Jumat, 24 Januari 2014

Korupsi dan Revisi UU Pemda

Korupsi dan Revisi UU Pemda

Robert Endy Jaweng  ;    Direktur Eksekutif KPPOD, Jakarta 
MEDIA INDONESIA,  24 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
DESENTRALISASI selalu berintikan transfer kuasa dan uang dalam dosis tertentu dari pusat ke daerah. Dinamika hubungan pusat-daerah acap diwarnai perjuangan dan tarik-menarik perihal derajat kuasa dan uang yang didesentralisasikan. Belum lagi kita memperoleh kesimpulan solid ihwal dampaknya bagi kesejahteraan publik atau menemukan resep yang pas untuk membuat kuasa dan uang bisa dikelola secara akuntabel. Desentralisasi terbukti menghadirkan lingkungan persoalan baru di ranah lokal. Uang dan kuasa besar yang berpindah locus itu kian lekat dengan tendensi dan praktik korupsi (power tends to corrupt).

Memasuki tahun ke-14 penerapan desentralisasi di negeri ini, ribuan pejabat lokal terjerat oleh korupsi. Tidak kurang dari 300 kepala/wakil kepala daerah yang menjabat 2004-2013 tersangkut perkara kejahatan serius itu. Pada pranata legislatif, sekitar 2.000 anggota DPRD harus berurusan dengan hukum; entah sebagai saksi, tersangka, hingga terpidana. Tidak terhitung pula kalangan birokrat eselon strategis (sekda/kepala dinas) hingga para pimpro di level operasional yang turut melakukan praktik keji serupa dalam jumlah yang tidak kalah fantastis.

Ironisnya, tendensi korupsi telah terlihat jauh sebelum menduduki jabatan resmi di pemerintahan. Seorang kandidat kepala daerah sering justru telah membayar di muka ongkos bagi jabatan yang hendak diraihnya; praktik transaksi dan politik uang untuk meraih kursi kekuasaan. Maka saat menjalankan pemerintahan, alih-alih mengurus rakyat, pejabat terpilih sibuk membayar utang dan mengembalikan modal lewat korupsi anggaran, perizinan usaha, tender pengadaan barang/jasa, dan seterusnya.

Cenderung lembek

Jika ditilik dari segi kebijakan desentralisasi, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak mendapatkan dukungan optimal. Korupsi institusional seolah difasilitasi untuk terjadi seperti yang bisa dilihat pada besarnya akses/peluang terjadinya korupsi dan kuatnya toleransi atas malapraktik maupun pelaku korupsi itu sendiri, bahkan cenderung ke arah impunitas korupsi. Regulasi pokok seperti UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak memuat pengaturan yang bisa secara efektif memprevensi apalagi memberi efek jera. Prevensi sulit dilakukan jika sistem integritas dan ruang pengawasan publik justru tidak dijamin pengaturan dan penerapannya di daerah sehingga pemerintahan pun sulit dikelola secara akuntabel dan partisipatif.

Pada sisi lain, regulasi otonomi tersebut juga tak sepenuhnya sejalan dengan spirit pemberantasan korupsi sebagaimana isi regulasi anti korupsi. Di sini, korupsi belum dilihat sebagai kejahatan luar biasa yang memerlukan upaya luar biasa dan penuh terobosan. Kalau UU No 30/2002 tentang KPK mengatur pemberhentian sementara dari jabatan dilakukan saat pejabat publik berstatus tersangka (Pasal 12 ayat [1e]), UU No 32/2004 justru baru memberlakukan sanksi tersebut setelah menjadi terdakwa.

Celakanya, terhadap berbagai praktik korupsi yang disangka, yang disangka, didakwa, atau pun terbukti dilakukan seorang pejabat daerah, dasar hukum bagi penetapan konsekuensi atas jabatannya justru merujuk kepada UU Pemda yang cenderung lembek terhadap lembek terhadap kejahatan tersebut. Karena itu, jika hari ini kita memiliki sekitar 176 tersangka yang pernah/sedang menjabat kepala daerah/wakil kepala daerah, mereka tidak bisa diberhentikan alias tetap menjabat meski status hukum mereka sudah berkategori tercela demikian.

Bahkan, tragisnya, mereka bisa terpilih kembali pada periode kedua kendati menyandang status tersangka dan tetap dilantik. Lihat saja Wali Kota Tomohon, Sulawesi Utara, Jefferson Rumajar, Khamamik (Bupati Mesuji, Lampung), dan Hambith Bintih (Bupati Gu nung Mas, Kalimantan Tengah). Demi hukum dan prosedur administrasi kepemerintahan yang kaku, kita sengaja mencederai prinsip etika publik dan keutamaan moral.

Urgensi revisi

Sejauh pembahasan substansi revisi UU Pemda yang sedang berlangsung di DPR saat ini, isu krusial itu luput dari perhatian. Arah revisi masih berkisar isu titik berat otonomi, penataan daerah (pemekaran), reposisi DPRD, penguatan provinsi, dan seterusnya. Hemat saya, momentum revisi saat ini mesti lebih jauh dilihat dalam kerangka persoalan besar yang sifatnya sistemis dalam pemerintahan; tata kelola yang buruk dan korupsi berjemaah di daerah.

Untuk itu, substansi perubahan mesti bertitik tolak dari cara pandang atas korupsi sebagai kejahatan luar biasa dan bersifat sistemis. Turunan pada pasal-pasal berikutnya harus pekat dengan arus utama antikorupsi dan promosi tata kelola yang akuntabel. Pada aspek pencegahan (preventif ), hal itu berarti tegaknya sistem integritas, termasuk berfungsinya instrumen pengendalian internal (Bawasda dan BPKP), efektifnya otoritas kontrol pusat, serta terbukanya akses pengawasan publik.

Pada aspek penindakan (represif), konsekuensi dari ditempuhnya proses hukum atas praktik korupsi pejabat daerah berarti tunduknya pula regulasi otonomi terhadap regulasi korupsi sebagai lex specialis. Maka, sejumlah pasal pemberhentian sementara/tetap dalam UU No 32/2004 (Pasal 28-Pasal 35) semestinya tak lagi mengatur norma baru terkait dengan tahapan perkara dan implikasinya pada jabatan (ini ranah regulasi korupsi), tapi hanya mengatur tindak lanjut tata cara (prosedur administrasi kepemerintahan) perihal pemberhentian dimaksud.

Dengan demikian, jika merujuk regulasi korupsi, pemberhentian sementara tidak menunggu status terdakwa, tapi `dimajukan' saat masih dalam tahap penyelidikan dan penyidikan sebagai tersangka berdasar wewenang KPK yang diperintahkan kepada atasan pejabat yang bersangkutan. Langkah itu, hemat saya, tidak perlu selalu dikaitkan dengan-seperti yang jadi alasan penolakan selama ini--keputusan yang berkekuatan hukum. Toh, status terdakwa juga belum berkekuatan hukum, faktanya sudah bisa diberhentikan sementara, kenapa tidak sekalian `dimajukan' saat statusnya tersangka?

Alasan dasarnya; apa pun status perkara seorang pejabat daerah, ketika dia sudah berurusan dengan proses substantif hukum--apakah dia ditahan atau dibiarkan berada di daerahnya--pasti konsentrasinya untuk mengurus pemerintahan terganggu. Dapat dipastikan sebagai besar waktu dan energi habis terpakai untuk masalah hukum. Bahkan, itu berpotensi menimbulkan korupsi baru lantaran seorang tersangka yang dibiarkan tetap menjabat justru bisa memanfaatkan fasilitas jabatan bagi kepentingan perkaranya.

Dalam alasan dasar semacam itu pula, kita berharap agar proses penanganan perkara untuk kasus korupsi kepala daerah harus diprioritaskan ketimbang korupsi oleh pejabat negara lainnya. Tindakan afirmatif demikian didasari fakta, status hukum seorang kepala daerah jelas berdampak langsung dan signifikan atas nasib rakyat dan jalannya pemerintahan. Kalau anggota seorang atau sejumlah anggota DPRD terjerat kasus hukum, lembaga itu tetap sah dan efektif lantaran bersifat kolegial-kolektif.

Pengesahan APBD atau pengangkatan pejabat birokrasi, misalnya, jelas sulit dilakukan jika kepala daerah berstatus tersangka atau terdakwa. Di sisi lain, wakil kepala daerah tidak bisa mengambil alih tugas sebelum adanya pelimpahan kewenangan dari kepala daerah, sebagaimana yang terjadi di Provinsi Banten.

Akhirnya, ini saatnya untuk secara fundamental menata sistem integritas bagi pencegahan korupsi, serta secara tegas memberlakukan ketentuan keras dalam aspek penindakan. Momentum untuk mengarusutamakan sikap antikorupsi dan promosi tata kelola akuntabel di daerah mesti dimulai dari proses revisi UU Pemda saat ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar