Rabu, 12 Februari 2014

Dimabuk Moral

                                Dimabuk Moral

 Bisma Yadhi Putra   ;   Alumnus Program Studi Ilmu Politik Unimal,
Fasilitator Sekolah Demokrasi Aceh Utara
OKEZONENEWS,  11 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
SEBAIKNYA perlu sama-sama disadari bahwa menyikapi negara-negara sahabat dengan naif adalah pangkal menguatnya kelemahan. Selama ini Indonesia cenderung lembek terhadap negara lain yang berani berlaku tidak hormat.
 
Dalam menanggapi sikap kurang ajar lawan, terutama negara-negara tetangga, hendaknya kekuatan digunakan sebagai balasan (menembak kapal negara lain yang melanggar batas), bukan gertakan belaka (latihan militer). Tidak ada sopan santun yang mutlak dalam “pertemanan global”. Sebab itu, mestinya ajakan-ajakan penegakan moral dengan penggunaan kekuatan diselaraskan.

Terlalu banyak membicarakan moral membuat kita lemah. Yang menggerus tulang kita adalah “iblis imperialis” (AS, Turki, China, Malaysia, Australia, dan lainnya). Dan mereka nyata, sehingga tidak mungkin terus-terusan dihadapi dengan “senjata abstrak” seperti moral. Ini fakta. Pemerintahan SBY jadi buktinya: dalam pergaulan internasional menjadi rezim moral, sedangkan menjadi rezim amoral dalam pelaksanaan dalam negeri. 

Mungkin pula, karena dalam kalkulasi kekuatan militer ternyata Indonesia kalah telak, SBY kemudian menampilkan diri sebagai sosok pemimpin “moralis” yang bijak menyikapi ulah keterlaluan negara sahabat. Atau ada kemungkinan lain: SBY memang tipe pemimpin yang mudah tertekan oleh gertakan, sehingga penggunaan kekuatan dikesampingkan. Dalihnya merawat perdamaian regional, tetapi sebenarnya takut menindak.

Penetrasi moralis

Ketika Australia terbukti menyadap komunikasi sejumlah pejabat tinggi Indonesia, termasuk istrinya sendiri, SBY justru tidak menampakkan sikap mengancam sama sekali. Bahkan dalam menyikapi keangkuhan Tony Abbott, SBY begitu lembek. Mirisnya lagi, beberapa waktu kemudian, Schapelle Corbie, “Ratu Mariyuana” asal Australia, dibebaskan. Coba Anda korelasikan saja sendiri kedua kasus itu. Dalam menyikapi protes Turki ke WTO karena terigunya dikenakan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara sebesar 20 persen, Indonesia pun tidak keras.

Membuat ancaman nyata tak harus dengan serangan militer. Mari berlapang dada mengakui: kita—saat ini setidaknya—tak akan mampu memenangkan pertarungan seperti itu. Namun langkah lain sebenarnya bisa ditempuh, seperti pemutusan hubungan dagang. Ini sekaligus juga bisa menjadi langkah strategis awal untuk penguatan swasembada daging sapi dan terigu. Intinya penguatan negara.

Moral (abstrak) dan kekuatan (riil) mendapat porsi yang tidak sebanding. Boleh saja Indonesia dibiarkan menjadi pasar, tetapi bangsanya kemudian harus dicetak pula menjadi “penjarah”. Begitulah penggunaan kekuatan. Bangsa Indonesia melakukan penetrasi-penetrasi ke berbagai negara. Tentu keliru besar menganggap SBY tidak tahu potensi besar pada negara yang dipimpinnya selama sepuluh tahun. SBY tahu banyak rakyatnya jadi pekerja ilegal di negara orang. Mereka yang ilegal mestinya dibangun menjadi manusia bervisi “penggerogot”, melakukan “penjajahan” dari dalam di negara orang. 

Namun penggunaan kekuatan jangan justru membuat bangsa penetrator menjadi amoral yang merusak peradaban bangsa lain. Sebab itu adalah politik penggunaan kekuatan yang tidak dipandu moral. Maka yang dibutuhkan adalah “moralitas penggunaan kekuatan”, bukan racau-racau filosofis yang membosankan didengar dan muak dibaca. Mungkin SBY tidak sadar bahwa itu potensi bagus, modal besar. 

Moralisme jelas menentang solusi kasar seperti itu. Namun janganlah sebuah bangsa besar menjadi naif dalam menyikapi bangsa-bangsa di dunia, baik yang jumlah penduduknya lebih kecil (seperti Singapura) bahkan lebih besar (seperti China) sekalipun, bahwa mereka akan berbaik hati selalu. Ini sudah jadi “hukum pertarungan dunia”: yang tidak kita makan akan memakan kita; yang tidak mampu kita kendalikan akan mengendalikan kita.

Tak usahlah menaruh kepercayaan penuh pada sahabat. Dalam “dekade keserakahan”—meminjam istilah Stiglitz—ini, musuh adalah musuh dan teman adalah musuh. Amerika menawarkan kepada kita model ekonomi ideal menurut mereka: kapitalisme. Namun itu sama sekali bukan untuk membantu dengan alasan tanggung jawab moral negara “digdaya”. Kita sama sekali tidak butuh rekomendasi model, karena para intelektual dalam negeri sudah menawarkan konsep yang dibangun berdasarkan pembacaan atas realitas lokal.

Aktualisasi moral

Orang-orang yang dimabuk moral biasanya akan “terjebak” membicarakan moral dalam menyikapi masalah-masalah amoral. Mereka pun abai mengaktualisasikan seruan moral dengan menjerakan pihak-pihak yang amoral. Ini kontradiksi. Moral, sebagai sesuatu yang abstrak, penting. Dia adalah sumber keteraturan. Ketiadaannya membawa kerusakan. Berbagai fakta sudah tampak pada kita. Korupsi, pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, deforestasi, atau budaya tidak tertib lalu lintas—semuanya adalah keburukan-keburukan yang muncul dalam sebuah peradaban yang menihilkan moralitas. Dan keburukan-keburukan itu tak akan hancur dengan seruan moral yang tanpa diiringi aksi politik (penegakan hukum yang tegas).

Mental dibentuk oleh moral. Jika sebuah bangsa mengerti fungsi sejati moral, tidak akan dikesampingkan penggunaan kekuatan agar lawan yang dihadapi menjadi bermoral. Terkadang kita perlu membuat pelaku kejahatan jera dan takut. Tujuannya membuat ketertundukan. Dengan ketertundukan itulah moralitas lebih gampang didesakkan.  Mantan penjahat sadis bisa bermoral karena tekanan dan penyadaran (pembinaan) yang mereka dapatkan dalam penjara. Sehingga pada akhirnya menjadi moralis, menjadi pendakwah agama. Untuk tegak, terkadang moral harus dirangsang oleh kekuatan.

Jadi, saya bukan seorang antimoral. Moral tetap dibutuhkan sebagai energi. Sementara energi yang hanya dipendam, hanya dibicarakan, menjadi sia-sia. Penggunaan energi itu adalah penunjukan kekuatan. Menjadi amoral juga tidak lantas membuat kita kuat. Justru itu dapat lebih melemahkan. Institusi-institusi negara yang tidak berjalan sesuai prosedur biasanya karena aparatur-aparaturnya amoral (korup, nepotis, tidak disiplin). Akibatnya tidak tercipta institusi politik yang kuat.

Susan Collins, Anggota Komite Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat, tidak mengajukan pertanyaan ala moralis dalam merespons sejumlah agen keamanan dan anggota militer yang diduga terlibat aktivitas prostitusi di Kolombia: “What if the women involved had been spies? What if they’d been been members of the drug cartel? What if they’d planted equipment or eavesdropping devices?” Pertanyaan-pertanyaan tersebut lebih mengarah pada kekhawatiran siasat pencurian data militer oleh pekerja seks komersial. Rencana penggunaan kekuatan sebuah negara dapat dilumpuhkan manakala informasi rahasia tentang taktis pelaksanaannya dimiliki lawan. Jadi, yang prioritas di sini adalah soal kekuatan terlebih dahulu, baru kemudian perbaikan moral militer.

Jika kasus tersebut hendak dinilai dari moralitas, mungkin pertanyaan-pertanyaan seperti ini akan muncul: Apakah prajurit tidak takut dosa perzinaan? Apakah penegakan etika di institusi militer sudah optimal? Sejauh mana dalil-dalil agama dihayati prajurit? Masih banyak lainnya. Bertanya seperti itu memang penting, tetapi bertanya soal pencurian kekuatan tidak boleh dihindari.

Kesimpulannya, meski moral tidak boleh dicela, tetapi aksi politik sebagai penggunaan kekuatan tidak boleh dinihilkan. Sebuah bangsa hendaknya tidak dimabuk moral jika ingin survive dalam dunia penuh prahara ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar