Manajemen
Bencana dalam Pembangunan
Teddy Lesmana ;
Peneliti di Pusat Penelitian
Ekonomi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
|
MEDIA
INDONESIA, 01 Februari 2014
DALAM beberapa pekan
terakhir kita telah menyaksikan bencana alam berturut-turut terjadi di
hadapan kita mulai banjir, gempa bumi, hingga letusan gunung berapi. Beberapa
kejadian bencana baru-baru ini menunjukkan bahwa bencana besar tidak jauh
lagi dari kehidupan keseharian kita. Banjir yang kembali melanda Jakarta dan
juga beberapa daerah, seperti di Manado dan kawasan Pantai Utara Jawa,
letusan Gunung Sinabung di Sumatra Utara, dan yang baru saja terjadi gempa
bumi di Kebumen, menimbulkan korban jiwa dan memaksa puluhan ribu orang harus
mengungsi. Selain korban jiwa dan pengungsi, bencana juga menimbulkan
kerugian ekonomi yang tidak sedikit, mulai dari terganggunya arus distribusi
barang dan jasa hingga terhambatnya kegiatan berproduksi.
Kurang optimalnya
pemerintah dalam mengantisipasi dan mengelola risiko bencana terjadi hampir
di semua tingkatan, mulai dari lokal hingga ke tingkat nasional. Terlebih, di
era desentralisasi ini Indonesia seakan menjadi mozaik yang tercerai berai
tanpa koordinasi. Akibatnya kita bisa lihat ketika alam berjalan sesuai
dengan siklusnya, timbul berbagai macam bencana yang merata di berbagai
daerah.
Selama ini bencana
selalu dianggap sebagai sesuatu yang di luar kendali manusia. Karena itu,
faktor alam selalu dijadikan semacam `kambing hitam' dari semua bencana yang
kita alami. Sebetulnya jika kita kaji lebih jauh, bencana yang menimpa kita
juga tak lepas dari kegagalan kita untuk memasukkan faktor dan potensi
pengurangan risiko bencana ke dalam arus utama perencanaan dan kebijakan pembangunan.
Bencana memang tidak dapat kita hindari. Namun, bencana sebenarnya tidak
terjadi begitu saja. Dalam taraf tertentu, bencana terjadi karena kegagalan
kita dalam melakukan kegiatan pembangunan yang mengakibatkan peningkatan
kerentanan terhadap risiko bencana.
Hal itu dapat terjadi
melalui berbagai mekanisme seperti eksploitasi sumber daya alam yang ceroboh,
kurangnya peran pemerintah dalam mengelola lingkungan sekitar daerah yang
terkena kegiatan pembangunan, dan alokasi anggaran publik yang tidak langsung
ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Liberalisasi dalam pembangunan fisik
juga mengakibatkan situasi di kala orang menjadi semakin miskin, sementara
secara bersamaan peran negara untuk menyediakan jaring pengaman sosial yang
belum begitu optimal. Hal tersebut pada gilirannya menyebabkan kerentanan
bagi orang-orang terpinggir kan dari ekses positif pembangunan yang menggeser
hidup mereka ke kawasan yang rentan terhadap risiko bencana.
Lebih jauh, kerentanan
terhadap risiko-risiko bencana itu juga diperburuk kurangnya peringatan dini
dan kesiapsiagaan, perencanaan peruntukan, dan penggunaan lahan yang tidak
tepat, kegagalan untuk menggabungkan penilaian risiko ke dalam perencanaan
pembangunan, dan kurangnya pelibatan masyarakat dalam manajemen risiko bencana.
Pertanyaannya kemudian
ialah mengapa pemerintah seakan tidak pernah belajar dari berbagai peristiwa
bencana yang sudah terjadi? Jawabannya antara lain karena, pertama, kurangnya
insentif untuk mengurangi risiko bencana karena masalah ini sering dianggap
sebagai sesuatu yang bernuansa jangka panjang, yang prosesnya tidak dapat
dilihat dan dirasakan langsung dalam jangka pendek. Apalagi situasi sekarang
diperparah oleh kepentingan politik sesaat yang lebih dominan. Kedua,
kebijakan pembangunan sering tidak menginternalisasi risiko bencana alam.
Kebijakan yang dibuat didasarkan oleh asumsi bahwa bencana alam adalah
sesuatu yang masih sangat jauh dari kehidupan keseharian kita dan dianggap
sebagai sesuatu yang tidak pasti. Ketiga, kurangnya sosialisasi dan informasi
mengenai potensi risiko dan upaya mitigasi serta adaptasi terhadap bencana
baik dari sisi pembuat dan pelaksana kebijakan itu sendiri mau pun terhadap
masyarakat.
Pengarus utamaan risiko bencana
Sejak akhir dekade
1990-an te lah berkembang pandangan mengenai perlunya pengarusutamaan (mainstreaming) pengurangan risiko
bencana ke dalam kebijakan pembangunan. Tingginya perhatian mengenai hal
tersebut juga didorong oleh kenyataan meningkatnya kerugian-kerugian yang
ditimbulkan akibat bencana karena meningkatnya kerentanan sosial dan ekonomi
terkait dengan terjadinya bencana.
Antara dekade 1950-an dan 1990-an,
dilaporkan terjadi peningkatan 15 kali lipat biaya yang ditimbulkan akibat
bencana secara riil dan sekitar 1,6 miliar orang terdampak dalam periode
1984-1983 dan meningkat menjadi sekitar 2,6 miliar orang dalam dekade
selanjutnya (World Bank, 2006).
Dalam beberapa tahun
terakhir kita juga menyaksikan berbagai bencana besar mulai dari gempa dan
tsunami Samudra Hindia pada 2004, badai Katrina di Amerika Serikat pada 2005,
gempa bumi di Kashmir pada 2005, hingga topan Haiyan yang melanda Filipina
pada 2013 yang lalu. Meskipun kerugian ekonomi absolut yang dialami negara
maju jauh lebih besar ketimbang apa yang dialami negara-negara berkembang, secara
relatif negara-negara berkembang jauh mengalami kerugian lebih parah. Menurut
Bank Dunia, kerugian yang dialami akibat bencana di negara-negara berkembang
bisa mencapai 20 kali lipat lebih besar dari persentase PDB jika dibandingkan
dengan negara-negara maju karena hampir 95% bencana yang menyebabkan kematian
terjadi di negara-negara berkembang.
Untuk meminimalkan
bencana dan dampak yang ditimbulkannya, seyogianya harus mulai untuk membuat
disain perencanaan pembangunan yang memasukkan kajian yang sistematis
terhadap risiko bencana. Dalam disain tersebut hendaknya ada berbagai
pilihan-pilihan kebijakan dalam rangka mengatasi kerawanan dan kerentanan
terhadap bencana alam bagi semua kelompok dalam masyarakat. Lebih jauh,
perencanaan pembangunan pemerintah mulai dari pusat hingga daerah harus
menetapkan target yang jelas dan indikator kinerja yang dapat digunakan untuk
mengevaluasi kemajuan dari risiko bencana kemajuan upaya pengurangan risiko
ke dalam kebijakan pembangunan.
Kajian terhadap risiko
bencana harus dilakukan secara berkala untuk memastikan keakuratan manajemen
risiko bencana sesuai dengan perubahan dalam dinamika kehidupan
sosial-ekonomi masyarakat dalam proses pembangunan. Untuk lebih spesifik
dalam kaitannya dengan penanganan bencana, kita perlu membangun siklus
manajemen bencana. Manajemen siklus ini harus meliputi, pertama, pencegahan
dengan mengukur dan memprediksi terjadinya bencana kajian ilmiah yang
kredibel.
Kedua, mitigasi untuk meminimalkan dampak bencana yang terukur
dalam langkah program aksi pascabencana. Ketiga, kesiapan, langkah-langkah
prosedur standar, dan sosialisasi penanganan tanggap bencana sehingga
masyarakat siap untuk mengantisipasi bencana. Keempat, respons yang cepat dan
terstruktur penanganan pascabencana.
Sebagai penutup, dalam
rangka menciptakan kondisi yang kondusif dalam pengarusutamaan manajemen
risiko bencana kebijakan dalam pembangunan, beberapa prakondisi yang harus
disiapkan ialah, pertama, aspek legislasi. Rancangan landasan hukum yang
tepat untuk manajemen risiko bencana termasuk pengarusutamaan pengurangan
risiko bencana ke dalam perencanaan dan kebijakan pembangunan merupakan
komponen kunci dalam menciptakan lingkungan dan kerangka kerja sehingga
strategi-strategi manajemen risiko bencana dapat lebih diberdayakan.
Kedua, strategi manajemen
risiko bencana. Perlu dikembangkan strategi manajemen risiko bencana yang
komprehensif yang secara aktif melibatkan berbagai pemangku kepentingan dari
berbagai tingkatan pemerintahan dan juga kalangan swasta, komunitas lokal,
dan masyarakat madani diperlukan dalam implementasi kerangka kerja legislatif
dan memberikan platform susunan koordinasi dan mekanisme monitoring. Ketiga, susunan dan kapasitas kelembagaan untuk
manajemen risiko bencana yang terkoordinasi mulai dari tingkat pusat dan
daerah termasuk kapasitas pelaksanaan manajemen risiko bencana yang memadai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar