Selasa, 21 Januari 2014

Elpiji, Relasi Warga dan Negara

Elpiji, Relasi Warga dan Negara

Wijanto Hadipuro   ;   Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB)
Unika Soegijapranata Semarang
                                              SUARA MERDEKA,  21 Januari 2014                                             
                                                                                                                        


"Apakah pada zaman ini masih ada layanan publik dari negara tanpa memperhitungkan untung atau rugi?"

PERTAMINA merugi Rp 7,7 triliun dari bisnis penjualan elpiji mulai periode Januari 2011 sampai Oktober 2012. Berita itu jelas bukan biasa melainkan merupakan penegasan bahwa hubungan yang semula antara warga negara dan negara telah berubah menjadi hubungan antara konsumen dan perusahaan.

Jika kita sepakat bahwa elpiji merupakan salah satu cabang produksi yang menguasai hajat hidup banyak orang maka menyediakan elpiji bagi warga negara sejatinya merupakan bagian dari kontrak sosial antara warga negara dan negaranya. Analoginya, para orang tua selalu menyediakan kebutuhan bagi tumbuh kembang anak mereka.

Orang tua tidak pernah menghitung berapa harga makanan yang disiapkan untuk anak, termasuk tidak pernah memperhitungkan apakah untung atau rugi menyediakan jenis makanan tertentu untuk anak. Kebobrokan dan kebangkrutan negara membawa kita pada arus korporatisasi layanan publik. Layanan publik yang semula dilakukan oleh aparatus pemerintah di bawah satu kementerian tertentu kini diserahkan kepada perusahaan yang dibentuk khusus.

Evolusi ini tampak jelas dari perubahan layanan jasa kereta api. Semula layanan ini dikelola oleh jawatan di bawah Departemen Perhubungan, kemudian berubah menjadi Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka), dan akhirnya menjadi PT Kereta Api Indonesia (KAI). Jiwa layanan jasa seperti itu juga terjadi pada PDAM, PLN, perguruan tinggi negeri, termasuk Pertamina. Jiwanya adalah karena saat dikelola sebagai bagian dari kementerian/dinas, pengelolaannya bobrok dan karena pemerintah (bukan negara) tidak lagi bersedia mengalokasikan dana dari APBN/D maka seluruh layanan publik itu lantas satu demi satu dikorporatisasi, dijadikan sebagai perusahaan.

Bahkan bila diperlukan karena alasan efisiensi dan kekurangan modal, layanan publik itu diserahkan kepada korporasi swasta. Sebagai korporasi, nilai-nilai yang dianut pun berubah, bukan lagi memberikan layanan terbaik untuk warga negara melainkan untuk menjadi efisien dan berdaya saing tinggi. Ketika nilai-nilai itu yang dianut maka ketika korporasi layanan publik memberikan jasa terbaik, jika perlu di bawah harga keekonomian maka korporasi akan dinilai tidak efisien dan merugi.

Apakah pada zaman ini masih ada layanan publik yang disediakan negara tanpa memperhitungkan untung rugi? Tentu saja ada. Lihat saja ke negara tetangga kita, Singapura. Layanan air bersih diberikan tanpa perhitungan untung dan rugi. Air bersih dianggap sebagai fasilitas yang harus diberikan negara kepada warga negaranya, dengan biaya berapa pun.

Salah satu dokumen kebijakan air Bank Dunia merumuskan dengan baik tentang sebuah konsep yang disebut merit goods. Barang yang termasuk kategori ini adalah barang yang konsumsi yang dilakukan individu akan membawa manfaat melebihi manfaat yang diperoleh individu bersangkutan.

Listrik, misalnya. Konsumsi listrik oleh seorang pelajar melebihi manfaat yang diperoleh pelajar tersebut dari nilai mata pelajaran yang diperoleh. Melalui listrik, kita sedang membangun sebuah bangsa berdasarkan pendidikan yang baik. Demikian juga air. Tentunya air untuk kolam renang pribadi tidak termasuk dalam kategori ini.
Merit goods layak dimasukkan ke dalam kategori memenuhi hajat hidup banyak orang. Kategori barang semacam ini selamestinya disediakan dengan jumlah memadai dan dengan kualitas terbaik, pun tanpa memperhitungkan untung dan rugi.

Definisi Ulang

Setelah hajat hidup orang banyak didefinisikan ulang maka selanjutnya bagaimana pemerintah memaknai kata ''dikuasai'' dalam Pasal 33 UUD 1945 hasil amendemen keempat? Dikuasai harus diartikan sebagai bertanggung jawab dan berkomitmen menyediakan. Tanggung jawab dan komitmen ini ditunjukkan lewat kewajiban untuk menyediakan layanan publik tersebut, atau public service obligation (PSO). Tarif kereta api kelas ekonomi, dan air bersih untuk kebutuhan minimal sehari-hari, merupakan contoh di mana pemerintah harus bertanggung jawab dan berkomitmen menyediakannya.

Jika sudah terlanjur dikorporatisasi maka PSO bisa diwujudkan dalam bentuk subsidi dari pemerintah kepada korporasi dan subsidi itu diambil dari APBN/D. Melalui mekanisme ini tidak akan ada lagi kata Pertamina, PT KAI, atau PDAM merugi karena menyediakan layanan publik yang berkualitas dan dengan jumlah mencukupi. Jika layanan angkutan masal publik dianggap sebagai hajat hidup orang banyak maka tidak perlu ada perdebatan subsidi diberikan kepada perusahaan pengelolanya, meskipun perusahaan pengelolanya korporasi swasta, seperti bus rapid transport di Semarang.

Gonjang-ganjing kenaikan harga elpiji 12 kilogram selayaknya diikuti pembahasan bermutu tentang pendefinisian ulang hajat hidup banyak orang. Termasuk mekanisme supaya tidak lagi ada kata atau istilah merugi dalam pemberian layanan publik yang berkualitas, berkait hajat hidup tersebut.  Lewat cara itu, kita, sebagai warga negara, tetap bisa mempertahankan relasi dengan negara. Pasalnya, kita bukanlah konsumen yang membeli jasa layanan publik yang disediakan pemerintah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar