Selasa, 21 Januari 2014

Pemuda dan Perbudakan Politik

Pemuda dan Perbudakan Politik

Muhammad Haizun Niam   ;   Political Student in Monash Institute,
Peneliti Muda di Lembaga Setudy Agama dan Nasionalisme (Lesan)
                                                       HALUAN,  21 Januari 2014                                                      
                                                                                                                        


“Berikan aku se­pu­luh pemuda, maka akan ku­gun­cang dunia!.” Itulah ucapan yang dilon­tarkan Soekarno dalam orasinya pada tahun 1920, sebagai simbol dahsyatnya kekuatan pemuda Indonesia pada saat itu. Berkat darah juang mereka, Indonesia dapat berdiri menjadi sebuah negara yang berdaulat.

Namun, ungkapan ter­sebut kini sudah tidak relevan lagi. Sebab, sebagian besar pemuda telah dilum­puhkan oleh kejahatan struktural politik. Demi mendapatkan posisi aman, mereka rela menjadi “wa­yang-wayang” para penjahat politik yang berkapital. Dalam artian, mereka dapat diken­dalikan sesuai kehen­dak para penjahat tersebut; asalkan memperoleh posisi mapan. Akibatnya, mereka  tidak mampu menunjukkan peran sebagai seorang politisi.

Entah sekedar asumsi, atau kenyataan. Namun, itulah situasi yang terjadi pada sebagian besar politisi muda saat ini. Ketidakber­dayaan tersebut bukanlah hal yang mustahil. Pasal­nya, mereka telah keliru dalam memahami politik. Sistem yang semula bertu­juan untuk membangun negara, dipahami sebagai senjata memperoleh kemapa­nan. Seperti; kedudukan, popularitas, dan kekayaan. Ironisnya, tujuan yang seperti itu merupakan orientasi pertama dan utama. Akibatnya, mereka akan beru­saha keras untuk menda­patkan hal tersebut. Tidak peduli cara yang digunakan baik atau buruk. Jika keadaannya sudah seperti itu, keburukanlah yang akan menyelimuti wajah perpo­litikan negeri ini.

Dewasa ini, ketidakber­dayaan politisi muda mende­kati stadium memprihatin­kan. Kebebasan politik yang dimiliki semakin tersandera oleh kapitalis jahad di belakang mereka. Parahnya, mereka yang baikpun ikut tersandera. Keadaan tersebut tentu akan menambah citra buruk politisi di mata masyarakat.

Pasalnya, masyarakat menganggap mereka sama dengan politisi senior, yakni  politisi sebelum mereka yang gencar melakukan penye­lewengan. Tentu saja doktrin tersebut mendiskri­minasi para politisi muda. Sebab, tidak semua politisi muda jahat. Untuk itu, perlu melakukan pengeru­cutan terhadap kategori tersebut.

Menurut seorang pakar ilmu politik Dr. Mohammad Nasih, buruknya tindakan politisi muda rata-rata disebabkan oleh terperosok­nya mereka dalam “sistem ijon”. Dalam artian, berke­cim­pungnya mereka dalam politik bukan berdasarkan kemampuan yang dimiliki. Melainkan karena adanya hubungan darah dengan tokoh yang memiliki posisi mapan dalam politik. Atau yang saat ini dikenal dengan sistim “dinasti politik”. 
Tindakan yang seperti ini bertujuan untuk melanjut­kan kekuasaan ke gengga­man orang-orang yang memiliki pertalian darah dengan mereka. Praktik nepotisme inilah yang menyebabkan ketidakberdayaan mereka.

Selain itu, sebagian besar disebabkan oleh adanya dukungan dari pengusaha jahat di balik mereka. Ongkos demokrasi prosedural yang semakin mahal, menye­babkan para politisi membutuhkan dana yang besar. Keadaan yang seperti itu menjadi kesempatan bagi pengusaha-pengusaha berka­pital besar. Pemilik kapital akan menawarkan material yang dibutuhkan oleh para politisi tersebut. Secara kasat mata, tindakan para kapitalis memang layaknya sang “Hero”. Namun di balik tirai semu, mereka memiliki tujuan tertentu yang tidak diketahui oleh politisi yang dibantu.

Pada awalnya, para kapitalis tidak menunjukkan adanya suatu kepentingan yang ingin dicapai. Ketika politisi yang dibantu sudah mendapatkan posisi mapan, saat itulah mereka menun­juk­kan kepentingan itu. Karena merasa sudah men­jadi sang “hero”, maka mau tidak mau politisi tersebut harus mewujudkan kepen­tingan tersebut sebagai balas budi atas bantuan yang telah diberikan.

Jika hal tersebut baik, maka tidak masalah untuk diwujudkan. Namun, bila sebaliknya, justru dampak buruklah yang nampak. Di sisi lain,ada juga kapitalis yang men­jadikan tujuan tertentu sebagai syarat. Dalam artian, mereka akan membantu jika politisi yang ber­sedia mewu­jud­kan tujuan ter­sebut.

Meskipun kebanyakan begitu, sejatinya tidak semua politisi muda melakukan hal yang sama. Mereka yang memiliki  jiwa asketis dan semangat pembaharuan yang kuat, tidak akan menjadi “telur asin” dalam air garam. Dalam artian, kebaikan mereka tidak akan goyah oleh kotornya dunia politik. Apalagi jika dibarengi dengan intelektualitas dan spiritualitas yang mapan. Niscaya, tidak akan ada pemuda yang tersandera.

Namun, kebaikan tidak ada artinya jika terdapat pada segelintir orang saja. Kebaikan tersebut tidak akan bisa mengalahkan kejahatan politik yang terorganisir. Seperti yang dikatakan Ali bin Abi Thalib, “kejahatan yang terorganisir akan mengalah­kan kebaikan yang tidak terorganisir”. Untuk itu, perlu menciptakan orang baik dalam jumlah yang besar, lalu mengorganisir mereka agar keburukan tersebut dapat dikalahkan. Kalau perlu, diberantas sampai ke akar-akarnya.

Untuk mewujudkan se­mua itu, dapat dilakukan dengan mem­per­hati­kan hal-hal sebagai berikut. Per­tama, perlu adanya penyi­sipan bekal moral dan nilai-nilai aga­ma dalam benak para politisi muda. Dengan dalih, intelek­tualitas yang kuat akan menjadi luar biasa bila dibarengi dengan dasar agama yang kuat. Al- Gazali pernah mengatakan; “Negara yang tidak mem­punyai moral berarti kerun­tuhan; dan sebaliknya moral yang tidak sejalan dengan negara adalah kelumpuhan”. Se­hingga, moral sangatlah penting dalam berdirinya suatu negara. Tanpa moral, maka tinggal menunggu detik-detik kehancuran. Jika semua itu telah terpenuhi, maka upaya politisi muda untuk meraih kemerdekaan politik akan cepat terwujud.

Kedua, perlu dilakukan perkaderan yang kuat. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya pencetakan calon-calon pemimpin yang berkualitas. Dengan modal kualitas, maka kemungkinan keteri­katan dengan politisi-politisi yang sudah mapan menjadi sedikit.
Sebab, mereka masuk dalam ranah politik atas dasar kemampuan, bukan karena bantuan kapital dari penjahat politik. Sehingga, dengan kualitas yang seperti itu akan mempercepat kemerdekaan. Yakni, ke­mer­­dekaan untuk berpolitik secara independen dan bebas dari belenggu kejahatan.

Ketiga, harus kaya ter­lebih dahulu. Maksudnya, seorang politisi harus me­miliki modal untuk kepen­tingan politik. Terutama dalam membiayai ongkos prosedural demokrasi yang kini semakin mahal. Sebab, inilah yang seringkali menyebabkan politisi muda terikat dengan penjahat politik. Besarnya jumlah biaya tersebut membuat mereka merasa kewala­han. Maka timbullah inisiatif untuk meminta bantuan kapital terhadap kaum kapitalis. Akibatnya, me­reka dituntut untuk melakukan balas budi. Selain hal tersebut, ada kemung­kinan jika politisi itu “kere” dan masuk kencah politik, maka politik hanya akan dijadikan alat untuk mem­perkaya diri. Inilah yang dapat me­nimbul­kan tin­dakan korupsi.

Dengan ketiga hal yang tersebut di atas, diharapkan mampu memberikan perubahan dalam politik tanah air. Dengan kualitas intelek­tual yang tinggi dan mora­litas yang baik, akan mem­per­mudah politisi muda untuk memperoleh kemerde­kaan berpolitik. Tanpa harus takut disetir oleh orang-orang jahat. Ataupun untuk balas budi terhadap mereka yang ber­kepentingan dalam politik. Sebab, pemudalah yang menjadi harapan masyarakat untuk memper­baiki sistem yang kadung kotor ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar