Peran Media dalam Tahun
Politik
Kandyawan WP ; Dosen Komunikasi FISIP UNS Surakarta
|
SUARA
MERDEKA, 11 Februari 2014
"Problem yang lebih besar dan bersifat struktural adalah
keterlibatan pemilik media dalam ranah politik praktis"
SELASA ini, 11 Februari 2014,
Suara Merdeka merayakan ulang tahun ke-64. Sebuah usia yang relatif panjang,
dan sarat pengalaman. Sebagai institusi mapan dan berpengalaman, dalam proses
pemaparan berita yang berciri cerdas, santun, dan berbudaya, harian ini
dituntut memberi peran yang lebih berarti pada tahun 2014. Tahun yang banyak
disepakati oleh publik sebagai tahun politik.
Tahun 2014 juga merupakan tahun
kegaduhan mengingat masing-masing kekuatan politik memobilisasi kekuatan
untuk memenangi pemilu. Tahun 2014 juga merupakan pertaruhan demokrasi.
Kondisi sosial ekonomi mulai stabil dan tidak terlalu dihantui oleh krisis
ekonomi, selain masyarakat dinilai sudah mulai melek politik. Secara ideal,
dalam Pemilu 2014 Indonesia memasuki fase konsolidasi politik nasional, serta
mampu memilih pemimpin transformatif dan visioner yang mampu membawa
Indonesia menjadi negara maju.
Bau politik pada media amat
terasa sejak tahun 2013. Bau itu bisa dideteksi dari isi dan format
pemberitaan. Riset kuantitatif yang pernah dilakukan AJI (2013) menemukan ada
ketidakberimbangan pemberitaan media, terutama media elektronik, yang
bersifat hanya satu sisi, dan kerap dilakukan terhadap kandidat politik
tertentu. Selain itu, riset menghasilkan temuan ada media sering tidak
melakukan check and recheck
terhadap narasumber, terutama berkait berita kontroversial.
Problem lain yang lebih besar
dan bersifat struktural adalah keterlibatan pemilik media dalam ranah politik
praktis. ”Penyalahgunaan” media dan frekuensi publik untuk mendukung
kepentingan politik tertentu saat ini terlihat begitu terang benderang.
Beberapa media (besar) elektronik dengan tanpa malu-malu menggunakan ruang
publik dan menyalahgunakan kegiatan jurnalistik demi kepentingan
rivalitas politik antarpemilik media yang juga sekaligus kandidat partai.
Tumpang-tindih fungsi dan peran
mereka menyebabkan proses liputan tidak lagi jernih, tidak objektif, tidak
akurat, dan cenderung bias. Dalam konteks ini, jelas-jelas media menjadi
penyulut ekskalasi kemeningkatan rivalitas, bahkan mungkin konflik
antarmereka. Lebih jauh, media elektronik yang pemiliknya bergabung pada
partai politik tertentu, juga memenuhi ruang publik melalui iklan-iklan
politik yang dicurigai tidak memberikan kesempatan yang sama kepada partai
lain.
Pengamatan KPI (2012)
menunjukkan hanya dalam 2 bulan (Oktober-November) beberapa stasiun televisi
telah ratusan kali menayangkan iklan partai politik tertentu. Intensitas dan
frekuensi penayangan iklan (politik) itu bertambah tinggi tahun 2013 dan
tentunya tahun 2014. Dalam perspektif jurnalistik, penggunaan media
untuk kepentingan partai politik tertentu berarti melanggar Pasal 1 Kode Etik
Jurnalistik (KEJ), serta Pasal 5 dan Pasal 36 (4) Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2002 tentang Penyiaran. Bentuk lain pelanggaran kode etik yang lebih
bersifat personal yaitu keterlibatan langsung jurnalis dalam politik, bukan
hanya sebagai calon anggota legislatif (caleg) melainkan juga sebagai anggota
penyelenggara pemilu ataupun tim sukses.
Biota Politik
Berangkat dari persoalan
genting pada tahun 2014 maka ada keniscayaan peran yang dijalankan media
Indonesia. Pertama; pers harus memfungsikan diri sebagai ”biota politik”.
Pengertian biota lazimnya dipakai dalam ilmu biologi dan lingkungan hidup.
Pengertian umumnya adalah kumpulan mikroba dalam tanah yang secara alamiah
berkemampuan merombak dan berfungsi sebagai pengurai yang memperbarui
struktur tanah. Tujuannya adalah keterwujudan keberlanjutan siklus hara (semacam
vitamin) agar tanah tetap bisa menghidupi dan dihidupi makhluk hidup:
manusia, tumbuhan, dan hewan.
Dengan menganalogikan
pengertian tersebut ke dalam persoalan politik 2014 maka media sebagai biota
politik dapat diibaratkan sebagai lembaga yang dituntut memiliki kemampuan
mendekomposisi. Artinya media bisa mengurai problem-problem ”sampah” dan
”menyampah” dari proses-proses politik 2014, menjadi unsur ”hara” dan
”vitamin sosial” yang justru bisa memperkuat bangunan Negara Kesatuan
Republik Indonesia dalam perpektif sosial, politik, ekonomi, budaya, dan
hankam.
Kedua; untuk sampai pada peran
biota politik, media Indonesia harus mendewasakan diri. Media dewasa adalah
media yang bukan menjadi bagian dari kegaduhan dan sampah politik nasional
melainkan menjadi solusi dan terapi pendamai. Media jangan menjadi tungku
perebus isu-isu panas politik parokhial kepartaian, tapi menjadi saluran
informasi objektif yang berpihak pada kepentingan publik yang lebih
luas.
Dalam perspektif minor
peristiwa pemilu, media diharapkan mampu mendaur ulang kecenderungan tahun
politik yang gaduh, panas, provokatif, curang, penuh aksi
mobilisasi, menjadi tahun yang tenang, sejuk, sugestif, jujur,
dan reflektif. Media memberi kontribusi bagi keterwujudan pemilu yang jujur, adil,
aman, tertib, bermartabat, dan berkualitas. Semoga peran itu bisa diemban Suara Merdeka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar