Pers Pendidik
Peradaban
Fathur Rokhman ; Rektor Universitas Negeri
Semarang (Unnes)
|
SUARA
MERDEKA, 11 Februari 2014
IHWAL harapan agar pers
memainkan peran mendidik masyarakat, bukanlah hal yang baru lagi. Namun jika
belakangan ini harapan tersebut kembali digemakan, itu karena memang demikian
urgennya untuk mendapatkan perhatian khusus secara lebih serius. Tak kurang
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali mengungkapkan harapan itu,
beberapa waktu lalu.
Dengan tak lupa mengapresiasi
performa pers yang dinilainya telah banyak menjalankan fungsi kontrol
terhadap kekuasaan dan masyarakat, SBY memandang ada yang masih kurang dalam
peran pers selama ini, yakni peran mendidik. Harapan Presiden kiranya
mewakili harapan banyak orang, terutama di negeri ini. Pasalnya, dalam banyak
hal, lewat apa yang disuguhkan oleh media, bangsa ini telah belajar, meniru,
dan mereproduksi, baik secara tersadari maupun --karena demikian hegemonik--
menjadi tak tersadari. Dalam cakupan yang lebih luas, dalam era komunikasi
ini, medialah yang kemudian telah banyak mengubah cara pandang, sikap, dan
perilaku masyarakat.
Sesuatu yang tabu pada masa
lalu misalnya, namun karena secara terus-menerus disajikan oleh media, dalam
ke(tidak)sadaran masyarakat pelahapnya lambat-laun berubah menjadi hal yang
lumrah. Begitu sakti media dalam menggeser, bahkan menjungkirbalikkan
persepsi dan sikap pandang masyarakat terhadap berbagai hal yang pada gilirannya
menjadi rujukan ketika bertindak. Pendek kata, media telah menjadi acuan
utama sekaligus paling berpengaruh dalam konstruksi peradaban bangsa yang
senantiasa dalam proses menjadi (becoming)
ini.
Dalam posisi yang demikian
strategis itu, media menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, ia memiliki
potensi destruktif, tetapi di sisi lain ia memiliki kekuatan yang tak kalah
besar untuk menopang bangunan peradaban bangsa. Karena itu, tidak boleh ada
pembiaran, namun sebaliknya, diperlukan strategi kebudayaan yang efektif bagi
media, terutama lembaga pers serta insan pers, untuk menjalankan visi
edukatif tersebut.
Memang insan pers pada
hakikatnya ada guru. Kita bisa memaknai secara cerdas semisal Suara Merdeka,
yang lebih dari sekadar guru yang mengajar siswa di ruang kelas. Harian ini
malahan ibarat guru dengan kelas mahaluas sekaligus siswa dengan jumlah yang
tiada batas. Kehadiran media elektronik, dan lebih-lebih media cyber,
belakangan ini bahkan telah melipatgandakan jumlah ”siswa” dan luasnya
”kelas” itu.
Profesionalitas
Meskipun demikian, sungguh
tidak adil jika tanggung jawab dan harapan yang begitu besar tersebut hanya
ditumpukan pada insan pers semata. Banyak pihak sesungguhnya yang harus ikut
bertanggung jawab dan mengambil bagian supaya pers mampu menjalankan
sekaligus meluaskan perannya sebagai pendidik dalam pembangunan peradaban
secara efektif.
Lewat instrumen semacam Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI), Dewan Pers, dan Ombudsman memang fungsi kontrol
dan mediasi itu bisa dijalankan dalam berbagai kasus pers. Namun menumpukan
segenap persoalan pada lembaga-lembaga itu, sungguh mereduksi persoalan di
seputar media dan pers, lebih-lebih dalam mengonstruksi peradaban yang lebih
baik.
Karena itu, justru yang paling
urgen adalah membangun secara kukuh profesionalitas insan pers yang bertumpu
pada kode etik sebagai modal utama bagi perwujudan pers pembangun peradaban.
Tanpa itu, harapan yang dikemukakan pada awal tulisan ini akan utopis belaka.
Pasalnya, hanya dalam naungan profesionalitas itu, sudut pandang, kemasan,
substansi, dan indepensi sajian pers yang properadaban bakal terwujudkan.
Pada tataran praksis, penguatan
visi media dan pers yang mendidik dan properadaban bisa dimulai dari
pendidikan para calon praktisi media dan jurnalis khususnya. Suara Merdeka,
yang hari ini berulang tahun ke-64, sudah semestinya ikut terlibat di
dalamnya. Sekolah jurnalistik dan sertifikasi wartawan misalnya, bisa menjadi
terminal penting dalam mengartikulasikan hal-hal tersebut.
Namun sekali lagi, insan pers,
termasuk dari Suara Merdeka, tidak boleh melakukannya sendirian meski tiap
keterlibatan pihak lain tidak boleh sampai mengganggu independensinya.
Lembaga pendidikan tinggi misalnya, bisa mengambil bagian untuk ikut
mewujudkan itu, meski perlu selalu disadari bahwa institusi ini pun tidak
sama sekali steril dari kepentingan yang bisa mengganggu independensi media
dan pers. Pada akhirnya, dengan
memandang produk pers adalah produk peradaban, sebagaimana dalam dunia
pendidikan maka sudah sepatutnya jika konstruksi pers lengkap dengan insan di
dalamnya harus senantiasa ditempatkan dalam kerangka besar pembangunan
kebudayaan dan peradaban bangsa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar