Rabu, 12 Februari 2014

Media dan Pemberantasan Korupsi

               Media dan Pemberantasan Korupsi

 Achmad Fauzi   ;   Hakim Pengadilan Agama Tarakan, Kaltara
KORAN JAKARTA,  11 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Sebagai salah satu pilar demokrasi, pers menduduki posisi penting dalam bernegara. Eksistensi pers tak sekadar menjalankan fungsi penyaji informasi dan sarana pendidikan, tapi sekaligus memiliki fungsi kontrol terhadap kebijakan penyelenggara negara.

Beberapa kebijakan tidak populis dan penggunaan anggaran negara yang tidak rasional ditelusuri lebih mendalam melalui kerja jurnalistik sehingga masyarakat mengetahui potensi kesewenang-wenangan penguasa berwujud korupsi. 

Beberapa skandal megakorupsi terus dikawal pers, mulai dari penyelidikan hingga penjatuhan vonis di pengadilan. Apabila ada kejanggalan dan perlakuan tebang pilih terhadap koruptor, pers menggalang suara publik melalui pemberitaan yang imbang. Dapat dikatakan bahwa kedudukan pers sebagai instrumen check and balances berjalannya pemerintahan.

Sepanjang tahun 2013 pers setidaknya memiliki kiprah positif dalam pemberantasan korupsi, di antaranya berhasil mendukung dan merilis kerja Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan tentang sejumlah transaksi finansial yang mencurigakan kepada masyarakat.

Misalnya, siasat koruptor mengelabui penegak hukum dengan menyimpan hasil korupsi di rekening anak, istri, suami, atau sanak saudara. Begitu pula aset koruptor yang berjumlah besar dan telah terintegrasi dalam sebuah capital perusahaan berskala internasional berhasil diungkap berkat peran media. 

Pers memberi informasi berharga kepada masyarakat tentang sejumlah koruptor yang belum dieksekusi lantaran melarikan diri dan belum dijebloskan ke penjara karena sejumlah alasan. Pemberitaan demikian sangat penting diarusutamakan dalam mewujudkan prinsip kesamaan kedudukan di hadapan hukum.

Pers sangat kritis menyorot tren vonis rendah yang dijatuhkan hakim pengadilan tipikor. Kejelian pers dalam menggali informasi, tak pelak, membuat hakim yang sejak awal dicurigai putusannya memihak harus tertangkap tangan oleh KPK tersebab menerima suap. Dengan demikian, peran pers sangat vital di tengah ancaman korupsi yang tak terbendung.

Potret evolusi korupsi di Indonesia kian mengerikan. Bukan perkara perubahan siasat cara sederhana menjadi lebih canggih seperti korupsi kebijakan, kongkalikong perizinan dalam bisnis, jual-beli pasal dalam perumusan aturan, hingga praktik dagang hukum.

Persoalan korupsi patut juga dilihat dari segi kualitas pelaku yang bukan lagi pada level aparat setingkat kelurahan.

Pejabat negara dan kalangan elite politik pun kini justru semakin banyak terperangkap dalam jaringan korupsi. Meluasnya level pelaku korupsi hingga ke jantung pemangku utama negara tentu semakin menyulitkan Indonesia keluar dari mimpi buruk peringkat negara dengan tingkat korupsi tinggi.

Makin Muda    

Kondisi keprihatinan terhadap sikap kemaruk elite bangsa tersebut semakin diperparah dengan persebaran virus korupsi pada generasi muda. Berdasarkan kualifikasi umur, mulai banyak koruptor muda yang menduduki jabatan strategis di partai politik maupun lembaga pemerintahan harus mendekam di balik jeruji.

Hal ini menandakan regenerasi koruptor telah membiak secara berjenjang pada berbagai level jabatan dan rentang usia. Transparency International Indonesia (TII) menyebut Indonesia sebagai negara ke-114 dari 1 negara dengan indeks persepsi korupsi terendah.

Berdasarkan hasil survei tersebut, dari 1 negara yang menjadi lokus survei, 0 persen negara-negara di dunia memiliki skor di bawah 50. Ironisnya, hanya sedikit negara yang memiliki mitigasi risiko korupsi cukup baik. Indonesia termasuk dalam kualifikasi negara dengan indeks persepsi korupsi rendah dengan skor 32 atau setara dengan Mesir. 

Berkaca pada fenomena regenerasi koruptor dan kualitas pelaku korupsi tadi, pemberdayaan pers yang independen harus terus dilakukan. Pers harus membebaskan diri dari konflik kepentingan industri media yang belakangan acap membelokkan idealisme untuk kepentingan tertentu. Pers juga diharapkan tampil lebih tangguh menghadapi serangan balik pemegang tampuk kekuasaan melalui peningkatan akurasi informasi.

Sekali lagi, pers Indonesia harus merdeka! Pekik harapan ini mengemuka pada tiap momentum Hari Pers Nasional, 9 Februari. Dalam perjalanannya pers acap kali dipandang secara tidak proporsional. Benar doktrin kebebasan pers dijamin di Indonesia, namun pada saat yang sama keberlangsungannya selalu disudutkan penguasa.

Setiap Hari Pers, Presiden kerap mengapresiasi kiprah pers nasional yang dianggap mampu menjalankan fungsi sebagai bagian dari proses check and balances penggunaan kekuasaan. Namun, giliran pers menjalankan fungsi kontrol, tak jarang disikapi penguasa dengan mengecam sehingga media kehilangan independensi. Wajar Napoleon Bonaparte gelisah sembari mengatakan, "Apabila pers dibiarkan, saya tidak akan kuat memerintah lebih dari 3 bulan."

Pemerintah hanya melanggengkan media yang dianggap mendukung politik pencitraan, sementara harapan membangun pilar pers yang merdeka dengan memelihara nalar kritisnya hanyalah cita-cita utopis. Padahal, pers menjadi tumpuan utama dalam penyelesaian persoalan bangsa. Kemerdekaan pers, menurut Bagir Manan (2010), merupakan kebebasan dalam menjalankan tugas jurnalistik untuk mendapat berita, mengolah, menyusun, serta menyiarkan.

Semua bentuk pengerdilan otoritas pers, baik pembatasan bersifat preventif ataupun represif, yang dilakukan adalah kesewenang-wenangan. Karena itu harus dilarang. Selama ini, pers dianggap terlalu "kebablasan"dan kerap mengkritik pemerintah.

Ini menjadi mimpi buruk kebebasan pers di Indonesia dan awal mula robohnya media karena tidak mungkin mengkritik pemerintah tanpa dasar. Pers "ngawur"dalam pemberitaan tanpa didukung fakta, secara alamiah akan ditinggalkan pembaca. 
Pemerintah tidak perlu pusing dikritik media. Masyarakat yang akan menilai. Cukuplah menjawab kritikan itu dengan kerja keras dan karya nyata. Terlalu mahal jika energi pemerintah terkuras habis hanya berpolemik dengan media sehingga agenda besar terbengkalai. 

Sekarang zaman yang menghendaki kedewasaan dalam bernegara, ketulusan dalam memimpin tanpa mengaharap pujian, serta diperlukan problem solving. Anggap saja kritik pers sebagai cambuk introspeksi atas kinerja. Masyarakat lebih jeli dan cerdas dalam menilai pemerintah.

Tanpa kritik pers pun, jika melihat banyak kegagalan pemerintah dalam memimpin, masyarakat sudah tahu. Hanya masyarakat perlu media untuk menyalurkan aspirasi karena lembaga legislatif yang diharapkan menyuarakan kepentingan rakyat kadangkala tersumbat.

Ketidakharmonisan hubungan pers dengan kekuasaan akan menimbulkan banyak beberapa implikasi. Pengecaman atas fungsi kontrol pers akan melanggengkan rezim otoriter sehingga berpotensi munculnya kekuasaan sewenang-wenang. Ketika pemerintah antikritik, check and balances negara dan masyarakat terganggu. Ini sangat membahayakan bagi berlangsungnya sistem demokrasi. 

Pers sebagai unsur kekuasaan sosial akan kehilangan napas untuk hidup di alam demokrasi. Dalam jangka panjang ini akan melemahkan keberdayaan masyarakat. Ketika pers mengkritik penguasa, sesungguhnya sedang mewakili suara masyarakat.
Dengan kata lain, pers menjadi instrumen demokrasi untuk menyuarakan mereka yang tidak mampu lagi bersuara. Di masa mendatang pers yang merdeka semakin diperlukan untuk mendobrak mental korup para penguasa. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar