Selasa, 21 Januari 2014

Koreksi Ketimpangan Antardaerah

Koreksi Ketimpangan Antardaerah

Candra Fajri Ananda   ;   Guru Besar Ekonomi,
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
                                                     JAWA POS,  21 Januari 2014                                                    
                                                                                                                        


TINGGINYA capaian pertumbuhan ekonomi semasa pemerintahan SBY selalu diklaim sebagai gambaran kesuksesan dalam menggerakkan roda perekonomian dan pembangunan. Indonesia mampu berada di posisi kedua yang meraih pertumbuhan ekonomi tertinggi dalam negara G-20 setelah Tiongkok. 

Namun, belum waktunya berpuas diri. Perlu perhatian lebih atas ketimpangan pembangunan antardaerah yang masih lebar. Data Badan Pusat Statistik menyebut pertumbuhan nasional yang tinggi rata-rata didukung daerah Pulau Jawa. Daerah luar Jawa bertumbuh di bawah rata-rata nasional. Seperti pada 2012, pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 6,3 persen. Pertumbuhan di Pulau Jawa mencapai 6,65 persen, sedangkan di luar Pulau Jawa, seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua masing-masing 6,19 persen, 4,97 persen, dan 2,61 persen.

Ada perbedaan dinamika pembangunan di daerah-daerah tersebut. Selain itu, karena alat ukur pertumbuhan yang dipakai adalah total keluaran dari seluruh aktivitas ekonomi, berarti yang menyebabkan perbedaan adalah kandungan faktor-faktor ekonomi (endowment factors) yang dimiliki setiap daerah. 

Ekonom neoklasik meyakini kunci pembangunan suatu negara dan daerah adalah penguasaan dan ketersediaan sumber daya. Semakin besar penguasaan dan ketersediaan sumber daya, bisa dipastikan negara tersebut memiliki peluang yang lebih besar untuk tumbuh dan berkembang. Sebaliknya, tentu bagi negara yang lemah di bidang sumber daya non-buatan (unrenewable) dan buatan (renewable). 

Pendapat seperti ini menyebabkan negara-negara di zaman merkantilis berusaha memperkuat angkatan perangnya untuk mengambil (secara paksa) sumber daya non-buatan negara lain, yang akhirnya memunculkan kolonialisme. Kecenderungan tersebut saat ini tentu masih dapat dilihat melalui gerakan kapitalisme global yang hanya didominasi beberapa negara.

Adapun sumber daya buatan, seperti teknologi dan kewirausahaan, saat ini sebenarnya paling menentukan. Khususnya apa yang terjadi di negara Asia Pasifik, seperti Korea Selatan, yang telah mampu memanfaatkan teknologi dan kewirausahaan untuk membangun negaranya dan terbatasnya sumber daya non-buatan tidak berpengaruh kepada kinerja pembangunan. Dengan demikian, jika suatu negara/daerah memiliki permasalahan pembangunan dalam bentuk ketimpangan, perlu ada jaminan dari pemerintah untuk mampu menjaga pergerakan sumber daya ke daerah yang kekurangan sumber daya. 

Pasar Mempercuram Ketimpangan 

Siapa yang harus merangsang pergerakan sumber daya, dari satu wilayah ke wilayah yang lain? Kaum neoklasik berpendapat tentu pasarlah yang bisa melakukannya, melalui mekanisme harga (upah buruh, tingkat bunga, maupun capital gain) akan mendorong gerakan sumber daya ke wilayah tersebut. Adanya perpindahan sumber daya, baik yang berbentuk modal maupun tenaga kerja ke daerah yang lebih maju, sudah tentu akan memperburuk kondisi daerah yang masih terbelakang. Jika hal ini dibiarkan begitu saja, sudah pasti daerah-daerah yang terbelakang akan makin terbelakang sehingga ketimpangan antardaerah semakin curam.

Dengan demikian, mekanisme pasar ternyata kurang mampu menjalankan fungsinya, khususnya untuk mendistribusikan sumber daya secara adil dan merata. Karena itu, negara harus tampil dengan memberikan amanah kepada pemerintah untuk membuat kebijakan yang mampu mengalokasikan, mendistribusikan, dan menstabilisasikan sumber daya secara lebih adil. Pemerintah secara aktif harus mampu memberikan insentif pergerakan sumber daya ke daerah-daerah yang tertinggal. 

Memang ini memerlukan waktu lama dan sinergi semua pihak, seperti masyarakat, partai politik, dan elite ekonomi. Mengingat peran pemerintah yang sangat krusial tersebut, tentu pemerintah perlu menjaga kredibilitasnya dengan selalu menunjukkan sebagai pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean). 

Dimulai dengan SPM 

Berdasar penjelasan di atas dapat dilihat bahwa ketimpangan tersebut pasti selalu ada, karena sumber daya yang berbeda antardaerah. Jika kita lepaskan ke mekanisme pasar, itu akan sulit terselesaikan. Sementara, jika pemerintah yang turun tangan, dibutuhkan modal cukup besar dan perlu dukungan semua pihak.

Mengingat situasinya semacam itu, akan lebih efisien jika pemerintah membuat standar atas pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat. Pemerintah tidak perlu menjadikan Kabupaten Bintuni di Papua Barat seperti Kota Surabaya, Kabupaten Trenggalek seperti Kota Surabaya. Tapi, perlu dibuat standar pelayanan yang sama untuk semua daerah di Indonesia, seperti pendidikan dan kesehatan. 

Melalui pencanangan standar pelayanan minimum (SPM) ini, arah pengalokasian anggaran pembangunan daerah semakin jelas. Untuk daerah-daerah yang masih di bawah SPM kualitas pendidikan maupun kesehatannya, belanja APBD diarahkan untuk mengejar ketertinggalan tersebut. Sedangkan daerah yang sudah melebihi SPM, dapat membelanjakan APBD ke sektor lain atau lebih meningkatkan standar pelayanan pendidikan dan kesehatan. SPM pada pelayanan dasar ini sekaligus untuk membuat belanja daerah semakin lebih efisien dan terarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar