Minggu, 02 Februari 2014

Tak Henti Mendukung KPK

Tak Henti Mendukung KPK

Teuku Kemal Fasya  ;   Dosen FISIP Antropologi
Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
SINAR HARAPAN,  01 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Kerap orang keliru menggunakan istilah “kritik” (to criticize) dan mencampur-adukkan dengan istilah “menghina” (to insult, to humiliate). Pembolak-balikan itu dilakukan dengan kasar dan dijadikan pembenaran dalam praktik berbahasa dan berwacana.
Kritik adalah proses mendalami masalah untuk menemukan kebenaran, meminggirkan kekeliruan, dan melakukan evaluasi lanjutan dengan metode terukur dan pasti.

Kritik bahkan menjadi cabang pengetahuan tersendiri, seperti dikembangkan “mazhab Frankfurt” yang sebenarnya berangkat dari filsafat neo-Marxisme. Mengutip pandangan Max Horkheimer, pendiri mazhab Frankfurt, teori kritis adalah penilaian refleksif atas masyarakat dan kebudayaan dengan menggunakan pendekatan pengetahuan sosial dan kemanusiaan.

Mengkritik berbeda dengan menghina. Menghina bisa dilakukan kapan saja, untuk apa saja asal mendapatkan kesalahan termasuk merendahkan pribadi (ad hominem). Menghina tidak terikat pada kaidah moral tertentu. Sinonim menghina adalah menghujat, mencerca, merendahkan, mencela, dan lain-lain.

Asal Hujat

Dalam konteks “penilaian kritis”, kalangan “anti-Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK”, seperti ditunjukkan anggota DPR, Fahri Hamzah dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan keluarga tersangka seperti Rizal Mallarangeng dapat dimasukkan ke dalam term kedua.

Sikap ini dapat dikatakan jauh dari model kritik elegan, suara cenderung memaki, menghujat pribadi, bahkan memiliki kecenderungan untuk mendelegitimasi lembaga yang kini menjadi satu-satunya kepercayaan publik.

Ironisnya, advokat senior dan sekaligus penggagas KPK, Adnan Buyung Nasution, ikut “membantai” KPK yang dituduh melenceng jauh dari rencana pemberantasan korupsi yang benar. Ia bahkan menyerukan membubarkan KPK.

Publik tentu saja harus mengambil jarak dengan model wacana seperti ini. Dalam filsafat posmodernisme, wacana (discourse) tak bisa lepas dari relasi kuasa (power). Wacana tokoh-tokoh publik di atas jelas tidak berdiri secara independen ketika mengkritik KPK. Fahri dari PKS tentu mengkritik keras karena sentimen kasus Luthfi Hasan Ishak (LHI) yang dihukum atas kasus impor sapi dan penyuapan.

Penangkapan mantan Presiden PKS itu jelas berpengaruh pada elektoral partai tersebut pada Pemilu 2014, yang dalam banyak survei telah berada di titik nadir. Rizal tentu saja membela kakaknya, Andi Alfian Mallarangeng yang menjadi tersangka pada kasus Hambalang, serta Adnan Buyung Nasution (ABN) menjadi pengacara dua tersangka korupsi, Tubagus Chairi Wardana (Wawan) dan Anas Urbaningrum.

Dalam kasus penangkapan Anas, ABN bahkan mengajarkan pembangkangan kepada Anas sehingga proses penyidikannya menjadi bertele-tele. Jika ditilik, kemarahan ABN tentu sangat erat hubungannya dengan proses berperkara yang sedang dijalankannya.

Jauh sebelum ini, jika publik masih ingat putera ABN juga pernah menjadi tersangka oleh KPK pada kasus pengadaan impor sapi, mesin jahit, dan sarung di Kementerian Sosial (Kompas, 29 April 2010). Kasus itu tidak sampai pada penuntutan karena sang anak meninggal pada masa penyidikan.

Beberapa kritik terhadap KPK terkait dengan perannya yang semakin besar, tidak memiliki pijakan yang objektif.

Sejak KPK dibentuk berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 dan undang-undang yang berhubungan dengan kewenangannya, seperti UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), KPK telah menjadi transformator terkuat dalam pemberantasan korupsi yang juga semakin meraksasa dan bermutan banyak. Kewenangan KPK adalah keniscayaan sejarah ketika model dan motif korupsi sudah sedemikian kompleks, termasuk kelihaian pengacara koruptor untuk melepaskan kliennya dari jeratan hukum.

Kasus terakhir, sejak diberlakukan UU TPPU, tindakan pemberantasan korupsi bukan hanya bertujuan menghukum koruptor tapi juga “memiskinkan”. Hal itu adalah patut karena penistaan mereka atas kekayaan negara yang tak lain kekayaan rakyat dan semakin tak bertepi.

Para pakar hukum masih berdebat tentang filosofi dan mekanisme pemberlakuan TPPU yang terlihat kejam dalam praktiknya, seperti ketika menghukum Gayus Tambunan, Angelina Sondakh, Joko Susilo, dan LHI. Namun, di sisi lain publik mendapatkan ruang bernafas semakin sehat dan lepas dari penyakit sesak.

Penting dipahami, dalam kejahatan korupsi, rakyatlah korban semesta pelanggaran HAM. Kegeraman masyarakat kini terjawab. Itulah alasan mengapa KPK menjadi lembaga yang paling dipercaya publik setelah Mahkamah Konstitusi (MK) gagal di ujian akibat kasus Akil Mochtar.

Terkait HAM, koruptor seharusnya dibicarakan secara proporsional. Tuduhan Fahri Hamzah bahwa kewenangan penyadapan KPK telah melanggar hak-hak individual warga termasuk tersangka korupsi, seperti yang tercantum dalam UUD 1945 Oasal 28G Ayat (1) dan 28J Ayat (2) tentang hak warga negara yang hanya boleh dibatasi undang-undang, termasuk alibi telah dicabutnya pasal penyadapan dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik/ITE (UU Nomor 11 Ttahun 2008) oleh MK.

Penjelasan di atas akan dilihat sebagai kebenaran jika KPK tidak memiliki hak dalam penyadapan. Padahal kewenangan itu diatur dalam undang-undang, yaitu untuk kasus keamanan negara seperti terorisme dan korupsi. Karena kewenangan itulah, KPK berhasil membongkar kejahatan konspiratif korupsi, terutama yang berhubungan dengan penyuapan, transaksi-transaksi rahasia melalui teknologi komunikasi, serta kelihaian para korupsi memilih tempat dan waktu untuk transaksi.

Jantung Hati Rakyat

Tentu saja, jihad besar KPK untuk membersihkan najis korupsi tidak luput dari khilaf dan kesalahan minor, biasanya lebih pada strategi, prioritas, atau aspek etik. Kasus Sprindik Anas yang bocor ke publik, Bank Century yang masih macet, atau deponeering Bibit-Chandra adalah sedikit “masalah minor” perjalanan KPK. Namun, kasus itu seharusnya tetap dianggap kerikil yang tidak perlu dijadikan bongkahan batu gunung untuk menghancurkan rumah KPK.

Banyaknya kasus dan tuntutan menuntaskan kasus-kasus besar, terkadang berpengaruh pada kualitas dan kinerja, tapi harusnya dijadikan refleksi kritis memperkuat KPK, bukan sebaliknya. Jika mau jujur, perjalanan 10 tahun KPK telah memberikan warna dan perbedaan yang cukup signifikan dalam pemberantasan korupsi di negeri ini.

Kita harus melihat dengan kepala sehat, Indonesia pasti menghadapi kanker kebangsaan stadium akhir jika KPK tidak pernah dilahirkan. Komparasi sejarah pemberantasan korupsi harus dilihat secara objektif, tidak melakukan melodrama seolah sejarah pemberantasan korupsi saat ini lebih buruk dibandingkan Orde Lama atau Orde Baru.

Kita memang tidak menginginkan politik menghalalkan cara, tapi publik lebih tidak ingin bangsa ini dicekik oleh elite-elite korup dan politikus busuk yang menyulap sistem ekonomi, politik, dan hukum sebagai alat pemuas syahwat keserakahan dan hedonisme mereka.

Pesan membesarkan hati ini penting ditujukan kepada KPK agar tetap fokus dan kuat dalam menggembala kasus-kasus korupsi. Publik pun harus lebih kritis dan apresiatif, tidak larut dalam sangkaan-sangkaan sentimentil yang dikembangkan kader-kader partai yang tersangkut kasus korupsi.

Banyak musuh KPK sedang menunggu komisioner KPK jatuh ke kubangan, seperti dialami Antasari Azhar. Namun, publik masih setia berada di belakang KPK. KPK masih menjadi jantung hati rakyat. Jangan sampai ia mengalami gagal jantung karena serangan-serangan tak bertanggung jawab dari musuh-musuhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar