|
PRESTASI
penyidik KPK ”menangkap basah” Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar di rumah
dinas; sementara di ruang kerjanya ditemukan obat terlarang, mengguratkan sikap
ganda publik. Masyarakat bersyukur dan bangga atas kegigihan KPK memburu
koruptor, tetapi saat bersamaan nurani publik perih seperti diiris sembilu.
Sosok yang gencar mengusulkan agar koruptor dimiskinkan, dipotong jarinya, dan
menulis buku Memberantas Korupsi (2006) dan Pembalikan Beban
Pembuktian Tindak Pidana Korupsi (2009) ternyata diduga melakukan
perbuatan terkutuk. Sanubari publik terguncang karena selama ini MK sangat
dipercaya publik, bahkan ”disakralkan”. Meskipun kadang-kadang keputusannya memicu
kontroversi, kredibilitas lembaga tersebut tetap terjaga.
Setelah
penangkapan Ketua MK, masyarakat sangat geram karena lembaga yang menjadi
benteng dan pengawal konstitusi, serta pilar penegakan hukum yang masih
diandalkan, luluh lantak kredibilitasnya. Kemurkaan publik dapat diwakili
pernyataan keras Jimly Asshiddiqie agar Akil Mochtar dihukum mati dan saran
Mahfud MD agar Akil dihukum seberat-beratnya. Kemarahan mereka sangat
dimengerti karena Ketua MK seharusnya memancarkan aura kesalehan dan tokoh sentral
dalam mewujudkan keadilan, tetapi perilakunya mengesankan moral yang keropos,
bertekuk lutut terhadap godaan yang menghancurkan institusi yang selama ini
menjadi tumpuan harapan masyarakat mencari keadilan.
Pemerintah
merespons skandal akbar dengan menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Mahkamah Konstitusi. Secara normatif, alasannya situasi darurat. Namun, hampir
dapat dipastikan perppu justru akan melestarikan kedaruratan itu karena hanya
menyentuh persoalan sekitar proses seleksi, perekrutan, dan pengawasan permanen
terhadap MK. Padahal, isu sentralnya adalah perdagangan pengaruh (trading in
influence), saudara kembarnya korupsi politik. Peran kapital sangat dominan
dalam perdagangan pengaruh, terutama dalam kompetisi memperebutkan jabatan publik.
Mengacu pada Pasal 12 COE Convention
(Council of Europe’s Criminal Convention
on Corruption dan Willeke Slingerland, 2011), perdagangan pengaruh maknanya
lebih kurang perbuatan seseorang yang sengaja menjanjikan atau menawarkan, baik
langsung maupun tidak langsung, keuntungan berlebihan kepada pihak yang
mempunyai pengaruh atau otoritas politik mengambil keputusan yang menguntungkan
dirinya ataupun orang lain.
Ia adalah
fenomena yang amat kompleks karena melibatkan banyak pihak. Lebih rumit lagi
karena praktik perdagangan pengaruh bersinggungan dengan persepsi tentang niat
serta nilai yang hidup di masyarakat. Selain itu, ia beroperasi dalam wilayah
abu-abu, yaitu ranah tertib politik demokratis, sehingga saling memengaruhi
adalah sah, misalnya lobi politik. Namun, lobi politik selalu dapat menjadi
transaksi perdagangan pengaruh yang merugikan publik.
Justifikasi
menentukan ambang batas perdagangan pengaruh dalam sistem demokrasi tidak
sederhana. Sebab, yang harus dibuktikan bukan hanya perbuatannya, melainkan
juga niat melakukan perbuatan tersebut. Karena itu, perdebatan mengenai isu ini
sangat melelahkan dan kontekstual. Agar lebih mudah dipahami, fenomena tersebut
dapat dianalogkan dengan perbuatan pelecehan seksual (sexual harassment).
Ilustrasinya, seorang pegawai senior yang memegang bahu yuniornya dapat dilihat
sebagai suatu keakraban, tetapi dapat juga dianggap pelecehan. Bergantung pada
niat pelaku.
Mengingat
fenomena itu rumit dan kompleks, terapinya harus sistemis dan menyeluruh, tidak
hanya fokus mengkriminalkan si pelaku. Berbagai regulasi utuh dan komprehensif
diperlukan untuk mewujudkan tatanan politik yang lebih menjamin berfungsinya
mekanisme saling kontrol di antara lembaga politik dan negara.
Mengingat
perdagangan pengaruh juga menyangkut dimensi moral dan etik, politik pendidikan
yang dapat mengasah kepekaan generasi muda tentang kepatutan merupakan
keharusan. Menerbitkan perppu yang sekadar ingin memberikan kesan pemerintah
peka dan mempunyai sense of urgency hanya membuat panggung politik
ingar-bingar tanpa arah jelas. Sangat disayangkan, pemegang otoritas politik
selama ini hampir selalu merespons sejumlah persoalan hanya pada kulit luarnya,
bukan akar masalahnya.
Perdagangan
pengaruh telah memproduksi dinasti politik dan segala jenis patologi politik
lain. Rakyat harus dapat membaca tanda-tanda zaman untuk melakukan mahayudha
melawan perdagangan pengaruh. Gema retorika dan kesadaran elite politik tentang
bahaya transaksi kekuasaan melalui berbagai ungkapan, termasuk disertasi dan
sumpah jabatan, tidak mampu menggerakkan nurani kolektif mereka untuk menyusun
kebijakan berdasarkan politik hukum yang memihak rakyat.
Karena itu,
pidato Presiden Soekarno tahun 1950-an, dalam konteks kekinian harus
dikumandangkan: ”Bangsa Indonesia dewasa ini harus turun ke medan perjuangan
Mahajuda melawan perdagangan pengaruh yang memorakporandakan pahatan tatanan
politik yang beradab. Rakyat Indonesia harus bersatu padu menggalang kekuatan
demokratis dan pantang menyerah melibas pemegang kekuasaan yang mencengkeram
negara dengan kuku-kuku kotor yang berlepotan kepentingan kekuasaan.” ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar