Jumat, 24 Januari 2014

Musuh Kita Bersama

Musuh Kita Bersama

Victor Silaen   ;    Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan 
SINAR HARAPAN,  24 Januari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
Ini tahun yang sangat penting. Pertama, karena pada 9 April nanti kita kembali memilih para calon wakil rakyat untuk duduk di DPR, DPD, dan DPRD periode 2014-2019. Kedua, pada 9 Juli, kita juga akan kembali memilih calon presiden dan calon wakil presiden baru untuk lima tahun ke depan.

Terkait itu, ada beberapa musuh kita bersama yang mengancam di depan mata. Pertama, money politics. Ini harus menjadi kewaspadaan kita bersama. Banyak di antara mereka terpilih menjadi caleg karena membayar sejumlah uang yang relatif besar.

Pada masa kampanye ini mereka juga harus mengeluarkan uang untuk membiayai kerja-kerja sosialisasi diri ke publik. Belum lagi nanti pada hari “H” dan hari-hari penghitungan suara, mereka juga harus mengongkosi saksi-saksi agar jumlah suara yang berhasil diraih tak dicuri atau dipindahkan orang-orang yang tak bertanggung jawab.

Inilah demokrasi “biaya tinggi”. Atas dasar itu, mudah diprediksi bahwa ratusan orang di DPR dan DPD, serta ribuan orang di DPRD itu niscaya menjadi politikus yang berharap kelak mendapat reimbursement politik yang besarnya minimal sama dengan pengeluaran sebelumnya. “Balik modal”, itu istilahnya. Malah kalau bisa dapat profit. Nah, bukankah di sana celah-celah korupsi terbuka lebar-lebar?

Inilah demokrasi Indonesia yang rawan korupsi. Jika di setiap periode selalu saja tercatat sumber korupsi terbesar berasal dari parlemen, demokrasi Indonesia layak disebut “demokrasi beku” (frozen democracy). Bagaimana mungkin wakil rakyat yang diharapkan dapat memperjuangkan aspirasi rakyat justru mengkhianati kepercayaan rakyat?

George Sorensen (1993) menggambarkannya sebagai kondisi masyarakat, ketika sistem politik demokrasi yang sedang bersemi lambat-laun berubah menjadi layu karena menghadapi banyak kendala.

Demokratisasi mengalami pembusukan akibat ketidakmampuan rezim yang berkuasa menggulirkan perubahan sosial, politik dan ekonomi yang mendasar sesuai tuntutan reformasi, terutama yang menyangkut kepentingan dan perbaikan nasib rakyat miskin. Bagaimana mungkin nasib rakyat miskin diperbaiki jika uang negara dari dan untuk rakyat dicuri terus?

Di sisi lain demokrasi seperti itu juga layak disebut “demokrasi kriminal” lantaran prosedur dan prosesnya di sana-sini dibajak kekuatan uang.
Terjadi banyak pelanggaran hukum, namun sulit diproses dan dikenakan sanksi menurut undang-undang yang ada. Inilah demokrasi yang pincang, tak seiring sejalan dengan penegakan hukum, yang seiring waktu niscaya berujung pada terjadinya “demokrasi beku”.

Musuh yang kedua adalah intoleransi. Aneh sekali. Indonesia adalah bangsa yang sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945, bahkan sejak Sumpah Pemuda 1928, sudah menggelorakan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang bermakna “berbeda-beda tapi tetap satu”. Tapi mengapa di usia yang sudah hampir mencapai 70 tahun ini jalinan kebersatuan kita malah kian banyak terkoyak di sana-sini?

Terkait itu, organisasi pemerhati demokrasi dan hak asasi manusia Setara Institute mencatat terjadinya perluasan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan sepanjang 2013. Berdasarkan pemantauan mereka, telah terjadi 222 peristiwa dan 292 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan pada tahun itu.

“Dalam satu peristiwa kebebasan beragama/berkeyakinan, kami menemukan sejumlah tindakan. Sebagai contoh ketika ada protes terhadap masjid Ahmadiyah, kami melihat tidak sekadar protes, tetapi ada perusakan properti, inimidasi, bahkan kadang-kadang ada kekerasan fisik. Karena itu kami kategorikan itu sebagai tindakan. Itu sebabnya mengapa selalu ada perbedaan antara peristiwa dan tindakan,” kata Wakil Direktur Setara, Bonar Tigor Naipospos.

Dari 292 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan, terdapat 117 tindakan yang melibatkan para penyelenggara negara sebagai aktor. Tindakan itu meliputi tindakan langsung, pembiaran, dan peraturan diskriminatif, termasuk pernyataan pejabat publik yang provokatif dan memicu terjadinya kekerasan.

Sebelumnya, menanggapi pidato Presiden SBY pada acara Perayaan Natal Nasional 27 Desember lalu, Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN), Bara Hasibuan meminta presiden tak hanya beretorika mengenai perwujudan toleransi di negara ini. Presiden selaku kepala pemerintahan dan kepala negara harus bekerja konkret untuk menumbuhkan sikap toleransi di negara ini. Tanpa kerja nyata, apa yang disampaikan hanya pepesan kosong.

Memang betul, untuk menciptakan kerukunan, kita tidak hanya tergantung pada negara. Elemen masyarakat dan pemuka agama memiliki peran penting dalam mewujudkan kerukunan itu. Tapi ada hal-hal yang hanya bisa dikerjakan pemerintah seperti penegakan hukum dan perlindungan terhadap setiap golongan,” ujar Bara.

Pada era SBY, masalah kebebasan beragama, beribadah, dan menggunakan rumah ibadah memang kerap terjadi. Tak heran jika pada pada Maret 2011, 27 anggota Kongres Amerika Serikat (AS) mengirim surat kepada Presiden SBY terkait masalah yang dihadapi oleh Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI).

Mereka menyatakan prihatin melihat eskalasi kekerasan yang dialami komunitas JAI di Cikeusik, Pandeglang, Banten, pada 6 Februari 2011. Setahun kemudian Indonesia kembali menjadi sorotan sejumlah negara dalam Sidang Universal Periodical Review (UPR) 2nd Cycle di Jenewa, 23 Mei 2012.

Tercatat pada 2004-2010 ada sekitar 2.442 gereja yang mengalami gangguan berupa perusakan dan penutupan paksa (belum termasuk rumah ibadah umat lain semisal JAI). Jumlah itu bertambah lagi setiap tahunnya. Tapi herannya, SBY tetap percaya diri ketika menerima World Stateman Award dari Appeal of Concience Foundation (ACF) di Amerika Serikat, karena dinilai berhasil menciptakan perdamaian, toleransi beragama, dan demokrasi.

Padahal, jika dihadapkan dengan kenyataan di dalam negeri, penghargaan itu dinilai sebagai ironi besar. Namun, SBY seakan tak peduli. Ia tetap pergi ke negeri Paman Sam untuk menerima penghargaan internasional itu, 27 Mei 2013.

Itulah presiden pilihan rakyat langsung dengan perolehan suara lebih dari 60 persen. Herannya, modal politik sebesar itu, ditambah latar belakangnya sebagai Jenderal TNI bintang empat, tak membuatnya tampil meyakinkan sebagai seorang pemimpin yang berani dan tegas.

Kepemimpinannya yang lebih mendepankan pencitraan daripada tindakan konkret yang sarat risiko selama ini, membuat kita dapat meyakini masalah intoleransi 2014 tak bakal banyak berubah. Kunci untuk mengatasi persoalan ini adalah ketegasan dan keberanian pemimpin untuk menghadapi kelompok-kelompok intoleran yang suka main hakim sendiri.

SBY sebagai presiden akan berlalu. Tapi secara resmi ia baru akan meletakkan jabatannya pada Oktober nanti. Artinya, hanya tersisa waktu dua bulan bagi pemimpin baru nanti untuk bekerja sampai berakhirnya tahun ini. Itu berarti, lembaran 2014 masih akan diwarnai dengan catatan kelam tentang intoleransi.

Tapi yang penting tahun-tahun berikutnya ada harapan akan perubahan yang signifikan. Kita tak boleh salah memilih pemimpin nanti.

Kita harus belajar dari pengalaman pada 2009 agar tak mudah terpesona dengan pencitraan atau impresi-impresi artifisial. Yang penting rekam jejaknya yang bagus selama ini dan karakternya yang bercocokan dengan kriteria “pemimpin pelayan”. Itulah sosok pemimpin yang bersama dengan kita akan menghadapi musuh-musuh bersama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar