Rabu, 12 Februari 2014

Peran Media dalam Tahun Politik

                Peran Media dalam Tahun Politik

 Kandyawan WP   ;   Dosen Komunikasi FISIP UNS Surakarta
SUARA MERDEKA,  11 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
"Problem yang lebih besar dan bersifat struktural adalah keterlibatan pemilik media dalam ranah politik praktis"

SELASA ini, 11 Februari 2014, Suara Merdeka merayakan ulang tahun ke-64. Sebuah usia yang relatif panjang, dan sarat pengalaman. Sebagai institusi mapan dan berpengalaman, dalam proses pemaparan berita yang berciri cerdas, santun, dan berbudaya, harian ini dituntut memberi peran yang lebih berarti pada tahun 2014. Tahun yang banyak disepakati oleh publik sebagai tahun politik.

Tahun 2014 juga merupakan tahun kegaduhan mengingat masing-masing kekuatan politik memobilisasi kekuatan untuk memenangi pemilu. Tahun 2014 juga merupakan pertaruhan demokrasi. Kondisi sosial ekonomi mulai stabil dan tidak terlalu dihantui oleh krisis ekonomi, selain masyarakat dinilai sudah mulai melek politik. Secara ideal, dalam Pemilu 2014 Indonesia memasuki fase konsolidasi politik nasional, serta mampu memilih pemimpin transformatif dan visioner yang mampu membawa Indonesia menjadi negara maju.

Bau politik pada media amat terasa sejak tahun 2013. Bau itu bisa dideteksi dari isi dan format pemberitaan. Riset kuantitatif yang pernah dilakukan AJI (2013) menemukan ada ketidakberimbangan pemberitaan media, terutama media elektronik, yang bersifat hanya satu sisi, dan kerap dilakukan terhadap kandidat politik tertentu. Selain itu, riset menghasilkan temuan ada media sering tidak melakukan check and recheck  terhadap narasumber, terutama berkait berita kontroversial.

Problem lain yang lebih besar dan bersifat struktural adalah keterlibatan pemilik media dalam ranah politik praktis. ”Penyalahgunaan” media dan frekuensi publik untuk mendukung kepentingan politik tertentu saat ini terlihat begitu terang benderang. Beberapa media (besar) elektronik dengan tanpa malu-malu menggunakan ruang publik dan menyalahgunakan  kegiatan jurnalistik demi kepentingan rivalitas politik antarpemilik media yang juga sekaligus kandidat partai.

Tumpang-tindih fungsi dan peran mereka menyebabkan proses liputan tidak lagi jernih, tidak objektif, tidak akurat, dan cenderung bias. Dalam konteks ini, jelas-jelas media menjadi penyulut ekskalasi kemeningkatan rivalitas, bahkan mungkin konflik antarmereka. Lebih jauh, media elektronik yang pemiliknya bergabung pada partai politik tertentu, juga memenuhi ruang publik melalui iklan-iklan politik yang dicurigai tidak memberikan kesempatan yang sama kepada partai lain.

Pengamatan KPI (2012) menunjukkan hanya dalam 2 bulan (Oktober-November) beberapa stasiun televisi telah ratusan kali menayangkan iklan partai politik tertentu. Intensitas dan frekuensi penayangan iklan (politik) itu bertambah tinggi tahun 2013 dan tentunya tahun 2014. Dalam perspektif  jurnalistik, penggunaan media untuk kepentingan partai politik tertentu berarti melanggar Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik (KEJ), serta Pasal 5 dan Pasal 36 (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Bentuk lain pelanggaran kode etik yang lebih bersifat personal yaitu keterlibatan langsung jurnalis dalam politik, bukan hanya sebagai calon anggota legislatif (caleg) melainkan juga sebagai anggota penyelenggara pemilu ataupun tim sukses.

Biota Politik

Berangkat dari persoalan genting pada tahun 2014 maka ada keniscayaan peran yang dijalankan media Indonesia. Pertama; pers harus memfungsikan diri sebagai ”biota politik”. Pengertian biota lazimnya dipakai dalam ilmu biologi dan lingkungan hidup. Pengertian umumnya adalah kumpulan mikroba dalam tanah yang secara alamiah berkemampuan  merombak dan berfungsi sebagai pengurai yang memperbarui struktur tanah. Tujuannya adalah keterwujudan keberlanjutan siklus hara (semacam vitamin) agar tanah tetap bisa menghidupi dan dihidupi makhluk hidup: manusia, tumbuhan, dan hewan.

Dengan menganalogikan pengertian tersebut ke dalam persoalan politik 2014 maka media sebagai biota politik dapat diibaratkan sebagai lembaga yang dituntut memiliki kemampuan mendekomposisi. Artinya media bisa mengurai problem-problem ”sampah” dan ”menyampah” dari proses-proses politik 2014, menjadi unsur  ”hara” dan ”vitamin sosial” yang justru bisa memperkuat bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam perpektif sosial, politik, ekonomi, budaya, dan hankam.

Kedua; untuk sampai pada peran biota politik, media Indonesia harus mendewasakan diri. Media dewasa adalah media yang bukan menjadi bagian dari kegaduhan dan sampah politik nasional melainkan menjadi solusi dan terapi pendamai. Media jangan menjadi tungku perebus isu-isu panas politik parokhial kepartaian, tapi menjadi saluran informasi  objektif yang berpihak pada kepentingan publik yang lebih luas.  

Dalam perspektif minor peristiwa pemilu, media diharapkan mampu mendaur ulang kecenderungan tahun politik yang gaduh, panas, provokatif, curang, penuh aksi mobilisasi,   menjadi tahun yang tenang, sejuk, sugestif, jujur, dan reflektif. Media memberi kontribusi bagi keterwujudan pemilu yang jujur, adil, aman, tertib, bermartabat, dan berkualitas. Semoga peran itu bisa diemban Suara Merdeka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar