Ketersediaan
Pangan Pascabencana Banjir
Yodfiatfinda ;
Dosen Universitas Trilogi, Jakarta;
Ketua Pusat Kajian Manajemen Stratejik Global
|
MEDIA
INDONESIA, 01 Februari 2014
AWAL
2014, beberapa wilayah Indonesia mengalami intensi tas curah hujan yang
ekstrem tinggi sehingga menyebabkan banjir besar. Memang banjir membersihkan
sungai, got, dan gorong-gorong sehingga bau busuk dan bibit penyakit hanyut
terbawa air. Namun selain itu, banjir juga menyebabkan kerugian material yang
tidak sedikit, bahkan korban jiwa. Tidak hanya permukiman yang terletak di
pinggir sungai, jalan raya, pusat kota, termasuk lahan pertanian pun rusak
dihantam banjir.
Khususnya di daerah Jawa Barat, banjir meluluhlantakkan
daerah sentra produksi padi seperti Bekasi, Karawang, Subang, dan Indramayu.
Total lahan yang rusak mencapai ratusan ribu hektare.
Salah satu masalah yang timbul
setelah banjir surut ialah masalah ketersediaan pangan, baik bagi warga yang
menjadi korban langsung bencana banjir maupun yang tidak terkena langsung.
Setidaknya ada tiga isu pokok tentang masalah pangan pascabencana banjir ini
yang harus diperhatikan: 1) potensi kehilangan produksi akibat lahan yang
rusak, 2) kenaikan harga bahan pangan, dan 3) terganggunya distribusi karena
jalan yang rusak.
Potensi
kehilangan produksi padi
Menurut Menteri Pertanian Suswono,
perkiraan sementara luas lahan padi sawah yang rusak akibat banjir mencapai
100 ribu hektare. Namun melihat fakta di lapangan, di daerah sentra produksi
padi di Karawang, Subang, Indramayu, Pati, Kudus dan lain-lain, lahan yang
sawah yang rusak bisa lebih luas lagi. Di wilayah Indramayu saja luas sawah
yang rusak dan puso mencapai 35 ribu ha. Demikian pula daerah pantura lainnya
yang pada titik tertentu, bahkan badan jalan, terendam sampai setinggi 2
meter. Apalagi jika dihitung kerusakan lahan akibat bencana lain seperti
gunung meletus dan gempa yang terjadi di luar Jawa.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana
pengaruh kerusakan lahan sawah tersebut terhadap produksi beras 2014. Hal ini
perlu dihitung karena produksi padi yang dihasilkan dari daerah pantai utara
Pulau Jawa menjadi andalan bagi produksi nasional. Jika total lahan sawah
yang rusak mencapai 200 ribu ha, potensi produksi padi yang hilang mencapai
1,02 juta ton gabah kering panen (GKP) karena rata-rata produktivitas lahan
ialah 5,1 ton/ha. Jika faktor konversi dari GKP menjadi gabah kering giling
(GKG) ialah 83,12%, jumlah produksi yang berpotensi hilang mencapai 848 ribu
ton. Ini jumlah yang tidak sedikit walaupun stok beras nasional saat ini
dikatakan surplus.
Dengan rata-rata konsumsi beras
nasional 130 kg per kapita pertahun, setiap hari jumlah beras yang dikonsumsi
oleh 240 juta penduduk Indonesia mencapai sekitar 86 ribu ton atau setara 153
ribu ton GKG. Artinya, potensi kehilangan produksi padi akibat banjir yang
terjadi pada pertengahan Januari lalu bisa membuat kelaparan rakyat Indonesia
selama seminggu. Desember lalu, Kepala Bulog Sutarto Alimoeso mengatakan stok
beras di gudang Bulog berjumlah 2,1 juta ton. Jumlah itu hanya cukup untuk
konsumsi nasional selama 22 hari. Padahal untuk menanam padi sampai panen
membutuhkan waktu sekitar 100 hari.
Kenaikan
harga beras dan pangan lain
Banjir tidak hanya mengganggu produksi
beras sebagai makanan pokok, tetapi juga komoditas pertanian penting lainnya
seperti sayur dan buah. Harga cabai, bawang merah, buah-buahan, dan
sayur-mayur telah merangkak naik akibat kondisi cuaca. Faktor kenaikan harga
bersumber dari masalah produksi dan distribusi. Lahan terus-menerus diguyur
hujan sehingga menyebabkan lahan kebanjiran dan gagal panen serta penurunan
mutu produk. Sementara itu dari faktor distribusi, harga menjadi naik karena
lebih lama di perjalanan.
Dalam sepekan ini harga beras di
Pasar Induk Cipinang naik pada kisaran Rp500 sampai Rp1.000/kg. Dalam
perhitungan inflasi, kenaikan harga beras memberikan pengaruh yang paling
besar. Kenaikan harga pangan terutama beras juga terjadi di pasar dunia.
Negaranegara eksportir beras utama seperti Vietnam, Thailand, India, dan
China telah mengurangi jumlah ekspor karena produksi yang menurun dan juga
untuk mengamankan stok dalam negeri masing-masing. Akibatnya, harga beras
terus merangkak naik. Indonesia sebagai negara berpenduduk ke-4 terbesar di
dunia tidak bisa terlalu berharap banyak terhadap pasar internasional dalam
memenuhi kekurangan produksi beras dalam negeri walaupun kita punya uang
untuk membeli.
Pascabencana banjir ini, kenaikan
harga-harga pangan diprediksi masih akan berlanjut, ditambah kesibukan
menghadapi pemilu, bulan puasa, dan Lebaran beberapa bulan lagi. Hal itu
pemicu tingginya tingkat inflasi. Januari lalu Kementerian Keuangan
memprediksi tingkat inflasi sebesar 1%. Namun, jika melihat kenyataan
lebarnya kesenjangan produksi dengan konsumsi pada beberapa komoditas pangan
tertentu seperti daging, kedelai, jagung, gula, dan susu, kenaikan harga
pangan masih akan terjadi. Ditambah lagi ramalan BMKG yang mengatakan curah
hujan masih tinggi sampai Maret 2014.
Kendala
distribusi
Akibat banjir pertengahan Januari
lalu, jalan nasional pantura mengalami rusak parah. Akibatnya, puluhan
kilometer kendaraan terjebak macet. Truk pengangkut bahan pangan tertahan
berhari-hari di jalur lalu lintas vital di sepanjang pantai utara. Lepas dari
jebakan kemacetan di pantura, arus lalu lintas di jalan Tol CikampekJakarta
masih harus tersendat oleh banyaknya jalan yang berlubang dan ambles.
Keterlambatan itu selain menaikkan biaya distribusi, juga menurunkan kualitas
barang karena sifat produk pertanian yang umumnya mudah busuk. Cabai, bawang,
sayuran hijau, serta buah seperti melon, semangka, salak, nanas, dan
lain-lain bisa busuk jika berada dalam truk lebih dari seminggu.
Dari ketiga masalah tadi, upaya
yang bisa dilakukan pihak terkait terutama pemerintah pusat dan daerah ialah
menyiapkan sistem distribusi bahan pangan sebagai mitigasi bencana alam serta
menyiapkan jalur distribusi alternatif agar keterlambatan suplai bahan
makanan tidak berlama-lama. Kualitas aspal jalan raya harus mulai dipikirkan
yang tahan banjir agar tidak setiap tahun mengalami kerusakan oleh sebab yang
sama.
Gagap bencana pemerintah yang
menjadi topik hangat saat ini seharusnya membuat pemerintah malu karena
dianggap tidak siap atau lamban dalam menolong warganya yang ditimpa musibah.
Selain itu, kesiapan masyarakat sendiri dalam menghadapi situasi darurat
bencana harus mulai disosialisasikan. Misalnya, mengonsumsi bahan makanan
kering dan beku.
Di negara yang sudah maju, walaupun
produksi pertanian terkendala oleh pergantian musim, suplai bahan makanan
tidak bermasalah karena masyarakat terbiasa mengonsumsi sayuran beku atau
kering. Cabai bisa lebih tahan jika disimpan dalam kondisi kering. Namun,
masyarakat belum terbiasa menggunakan cabai kering untuk memasak. Ke depan,
hal ini bisa disosialisasikan untuk mengurangi dampak bencana atau perubahan
cuaca ekstrem. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar