Bumi Gonjang-Ganjing
Toeti Prahas Adhitama ;
Anggota Dewan Redaksi Media Group
|
MEDIA
INDONESIA, 24 Januari 2014
UNGKAPAN `bumi gonjang-ganjing',
bumi bergejolak, sering didendangkan ki dalang ketika ceritanya berkaitan
dengan bencana yang melanda, apakah bencana perang atau bencana alam. Dalam
hal bencana alam yang sekarang sedang menyerang beberapa wilayah Indonesia,
misalnya, ki dalang mungkin akan berkata, para dewa murka karena manusia
merusak bumi. Kerusakan lingkungan mengganggu irama alam yang membuat para
dewa murka. Sebenarnya alamlah yang menjadi murka.
Seperti awal tahun lalu,
saat-saat ini banjir hebat di Jakarta mengiringi datangnya Tahun Baru.
Kemilau dan kemewahan Jakarta yang digambarkan dalam pesta Tahun Baru segera
sirna digantikan oleh tayangan banjir besar yang terutama menyerang
permukiman kumuh. Gambaran tentang Jakarta yang serbamewah digantikan oleh
gambar realitas sisi lain Jakarta yang sarat kekurangan.
Tayangan yang tersiar ke
seluruh Indonesia mengenai tempat-tempat penampungan ratusan pengungsi, yang
dengan sendirinya tampak kurang memadai, mudah-mudahan menyadarkan semuanya
bahwa perlu ada perubahan secara institusional; dan perubahan sikap seluruh
warga. Bila kita masih terus menjalankan business
as usual dengan segenap keserakahannya, mungkinkah kita bisa menghindari
bencana banjir yang datang secara berkala?
Berpikir dengan perspektif
jangka panjang memang bukan kebiasaan kita. Misalnya, bahwa Ibu Kota NKRI
akan terus-menerus menjadi sasaran bencana banjir, ini dianggap rutinitas.
Bencana akan datang dan pergi. Sementara itu, demi kampanye politik, kita
tidak malu-malu berbicara tentang keadilan, usaha menghapus kemelaratan,
mengatasi kerusakan lingkungan, melindungi hak asasi sesuai asas-asas
Pancasila, dan banyak lagi. Dalam tahun politik sekarang, apa yang kita
kampanyekan sering tidak seiring dengan perbuatan kita. Karena itu, ada saja
kritik yang mengaitkan bencana alam dengan kegiatan politik.
Perlu
sadar lingkungan
Apa yang diramalkan buku
Global 2000 rupanya menjadi kenyataan, termasuk yang dialami sejumlah wilayah
di Indonesia. Penduduk terlalu padat, polusi menghebat dan lingkungan hidup
lebih mudah kena guncangan. Namun, laporan mengerikan itu kurang mendapat
tanggapan. Yang terjadi malahan polemik berkepanjangan ketika banjir sedang
melanda. Salah-menyalahkan menjadi kebiasaan. Padahal, intinya penyebab utama
banjir adalah tidak adanya kesadaran akan lingkungan oleh warga. Keadaan seperti
ini sudah berlarut-larut puluhan kalau bukan ratusan tahun.
Ketika Jan Pieterzoon Coen
menjabat Gubernur Jenderal Belanda (1619-1625), dia membangun istananya di
muara Sungai Ciliwung, setelah membakar habis perkampungan di daerah itu.
Daerah yang disebutnya Batavia, yang pada awalnya disiapkan untuk menampung
600 ribu penduduk, kemudian meluas ke barat, timur, dan selatan. Dua abad
kemudian, tempat tinggal gubernur jenderal akhirnya pindah ke Rijswijk di
selatan, yang sekarang menjadi pusat pemerintahan NKRI. Jumlah penduduk
Jakarta pun meningkat pesat hingga saat ini mencapai belasan juta, seka lipun
disarankan jumlahnya jangan sampai melebihi 12 juta mengingat keterbatasan
fasilitas yang tersedia seperti tecermin dalam rancangan Rencana Umum Tata Ruang
(RUTR). Penduduk yang heterogen akibat membanjirnya pendatang dari luar
wilayah Jakarta sudah pasti menimbulkan masalah tersendiri.
Pesatnya pertumbuhan
penduduk yang sebagian kemudian membangun tempat tinggal di bantaran-bantaran
sungai tanpa izin membuat badan aliran 13 sungai yang ada menyempit. Padahal,
menurut RUTR idealnya lebar sungai 20 meter. Dengan menyempitnya
sungai-sungai, saluran air pun berkurang. Belum lagi banyaknya saluran yang
tertutup bangunan, yang mengakibatkan genangan banjir. Tidak adanya kesadaran
akan pentingnya lingkungan hidup yang sehat juga terbukti dengan kebiasaan
penduduk membuang sampah sembarangan. Sampah mengotori sungai-sungai dan
saluransaluran air, yang menghambat kelancaran aliran air.
Teknologi seharusnya
membantu. Misalnya, yang pernah dilakukan Belanda, keputusan warganya memilih
tempat permukiman di tengah alur laut dibarengi dengan usaha gigih ratusan
tahun membangun berbagai jenis bendungan agar aliran air tidak menenggelamkan
wilayah permukiman yang sempit itu. Mereka berhasil. Apakah kita segigih itu?
Sikap
tegas memagari keserakahan
Prakarsa Gubernur DKI
membongkar bangunan-bangunan tanpa izin bangunan dalam jangka panjang tentu
membantu menyelamatkan Jakarta dari kerusakan lebih parah. Selain itu, ada
lima proyek besar penghadang banjir yang sedang dalam proses penyelesaian,
yang memakan biaya ratusan triliun rupiah.
Namun, keserakahan juga tidak
kurang-kurangnya berusaha menerabas segala aturan demi keuntungan sendiri. Di
masa ketika korupsi dan tradisi suap merajalela, usaha melindungi wilayah
Jakarta membutuhkan sikap lebih keras, termasuk terhadap mereka yang
menganggap diri kebal terhadap hukum, sebab terbukti banyak bangunan mewah
didirikan tidak memperhatikan ekologi. Bangunan-bangunan itu didirikan di
daerah yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan lingkungan, misalnya, untuk
daerah resapan air. Menurut sejarahnya, Jakarta terletak di dataran rendah
hasil endapan tanah atau sedimentasi dari gunung di selatan.
Penyalahgunaan lingkungan juga dilakukan
pendatang-pendatang baru yang secara ceroboh membangun di daerah-daerah rawan
karena tidak harus membeli atau membayar izin membangun. Akan tetapi,
lagi-lagi, kemungkinan mereka pun mendapat izin membangun berkat suap.
Pelanggaran rupanya bukan monopoli orang-orang kelas atas, melainkan juga
mereka dari kelas bawah; malahan mereka yang seharusnya memperhatikan dan
menjaga lingkungan hidup wilayah ini. Sadar lingkungan harus dibangkitkan dan
dibina terus-menerus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar