Kamis, 19 Juni 2014

Antara Kesejahteraan dan Pasar

Antara Kesejahteraan dan Pasar

Dinna Wisnu  ;   Co-founder dan Direktur Program Pascasarjana
Bidang Diplomasi Universitas Paramadina
KORAN SINDO,  18 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Pada hari ini saya masih akan membicarakan tema debat calon presiden menjelang pemilihan presiden tanggal 9 Juli nanti.

Media massa dan masyarakat awam masih membicarakan isi dari debat calon presiden yang dilaksanakan hari Minggu lalu tentang isu ekonomi dan kesejahteraan sosial. Bagi yang kesehariannya menggeluti kedua bidang ilmu ini, perdebatan kemarin mungkin lebih banyak meninggalkan pertanyaan- pertanyaan daripada jawaban, terutama tentang praktik pelaksanaannya.

Kompleksitas masalah yang sehari-harinya dihadapi para pekerja, wirausaha, bankir, nelayan, ibu rumah tangga, apalagi pegawai pemerintah belum tersentuh di sana. Meski demikian kita juga memahami kesulitan Prabowo Subianto dan Joko Widodo untuk menganalisis dan memberikan jalan keluar atas masalah ekonomi nasional dan internasional hanya dalam waktu 3-9 menit.

Dalam kesempatan yang terbatas itu sangat wajar apabila para kandidat memusatkan perhatiannya pada halhal yang lebih mudah melekat di ingatan masyarakat seusai menyaksikan perdebatan. Karena kelompok masyarakat berpendidikan tinggi yang diasumsikan sudah memahami konsep dan istilah teknis pembangunan yang didiskusikan oleh para capres relatif kecil.

Menurut BPS 2013, jumlah kelompok ini hanya 17,9% dari penduduk Indonesia. Apa yang menarik dari inti yang disampaikan para capres tersebut dan dapat menjadi diskusi untuk kita adalah dilema dalam mengharmoniskan tuntutan untuk menyejahterakan rakyat dan fakta bahwa kita telah hidup dalam sistem pasar yang mengutamakan daya saing. Memenuhi kesejahteraan rakyat dalam hal kecukupan pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya membutuhkan biaya yang tidak murah.

Masyarakat masa kini punya tantangan ekonomi dan sosial yang berbeda dibandingkan era tahun 1950-an, 1970-an atau bahkan 1990-an. Hari ini kepala keluarga dari golongan menengah-bawah tidak dapat mengandalkan pendapatan hanya dari satu orang pencari nafkah. Pengeluaran energi (listrik, bahan bakar, gas) semakin mahal setiap tahunnya, demikian pula dengan pengeluaran kesehatan, pendidikan, transportasi, dan pengeluaran lain.

Kenaikan itu juga tidak lain karena faktor liberalisasi pasar yang membuka peluang bagi modal asing untuk masuk berinvestasi dan menyumbangkan pendapatan untuk anggaran belanja negara kita yang terus berkurang karena pendapatan utama dari minyak bumi yang sempat berjaya di tahun 1980- an tidak lagi dapat diandalkan. Liberalisasi memiliki risiko juga karena ketika harga komoditas di pasar tinggi, harga di dalam negeri juga mengikuti.

Situasi akan menjadi parah apabila persediaan langka sehingga kasusnya seperti bahan bakar gas yang lebih untung dijual ke luar negeri daripada ke dalam negeri. Pasar menjadi madu sekaligus racun bagi perekonomian negara kita. Jawaban kedua capres atas dilema ini adalah tanggapan yang ditunggu-tunggu masyarakat dan menjadi tantangan untuk mereka yang menjadi presiden di tahun 2014 ini. Setiap presiden memiliki ujiannya masing-masing dalam masa jabatannya.

Presiden BJ Habibie telah berhasil mengamankan langkah Reformasi 1998. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berhasil mengawali transisi dan membuka toleransi sosial dalam masyarakat. Presiden Megawati Soekarnoputri mampu menjaga konsolidasi demokrasi dan membangun sendi-sendi kemandirian ekonomi bangsa. Sementara itu pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah berhasil membangun citra pemerintahan antikorupsi.

Presiden yang baru punya momentum lain yang berbeda. Mengelola ekonomi pasar dan tuntutan kesejahteraan bukan sesuatu yang mudah karena hal tersebut terkait dengan ideologi pemerintahan yang berkuasa. Sebagai bagian dari ideologi, program untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat tidak bisa semata-mata dilihat dari sudut ekonomis.

Ada faktor investasi pada masyarakat yang tidak semata dianggap sebagai beban. Negaranegara yang memercayai pasar bebas sebagai sumber kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi yakin bahwa pasar akan menciptakan aktivitas ekonomi dan membuka lapangan pekerjaan. Pengendali dari pasar antara lain berupa aturan main (regulasi) dan pajak progresif.

Selain itu, para pekerja terampil diberi insentif untuk melakukan ekspansi keahlian dalam bentuk inovasi yang disokong pemerintah. Sektorekonomitersier(jasa, teknologi) didukung untuk melakukan ekspansi sampai ke luar negeri. Para pebisnis di sektorsektor strategis didorong marketing -nya oleh pejabat-pejabat negara. Ada sinergi antarpelaku pasar dengan pejabat pemerintah.

Sebagian dari pajak disalurkan pada kelompok masyarakat yang kurang beruntung (miskin atau punya keterbatasan tertentu) sebagai bentuk affirmative action atau kepedulian pemerintah. Sementara itu negara-negara yang memercayai redistribusi kesejahteraan adalah sumber kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi yakin bahwa negara harus aktif mengembangkan program-program pemerataan kesempatan dan sumber daya pada warga negara.

Negara mengandalkan pajak tinggi yang relatif sama untuk beragam kalangan demi menyediakan berbagai bentuk layanan publik dengan harga murah dan mutu tinggi. Sektor-sektor primer akan ditopang untuk tumbuh dengan baik karena di sanalah banyak orang yang menggantungkan hidupnya. Jika perlu, sektor tersebut diproteksi dari kerentanan akibat fluktuasi pasar bebas. Indonesia ada di persimpangan jalan dari kedua contoh ekstrem yang saya gambarkan di atas.

Apakah presiden baru kita akan mengandalkan pasar bebas sepenuhnya atau memegang prinsip redistribusi kesejahteraan. Yang jelas, dengan pengalaman terkini berdemokrasi selama 15 tahun, masyarakat Indonesia punya kemampuan baru, yakni kesadaran bahwa mereka punya ruang untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah. Masyarakat juga relatif lebih sadar diri tentang kondisi sosial ekonomi masing-masing.

Mereka juga punya akses pada informasi tentang hal-hal yang seharusnya mereka terima dari pemerintah. Sulit dibayangkan bahwa kesadaran masyarakat itu dengan mudah diabaikan seorang presiden atau para pejabat pemerintah yang asalasalan saja dalam membuat kebijakan. Lebih sulit lagi dibayangkan bahwa masyarakat kemudian bisa dibungkam dengan pengurangan partisipasi politik dan demokrasi.

Akhir kata, tidak semua hal bisa dimunculkan dan dicerna dalam waktu singkat debat capres di televisi, tetapi bukan berarti bahwa para capres dapat abai pada realitas tantangan di lapangan. Pada akhirnya pemimpin kita harus memilih dan berpihak pada suatu model kebijakan kesejahteraan.

Apa pun pilihan tersebut, semoga dijalankan dengan utuh dan konsekuen, lengkap dengan antisipasi terhadap konsekuensi negatif yang melekat pada tiap pilihan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar