Charles
Darwin dan Prasangka Ateisme
Eko
Wijayanto ; Dosen Filsafat Universitas Indonesia;
Doktor di
Bidang Evolusi Kebudayaan
|
KOMPAS,
12 Juni 2014
PADA suatu pagi, 24 November
1859, buku The Origin of Species
karya Charles Darwin diterbitkan. Buku tersebut memuat teori evolusi. Dalam
perkembangannya, muncul tuduhan bahwa keberadaan teori evolusi telah
memengaruhi pemikiran mengenai tentang ateisme. Teori evolusi Darwin dituduh
dapat mengikis kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang metafisik,
termasuk kepercayaan terhadap Tuhan.
Kenyataannya, teori evolusi yang
digagas Darwin tak berpretensi ateisme. Pretensi baru muncul ketika ilmuwan
dan filsuf memikirkan implikasi sosiologis dan filosofis dari teori evolusi,
seperti yang dilakukan oleh ilmuwan Richard Dawkins dan filsuf Daniel
Dennett.
Daniel Dennett dan Richard
Dawkins menulis dalam buku yang berbeda meskipun tahunnya sama. Daniel Denett
menerbitkan buku Breaking the Spell,
sedangkan Richard Dawkins menerbitkan The
God Delusion. Kedua buku tersebut terbit pada tahun 2006.
Kedua buku itu berbicara tentang
(1) status Darwinisme dan teori evolusi serta pengaruhnya terhadap dunia, (2)
teori Charles Darwin yang membangkitkan ateisme ilmiah, serta (3) teori
evolusi gagasan Darwin sebagai sarana reduktif kepercayaan kepada Tuhan.
Singkat kata, Darwinisme bisa
menjadi semacam ”ideologi” yang mempunyai pengaruh besar terhadap masyarakat
luas. Darwinisme menjadi sebuah landasan untuk menolak hal-hal yang tidak
bersifat empiris, metafisik. Dengan kata lain, Darwinisme bisa menjadi
amunisi pengetahuan untuk mendukung ateisme.
Antitesis observasi
Salah satu penganut Darwinisme
adalah Richard Dawkins, penulis The God
Delusion yang merupakan profesor zoology asal Oxford University. Sebagai
seseorang yang ahli dalam bidang gen dan biologi, Dawkins memercayai
keberadaan Darwinisme sebagai suatu teori yang mampu membantah observasi
empiris dan keberadaan Tuhan.
Dawkins disebut sebagai orang
yang mampu menggunakan biologi sekaligus orang yang menyalahgunakan biologi.
Dawkins menyimpulkan tiga cara
untuk melihat dunia, yaitu Darwinism, Lamarckism, dan Ketuhanan. Lamarckism
dan Ketuhanan dianggapnya tidak mempunyai penjelasan yang tepat tentang
dunia.
Ketika masyarakat memercayai
teori evolusi Darwin sebagai sebuah deskripsi mengenai realitas, Dawkins
berpikir lebih untuk membuat Darwinisme sebagai penjelasan mengenai
benda-benda dan seluruh hal-ihwal kehidupan.
Daniel Dennett, dosen filsafat
asal Tufts University, berpendapat sama dengan Dawkins. Hanya saja, Dennett
meneliti teori evolusi Darwin melalui pandangannya sebagai ahli filsafat.
Menurut dia, teori evolusi
Darwin dapat membangkitkan kesadaran tentang ideologi evolusioner. Sebagai
penganut Darwinisme, Dennet memercayai bahwa teori Darwin adalah kejelasan
mengenai makna ruang dan waktu, serta sebab dan akibat. Artinya, Dennet juga
percaya teori Darwin dapat mengikis kepercayaan lama tentang Tuhan.
Tentu saja ada yang berpendapat
berbeda mengenai Darwinism—yang percaya bahwa sebuah teori mengenai dunia
hanyalah bersifat sementara. Artinya, masih ada teori-teori biologi lain yang
menjelaskan tentang keberadaan alam semesta dan kemungkinan memfalsifikasi
teori evolusi Darwin.
Dengan demikian, Darwinisme pun
lama-kelamaan hilang pengaruhnya dalam masyarakat, seperti yang terjadi pada
teori-teori mengenai alam semesta sebelum Darwin. Kuncinya adalah dengan
memercayai bahwa teori ilmiah hanyalah bersifat sementara.
Dawkins percaya, teori Darwin
dapat menghilangkan keperluan atau kebutuhan tentang Tuhan. Sebelum Darwin,
ilmuwan-ilmuwan memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap Tuhan.
Dawkins juga berkata bahwa
Darwin telah menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap Tuhan hanyalah sebuah
”sentimental kosmik” (cosmic
sentimentality), yaitu sebuah ungkapan untuk mengiming-imingi kehidupan
dengan anugerah palsu. Sementara banyak kalangan, terutama teolog, membantah
bahwa ilmu pengetahuan alam memiliki misi moral untuk membersihkan kehidupan.
Percaya Tuhan
Banyak pula peneliti yang secara
gegabah menyimpulkan bahwa Darwin, sebagai pencetus teori evolusi, tidak
percaya kepada Tuhan. Dengan begitu, dukungan Darwinisme sebagai intrinsik
dari ateisme dapat meningkat.
Beberapa tulisan Darwin
menyatakan bahwa dirinya bukanlah bagian dari Kristen Ortodoks, sebuah
kepercayaan yang jaya pada masa hidupnya. Kenyataannya, Darwin perlahan-lahan
menjadi ateis karena pada awalnya Darwin memercayai keberadaan Tuhan. Akan
tetapi, belum ada penelitian konkret mengenai hal ini.
Meski demikian, teori Darwin
terlalu besar jika hendak dihilangkan agar tidak memengaruhi ateisme.
Paradigma Darwinian adalah paradigma yang mampu menjelaskan tentang alam
semesta. Ilmu ini pun berkembang pesat dalam ranah biologis dan berperan
besar dalam menjelaskan perkembangan kemanusiaan.
Beberapa pembelaan mengenai
ateis dari sisi ilmu pengetahuan alam membuktikan bahwa pada dekade awal abad
ke-21, kesan yang ditinggalkan adalah perdebatan mengenai keyakinan dan ilmu
alam masih berlanjut.
Teori evolusi Darwin menjadi
salah satu pemicu tersebut. Argumen tradisional mengenai terciptanya alam
semesta oleh Tuhan (genesis)
dibantah para Darwinisme dengan teori evolusi Darwin yang kemudian merambat
menjadi pembantahan kepada gereja-gereja.
Oleh karena itu, Darwinisme
kadang disebut sebagai ”Universal Acid”,
yaitu asam yang mengikis kepercayaan terhadap benda-benda metafisik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar