Piala
Dunia : Antara Ritual Konsumsi dan Politik
Rakhmat
Hidayat ; Dosen Jurusan
Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
|
KORAN
SINDO, 18 Juni 2014
Piala
Dunia 2014 sudah dimulai di Brasil. Perhatian masyarakat di seluruh dunia
tertuju ke ajang empat tahunan tersebut. Piala Dunia adalah ajang olah raga
dunia yang paling banyak ditonton.
Bagi
penggila bola dunia, perhelatan ini selalu ditunggutunggu karena bersamaan
dengan liburan musim panas. Pesta olahraga paling populer di muka bumi ini
selalu menarik disimak, seolah menjadi pesta sepak bola empat tahunan yang
sayang ditinggalkan begitu saja. Sepak bola, sebagaimana sudah menjadi
fenomena kesejagadan, tak hanya menyuguhkan atraksi dan penampilan pemain-
pemainnya yang ciamik di lapangan. Ia tak sekadar menampilkan strategi
permainan ala cattenacioataupun total football- nya Belanda.
Ia pun
tak hanya menyodorkan berbagai selebrasi setelah gol diciptakan. Tetapi,
sepak bola sudah melampaui hal-hal yang bersifat makro. Ia sudah menjadi
multifenomena, dari ekonomi, kultural hingga politik. Pada aras ini sepak
bola betul-betul sebuah ruang yang memungkinkan terjadinya akselerasi global
dari berbagai ranah. Lapangan hijau dengan 22 pemain dan puluhan ribu
penonton hanyalah bagian kasatmata yang kita saksikan. Lebih dari itu, sepak
bola menghadirkan pengaruh yang sangat luar biasa di tingkat global.
Industri Global
Faktanya,
saat ini sepak bola sudah menjadi industri global yang sarat dengan
perputaran kapital. Sepak bola sudah menghasilkan ribuan pemain yang memiliki
kontrak triliunan rupiah. Piala Dunia juga telah menghasilkan keuntungan bagi
tuan rumah dan perusahaan-perusahaan global yang berkompetisi menjadi sponsor
resminya.
Perusahaan-perusahaan
yang logonya mejeng di seluruh stadion berlangsungnya Piala Dunia adalah
salah satunya. Bagi perusahaan multinasional ajang ini merupakan ladang uang
yang semakin mengukuhkan posisi bisnisnya. Tak kalah pentingnya adalah citra
perusahaan dalam industri global. Salah satunya yang sangat kompetitif adalah
persaingan berbagai produk jersey ternama.
Beberapa
produk jersey yang merupakan perusahaan global itu adu seru menguasai dunia
sepak bola global, terutama Piala Dunia. Produk-produk jersey tersebut selalu
ditunggu-tunggu oleh jutaan penonton yang menyaksikan bagaimana kesebelasan
favoritnya berlaga di ajang tersebut. Kontrak ini saja sudah memiliki harga
yang sangat besar. Belum lagi harga hak siar dari seluruh pertandingan Piala
Dunia ini yang disiarkan oleh seluruh negara di dunia.
Belum
lagi penjualan tiket, merchandise, hingga acara nonton bareng yang digelar di
setiap negara. Bagi pemain, inilah saatnya mereka menunjukkan performa
terbaiknya. Jika mereka berhasil memikat pemantau dari berbagai klub raksasa,
yakinlah kontrak mereka bakal meningkat selepas Piala Dunia. Mereka siap
digadang-gadang dengan kontrak termahal di liga dunia.
Arena Konsumsi
Tak
kalah pentingnya adalah, Piala Dunia menjadi arena konsumsi bagi jutaan
manusia di muka bumi ini. Siaran televisi menjadi media strategis untuk
menanamkan nilai-nilai baru yang disajikan dalam ajang tersebut. Sejarah
mencatat, misalnya, ajang banyak pemain dunia yang menjadi trend setter gaya rambut, maupun
fashion.
Di
sinilah Piala Dunia menjadi arena berkembangnya tren dari mulai gaya rambut,
kostum kesebelasan hingga aksesori lain yang kerap dipakai pemain-pemain.
Setiap menjelang perhelatan Piala Dunia, bisnis kostum timnas peserta Piala Dunia
selalu laris manis. Mulaidari yang harga pasar pinggiran hingga produk asli.
Orang dewasa hingga anakanak tak kalah memiliki kostum dari negara
favoritnya.
Belum
lagi berbagai pernak-pernik mulai dari cangkir, boneka, jam dinding,
gantungan kunci laris diproduksi secara massal. Lagu resmi Piala Dunia juga
banyak dicari oleh penonton di seluruh dunia. Meminjam istilah sosiolog
Manuel Castell, inilah saatnya apa yang disebut dengan “collective consumption”. Sebuah era saat individu di muka bumi
memiliki kepentingan dan preferensi yang sama untuk mengonsumsi secara massal
ajang Piala Dunia.
Dalam
pandangan Castell, penduduk di muka bumi ini adalah kumpulan konsumen.
Begitulah Piala Dunia sudah menjadi ritual empat tahunan dan apa yang
dijelaskan di atas menggambarkan bahwa kita sedang berada di era Post
Footbalism.
Relaksasi Politik
Perhelatan
Piala Dunia 2014 dalam konteks Indonesia menjadi istimewa karena terkait
dengan dua momen penting yaitu pilpres dan Ramadan. Di tengah kontestasi
politik yang semakin memanas setiap harinya dengan berbagai suguhan kampanye
hitam kepada para kandidat capres-cawapres, Piala Dunia bisa menjadi alat
pemersatu sekaligus meredakan berbagai ketegangan politik di kalangan
pendukung, tim sukses hingga para kandidatnya.
Ibaratnya,
Piala Dunia menjadi ruang relaksasi politik sesaat dengan menyaksikan
laga-laga terbaik yang dipentaskan oleh tim-tim unggulan. Masyarakat bisa
saja beda pilihan politik, tetapi dengan bola yang ditontonnya bisa
mempersatukan sekaligus merekatkan tensi-tensi politik yang sudah provokatif
dan di luar ambang batas rasional. Piala Dunia menjadi jembatan memecahkan
stres politik yang sudah semakin tak sehat.
Politik
selalu melahirkan atraksi-atraksi yang provokatif tanpa basis rasional.
Politik sering dilakukan tanpa kendali moral. Semua atas nama kepentingan
abadi. Tak ada rumus membangun budaya politik dengan suguhan seni politik
yang ciamik. Nah, atraksi-atraksi para pemain terbaik di lapangan apalagi
dengan gol-gol yang cantik mampu mengobati kegundahan politik yang sedang
melanda panggung politik Indonesia.
Sepak
bola melahirkan budaya dan nilai-nilai seni yang menjadi kekuatan emosi serta
psikologis masyarakat. Kebersamaan dan guyub justru didapatkan dengan
berbagai kesempatan nonton bareng untuk mendukung tim favoritnya. Mereka bisa
teriak kencang sepuas- puasnya tanpa perlu mengumpat teman yang membela
lawannya.
Mereka
bisa berjingkrak- jingkrak merayakan selebrasi gol tim favoritnya tanpa
melakukan serangan-serangan politik yang menjatuhkan lawannya. Inilah
kekuatan dan ideologi sepak bola yang dirasakan oleh masyarakat dunia. Tanpa
pretensi politik, tanpa kepentingan religius. Sepak bola adalah ruang publik
yang mencairkan kebuntuan-kebuntuan pemikiran sekaligus menata kembali
nilai-nilai seni yang hilang dalam panggung politik Indonesia.
Karenanya,
para tim sukses dan kandidat belajarlah dari para pemain sepak bola. Belajar
membangun serangan kepada tim lawannya secara elegan, ciamik dan kekompakan
dengan berbagai strategi yang dimilikinya. Apapun strateginya. Entah cattenacio, atau total football. Belajarlah bermain secara fair tanpa melakukan
serangan fisik kepada lawan. Belajarlah sportif yang disuguhkan para pemain
di lapangan.
Jika
sepak bola yang sudah menjadi “agama dunia” bisa digemari jutaan umat
manusia, maka kita sebenarnya tak lagi mendengar maraknya kampanye hitam yang
murahan. Kita tak lagi menyaksikan sentimen SARA yang terus dihembuskan
kepada kandidat tertentu.
Dengan
sepak bolalah cermin peradaban bisa dilihat. Dan, politik Indonesia harusnya
belajar betul kepada ajang Piala Dunia 2014. Selamat menikmati Piala Dunia 2014! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar