Minggu, 02 Februari 2014

Ketersediaan Pangan Pascabencana Banjir

Ketersediaan Pangan Pascabencana Banjir

Yodfiatfinda  ;   Dosen Universitas Trilogi, Jakarta;
Ketua Pusat Kajian Manajemen Stratejik Global
MEDIA INDONESIA,  01 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
AWAL 2014, beberapa wilayah Indonesia mengalami intensi tas curah hujan yang ekstrem tinggi sehingga menyebabkan banjir besar. Memang banjir membersihkan sungai, got, dan gorong-gorong sehingga bau busuk dan bibit penyakit hanyut terbawa air. Namun selain itu, banjir juga menyebabkan kerugian material yang tidak sedikit, bahkan korban jiwa. Tidak hanya permukiman yang terletak di pinggir sungai, jalan raya, pusat kota, termasuk lahan pertanian pun rusak dihantam banjir. 
Khususnya di daerah Jawa Barat, banjir meluluhlantakkan daerah sentra produksi padi seperti Bekasi, Karawang, Subang, dan Indramayu. Total lahan yang rusak mencapai ratusan ribu hektare.

Salah satu masalah yang timbul setelah banjir surut ialah masalah ketersediaan pangan, baik bagi warga yang menjadi korban langsung bencana banjir maupun yang tidak terkena langsung. Setidaknya ada tiga isu pokok tentang masalah pangan pascabencana banjir ini yang harus diperhatikan: 1) potensi kehilangan produksi akibat lahan yang rusak, 2) kenaikan harga bahan pangan, dan 3) terganggunya distribusi karena jalan yang rusak.

Potensi kehilangan produksi padi

Menurut Menteri Pertanian Suswono, perkiraan sementara luas lahan padi sawah yang rusak akibat banjir mencapai 100 ribu hektare. Namun melihat fakta di lapangan, di daerah sentra produksi padi di Karawang, Subang, Indramayu, Pati, Kudus dan lain-lain, lahan yang sawah yang rusak bisa lebih luas lagi. Di wilayah Indramayu saja luas sawah yang rusak dan puso mencapai 35 ribu ha. Demikian pula daerah pantura lainnya yang pada titik tertentu, bahkan badan jalan, terendam sampai setinggi 2 meter. Apalagi jika dihitung kerusakan lahan akibat bencana lain seperti gunung meletus dan gempa yang terjadi di luar Jawa.

Pertanyaannya sekarang, bagaimana pengaruh kerusakan lahan sawah tersebut terhadap produksi beras 2014. Hal ini perlu dihitung karena produksi padi yang dihasilkan dari daerah pantai utara Pulau Jawa menjadi andalan bagi produksi nasional. Jika total lahan sawah yang rusak mencapai 200 ribu ha, potensi produksi padi yang hilang mencapai 1,02 juta ton gabah kering panen (GKP) karena rata-rata produktivitas lahan ialah 5,1 ton/ha. Jika faktor konversi dari GKP menjadi gabah kering giling (GKG) ialah 83,12%, jumlah produksi yang berpotensi hilang mencapai 848 ribu ton. Ini jumlah yang tidak sedikit walaupun stok beras nasional saat ini dikatakan surplus.

Dengan rata-rata konsumsi beras nasional 130 kg per kapita pertahun, setiap hari jumlah beras yang dikonsumsi oleh 240 juta penduduk Indonesia mencapai sekitar 86 ribu ton atau setara 153 ribu ton GKG. Artinya, potensi kehilangan produksi padi akibat banjir yang terjadi pada pertengahan Januari lalu bisa membuat kelaparan rakyat Indonesia selama seminggu. Desember lalu, Kepala Bulog Sutarto Alimoeso mengatakan stok beras di gudang Bulog berjumlah 2,1 juta ton. Jumlah itu hanya cukup untuk konsumsi nasional selama 22 hari. Padahal untuk menanam padi sampai panen membutuhkan waktu sekitar 100 hari.

Kenaikan harga beras dan pangan lain

Banjir tidak hanya mengganggu produksi beras sebagai makanan pokok, tetapi juga komoditas pertanian penting lainnya seperti sayur dan buah. Harga cabai, bawang merah, buah-buahan, dan sayur-mayur telah merangkak naik akibat kondisi cuaca. Faktor kenaikan harga bersumber dari masalah produksi dan distribusi. Lahan terus-menerus diguyur hujan sehingga menyebabkan lahan kebanjiran dan gagal panen serta penurunan mutu produk. Sementara itu dari faktor distribusi, harga menjadi naik karena lebih lama di perjalanan.

Dalam sepekan ini harga beras di Pasar Induk Cipinang naik pada kisaran Rp500 sampai Rp1.000/kg. Dalam perhitungan inflasi, kenaikan harga beras memberikan pengaruh yang paling besar. Kenaikan harga pangan terutama beras juga terjadi di pasar dunia. Negaranegara eksportir beras utama seperti Vietnam, Thailand, India, dan China telah mengurangi jumlah ekspor karena produksi yang menurun dan juga untuk mengamankan stok dalam negeri masing-masing. Akibatnya, harga beras terus merangkak naik. Indonesia sebagai negara berpenduduk ke-4 terbesar di dunia tidak bisa terlalu berharap banyak terhadap pasar internasional dalam memenuhi kekurangan produksi beras dalam negeri walaupun kita punya uang untuk membeli.

Pascabencana banjir ini, kenaikan harga-harga pangan diprediksi masih akan berlanjut, ditambah kesibukan menghadapi pemilu, bulan puasa, dan Lebaran beberapa bulan lagi. Hal itu pemicu tingginya tingkat inflasi. Januari lalu Kementerian Keuangan memprediksi tingkat inflasi sebesar 1%. Namun, jika melihat kenyataan lebarnya kesenjangan produksi dengan konsumsi pada beberapa komoditas pangan tertentu seperti daging, kedelai, jagung, gula, dan susu, kenaikan harga pangan masih akan terjadi. Ditambah lagi ramalan BMKG yang mengatakan curah hujan masih tinggi sampai Maret 2014.

Kendala distribusi

Akibat banjir pertengahan Januari lalu, jalan nasional pantura mengalami rusak parah. Akibatnya, puluhan kilometer kendaraan terjebak macet. Truk pengangkut bahan pangan tertahan berhari-hari di jalur lalu lintas vital di sepanjang pantai utara. Lepas dari jebakan kemacetan di pantura, arus lalu lintas di jalan Tol CikampekJakarta masih harus tersendat oleh banyaknya jalan yang berlubang dan ambles. 

Keterlambatan itu selain menaikkan biaya distribusi, juga menurunkan kualitas barang karena sifat produk pertanian yang umumnya mudah busuk. Cabai, bawang, sayuran hijau, serta buah seperti melon, semangka, salak, nanas, dan lain-lain bisa busuk jika berada dalam truk lebih dari seminggu.

Dari ketiga masalah tadi, upaya yang bisa dilakukan pihak terkait terutama pemerintah pusat dan daerah ialah menyiapkan sistem distribusi bahan pangan sebagai mitigasi bencana alam serta menyiapkan jalur distribusi alternatif agar keterlambatan suplai bahan makanan tidak berlama-lama. Kualitas aspal jalan raya harus mulai dipikirkan yang tahan banjir agar tidak setiap tahun mengalami kerusakan oleh sebab yang sama.

Gagap bencana pemerintah yang menjadi topik hangat saat ini seharusnya membuat pemerintah malu karena dianggap tidak siap atau lamban dalam menolong warganya yang ditimpa musibah. Selain itu, kesiapan masyarakat sendiri dalam menghadapi situasi darurat bencana harus mulai disosialisasikan. Misalnya, mengonsumsi bahan makanan kering dan beku.

Di negara yang sudah maju, walaupun produksi pertanian terkendala oleh pergantian musim, suplai bahan makanan tidak bermasalah karena masyarakat terbiasa mengonsumsi sayuran beku atau kering. Cabai bisa lebih tahan jika disimpan dalam kondisi kering. Namun, masyarakat belum terbiasa menggunakan cabai kering untuk memasak. Ke depan, hal ini bisa disosialisasikan untuk mengurangi dampak bencana atau perubahan cuaca ekstrem. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar