-kelamaan hilang pengaruhnya dalam masyarakat, seperti yang terjadi pada teori-teori mengenai alam semesta sebelum Darwin. Kuncinya adalah dengan memercayai bahwa teori ilmiah hanyalah bersifat sementara.

Dawkins percaya, teori Darwin dapat menghilangkan keperluan atau kebutuhan tentang Tuhan. Sebelum Darwin, ilmuwan-ilmuwan memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap Tuhan.

Dawkins juga berkata bahwa Darwin telah menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap Tuhan hanyalah sebuah ”sentimental kosmik” (cosmic sentimentality), yaitu sebuah ungkapan untuk mengiming-imingi kehidupan dengan anugerah palsu. Sementara banyak kalangan, terutama teolog, membantah bahwa ilmu pengetahuan alam memiliki misi moral untuk membersihkan kehidupan.

Percaya Tuhan

Banyak pula peneliti yang secara gegabah menyimpulkan bahwa Darwin, sebagai pencetus teori evolusi, tidak percaya kepada Tuhan. Dengan begitu, dukungan Darwinisme sebagai intrinsik dari ateisme dapat meningkat.

Beberapa tulisan Darwin menyatakan bahwa dirinya bukanlah bagian dari Kristen Ortodoks, sebuah kepercayaan yang jaya pada masa hidupnya. Kenyataannya, Darwin perlahan-lahan menjadi ateis karena pada awalnya Darwin memercayai keberadaan Tuhan. Akan tetapi, belum ada penelitian konkret mengenai hal ini.

Meski demikian, teori Darwin terlalu besar jika hendak dihilangkan agar tidak memengaruhi ateisme. Paradigma Darwinian adalah paradigma yang mampu menjelaskan tentang alam semesta. Ilmu ini pun berkembang pesat dalam ranah biologis dan berperan besar dalam menjelaskan perkembangan kemanusiaan.

Beberapa pembelaan mengenai ateis dari sisi ilmu pengetahuan alam membuktikan bahwa pada dekade awal abad ke-21, kesan yang ditinggalkan adalah perdebatan mengenai keyakinan dan ilmu alam masih berlanjut.

Teori evolusi Darwin menjadi salah satu pemicu tersebut. Argumen tradisional mengenai terciptanya alam semesta oleh Tuhan (genesis) dibantah para Darwinisme dengan teori evolusi Darwin yang kemudian merambat menjadi pembantahan kepada gereja-gereja.

Oleh karena itu, Darwinisme kadang disebut sebagai ”Universal Acid”, yaitu asam yang mengikis kepercayaan terhadap benda-benda metafisik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar