Rabu, 12 Februari 2014

Optimalisasi Pengawasan BUMN 2014

             Optimalisasi Pengawasan BUMN 2014

 Bahrullah Akbar   ;   Anggota VII BPK yang membidangi Audit pada BUMN
SINAR HARAPAN,  11 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Salah satu peran pemerintah dalam ekonomi nasional adalah mendirikan BUMN yang ditujukan menjadi agent of development, serta mengambil posisi motif untuk mencari keuntungan bagi negara. Pembentukan BUMN sebagai salah satu instrumen negara yang mempunyai motif mencari keuntungan dan menjalankan peran untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat yang tidak bisa diberikan lembaga pemerintah lainnya, karena terkendala regulasi yang berlaku pada lembaga tersebut. BUMN merupakan milik negara yang pembentukannya ditetapkan dengan UU, termasuk proses Penyertaan Modal Negara (PMN) karena menggunakan uang rakyat.

Menurut Nugroho at al (2005), BUMN didirikan dengan tiga alasan utama; Pertama, BUMN dijadikan wadah bagi bisnis ataupun aset asing yang dinasionalisasi. Kedua, membangun industri yang diperlukan masyarakat, namun sektor swasta tidak mampu memasukinya. Ketiga, membangun industri yang strategis berkenaan dengan keamanan negara. Sebagai organisasi yang berbentuk quasi profit, BUMN mempunyai tujuan utama mendapatkan keuntungan, tetapi juga melayani masyarakat. BUMN juga termasuk organisasi hibrida karena mengelola dua jenis dana yang terdiri atas dana publik keuangan negara dan swasta. 

Dengan ciri dan bentuk seperti itu, BUMN harus memijakan kaki pada dua sisi yang bisa dikatakan kontradiktif. Di satu sisi, BUMN harus menjalankan bisnis dengan mengikuti tata kelola yang baik (governance). Di sisi lain, BUMN juga harus dapat berperan sebagai organisasi publik yang memberikan pelayanan pada publik. 

Isu penguatan BUMN pada dasarnya telah mengemuka ketika Indonesia menghadapai krisis ekonomi 1998. Sebelum krisis, Indonesia dianggap the nation with economic miracle. Pada 1996, Indonesia memiliki pertumbuhan rata-rata 7 persen, pendapatan perkapita US$ 1.300 dan puchasing power parity mencapi US$ 5.000. Namun, kekuatan ekonomi itu merosot tajam pada 1998.

Perekonomian Indonesia yang dimotori konglomerat dan menguasai sebagian besar aset produktif tidak mampu membendung volatilitas nilai tukar dan dampak resesi ekonomi regional. Hal itu secara sistemik juga berdampak pada rontoknya bangunan perekonomian nasional yang fondasinya memang rapuh. 

Pascakrisis, harapan besar pemulihan ekonomi dikembalikan pada BUMN serta Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Dengan demikian, sangat wajar jika BUMN diharapkan menjadi lokomotif penggerak ekonomi Indonesia. Seiring meningkatnya persaingan bisnis secara global, wajar jika pengawasan memiliki peran sangat penting demi menjaga keberlangsungan entitas bisnis.

Upaya Meninggalkan UU
UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyebutkan, Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara, sehubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. 

Dari pengertian ini, jelas secara eksplisit lingkup keuangan negara sangat luas. Menurut Pasal 1 angka 10 UU BUMN, pengertian kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), untuk dijadikan penyertaan  modal negara pada persero atau perum. Meski pengelolaannya tidak didasarkan pada sistem APBN, tidak berarti dipisahkan dari kekayaan negara. Keuangan negara tidak hanya dilihat dari fungsi fiskal, tetapi juga harus dilihat sebagai fungsi moneter dan kekayaan negara yang dipisahkan. Saat ini, sebagian besar masyarakat masih menganggap keuangan negara hanya ditinjau dari satu fungsi fiskal yang direfleksikan pada APBN/APBD. 

Pengajuan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU Keuangan Negara menunjukkan adanya upaya meninggalkan UU tersebut dalam pengelolaan BUMN. Fakta yang terbaru adalah tidak digunakannya UU Nomor 17/2003 sebagai rujukan Peraturan Menteri (Permen) BUMN Nomor PER-09/MBU/2013 tentang Kebijakan Umum Transaksi Lindung Nilai Badan Usaha Milik Negara.

Jika melihat bentuk juga quasi profit dan jenis dana yang dikelola terdiri atas dana publik dan swasta, seharusnya BUMN selalu menggunakan empat UU sebagai rujukan dalam membuat atau menentukan kebijakan dan teknis pengelolaan BUMN. Keempat hukum positif yang harus menjadi rujukan itu adalah UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, dan UU Nomor 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. 

Terdapat perbedaan mendasar antara kerugian korporasi dan negara. Tidak semua kerugian korporasi merupakan kerugian negara. Kerugian korporasi bisa dialami entitas bisnis manapun yang merupakan bagian lumrah dalam suatu proses bisnis. Kerugian korporasi bisa terjadi jika semua proses bisnis telah dijalankan berdasarkan kriteria yang telah ditentukan dan memberikan hasil berupa kerugian bagi korporasi.

Kerugian negara merupakan akibat dari perbuatan yang bersifat melawan hukum melalui penyalahgunaan wewenang, kesempatan dari seseorang atau korporasi untuk memperkaya diri sendiri. Intinya, kerugian keuangan negara merupakan akibat dari tindak pidana korupsi dengan modus melawan hukum dan unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi. Pada dasarnya, kerugian keuangan negara hampir identik dengan kecurangan korporasi (fraud). Bisa dikatakan, kecurangan korporasi pada BUMN pasti merupakan bagian dari kerugian keuangan negara. 

Fraud menurut Elder at al (2010) merupakan penipuan yang disengaja dengan menghilangkan kekayaan/properti orang lain. Dalam konteks laporan keuangan, fraud didefinisikan sebagai kesalahan saji yang disengaja dalam laporan keuangan. Dua kategori yang terbesar dalam fraud adalah kecurangan pada penyajian laporan keuangan dan penggelapan aset. 

Lebih jauh lagi, fraud dalam laporan keuangan, menurut Hopwood et al (2008) adalah kesalahan saji yang disengaja atas laporang keuangan. Laporan keuangan tidak memberikan informasi akurat atas posisi keuangan, hasil dari operasi dan arus kas entitas bisnis.  

Pada dasarnya, peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah mendorong terciptanya akuntabilitas dan transparansi di BUMN. Akuntabilitas dan transparansi merupakan pilar utama good governance.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar