Rabu, 12 Februari 2014

Pers Pendidik Peradaban

                        Pers Pendidik Peradaban

 Fathur Rokhman   ;   Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes)
SUARA MERDEKA,  11 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
IHWAL harapan agar pers memainkan peran mendidik masyarakat, bukanlah hal yang baru lagi. Namun jika belakangan ini harapan tersebut kembali digemakan, itu karena memang demikian urgennya untuk mendapatkan perhatian khusus secara lebih serius. Tak kurang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali mengungkapkan harapan itu, beberapa waktu lalu.

Dengan tak lupa mengapresiasi performa pers yang dinilainya telah banyak menjalankan fungsi kontrol terhadap kekuasaan dan masyarakat, SBY memandang ada yang masih kurang dalam peran pers selama ini, yakni peran mendidik. Harapan Presiden kiranya mewakili harapan banyak orang, terutama di negeri ini. Pasalnya, dalam banyak hal, lewat apa yang disuguhkan oleh media, bangsa ini telah belajar, meniru, dan mereproduksi, baik secara tersadari maupun --karena demikian hegemonik-- menjadi tak tersadari. Dalam cakupan yang lebih luas, dalam era komunikasi ini, medialah yang kemudian telah banyak mengubah cara pandang, sikap, dan perilaku masyarakat.

Sesuatu yang tabu pada masa lalu misalnya, namun karena secara terus-menerus disajikan oleh media, dalam ke(tidak)sadaran masyarakat pelahapnya lambat-laun berubah menjadi hal yang lumrah. Begitu sakti media dalam menggeser, bahkan menjungkirbalikkan persepsi dan sikap pandang masyarakat terhadap berbagai hal yang pada gilirannya menjadi rujukan ketika bertindak. Pendek kata, media telah menjadi acuan utama sekaligus paling berpengaruh dalam konstruksi peradaban bangsa yang senantiasa dalam proses menjadi (becoming) ini.

Dalam posisi yang demikian strategis itu, media menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, ia memiliki potensi destruktif, tetapi di sisi lain ia memiliki kekuatan yang tak kalah besar untuk menopang bangunan peradaban bangsa. Karena itu, tidak boleh ada pembiaran, namun sebaliknya, diperlukan strategi kebudayaan yang efektif bagi media, terutama lembaga pers serta insan pers, untuk menjalankan visi edukatif tersebut.

Memang insan pers pada hakikatnya ada guru. Kita bisa memaknai secara cerdas semisal Suara Merdeka, yang lebih dari sekadar guru yang mengajar siswa di ruang kelas. Harian ini malahan ibarat guru dengan kelas mahaluas sekaligus siswa dengan jumlah yang tiada batas. Kehadiran media elektronik, dan lebih-lebih media cyber, belakangan ini bahkan telah melipatgandakan jumlah ”siswa” dan luasnya ”kelas” itu.

Profesionalitas

Meskipun demikian, sungguh tidak adil jika tanggung jawab dan harapan yang begitu besar tersebut hanya ditumpukan pada insan pers semata. Banyak pihak sesungguhnya yang harus ikut bertanggung jawab dan mengambil bagian supaya pers mampu menjalankan sekaligus meluaskan perannya sebagai pendidik dalam pembangunan peradaban secara efektif.

Lewat instrumen semacam Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Dewan Pers, dan Ombudsman memang fungsi kontrol dan mediasi itu bisa dijalankan dalam berbagai kasus pers. Namun menumpukan segenap persoalan pada lembaga-lembaga itu, sungguh mereduksi persoalan di seputar media dan pers, lebih-lebih dalam mengonstruksi peradaban yang lebih baik.

Karena itu, justru yang paling urgen adalah membangun secara kukuh profesionalitas insan pers yang bertumpu pada kode etik sebagai modal utama bagi perwujudan pers pembangun peradaban. Tanpa itu, harapan yang dikemukakan pada awal tulisan ini akan utopis belaka. Pasalnya, hanya dalam naungan profesionalitas itu, sudut pandang, kemasan, substansi, dan indepensi sajian pers yang properadaban bakal terwujudkan.

Pada tataran praksis, penguatan visi media dan pers yang mendidik dan properadaban bisa dimulai dari pendidikan para calon praktisi media dan jurnalis khususnya. Suara Merdeka, yang hari ini berulang tahun ke-64, sudah semestinya ikut terlibat di dalamnya. Sekolah jurnalistik dan sertifikasi wartawan misalnya, bisa menjadi terminal penting dalam mengartikulasikan hal-hal tersebut.

Namun sekali lagi, insan pers, termasuk dari Suara Merdeka, tidak boleh melakukannya sendirian meski tiap keterlibatan pihak lain tidak boleh sampai mengganggu independensinya. Lembaga pendidikan tinggi misalnya, bisa mengambil bagian untuk ikut mewujudkan itu, meski perlu selalu disadari bahwa institusi ini pun tidak sama sekali steril dari kepentingan yang bisa mengganggu independensi media dan pers.  Pada akhirnya, dengan memandang produk pers adalah produk peradaban, sebagaimana dalam dunia pendidikan maka sudah sepatutnya jika konstruksi pers lengkap dengan insan di dalamnya harus senantiasa ditempatkan dalam kerangka besar pembangunan kebudayaan dan peradaban bangsa ini.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar