|
ORANG sering mengacaukan pengertian
”kebudayaan” dan ”peradaban”. Kerancuan ini berpeluang terjadi karena kedua
istilah tersebut mewakili konsep yang sama, yaitu sistem nilai yang dihayati
manusia dalam berkehidupan manusia, hingga kebiasaan turut memengaruhi
penggunaannya.
Jangankan orang
awam, para ilmuwan pun kerap tidak membedakan pengertian kedua istilah tadi dan
memakai kedua-duanya secara bergantian. Sejarawan Arnold Toynbee, misalnya,
memberikan judul karyanya yang monumental, Civilization on Trial, bukan ”Culture
on Trial”. Namun, ketika dalam karyanya ini dia membahas peradaban China,
dia jelas menggunakan istilah civilization, meliputi baik ”peradaban”
maupun ”budaya”.
Konsep pembudidayaan
Demi memupus
kerancuan, para pemikir Jerman pada abad XIX telah mengetengahkan suatu solusi.
Walaupun ”kultur” (kebudayaan) dan ”zivilisation”
(peradaban) sama-sama menggambarkan perkembangan dan kemajuan manusia, ”budaya”
mengacu pada aspek spiritual dari kehidupan manusia, sedangkan ”peradaban”
merujuk pada aspek teknologisnya.
Dengan begitu,
mereka berkesimpulan: istilah ”budaya” meliputi bahasa, ilmu pengetahuan,
agama, pendidikan, dan seni/kiat/keterampilan (arts) sebagai faktor-faktor pengembang pikiran manusia. Sementara
”peradaban” adalah istilah konseptual yang terkait secara integral pada
industri, teknologi, ekonomi (dalam artian kegiatan), dan hukum (dalam artian
peraturan perundang-undangan), yang dibina untuk mengontrol alam agar memenuhi
kebutuhan manusia.
Apabila
demikian kita bisa saja menulis ”Sejarah Kebudayaan Nusantara” di samping
”Sejarah Peradaban Nusantara” selama dan sejauh kita membahas aspek-aspek yang
berbeda dari kehidupan manusia-manusia di bumi Nusantara ketika itu. Jadi
apabila kita menerima distingsi antara istilah kebudayaan dan peradaban, kita
anggap masing-masing mewakili pandangan yang berbeda tentang fenomena yang
sama, di mana kebudayaan berpembawaan deskriptif, sementara peradaban valuatif.
Asal-usul
linguistik dari kedua istilah ini (di Barat) turut membantu pemahaman kita
mengenai makna kedua istilah tadi. Culture berakar kata sama dengan cultivation yang
berarti ”menumbuhkan” (growing) atau
”pembudidayaan” (cultivation).
Sementara civilization berasal dari kata ”civic” dan ”civil” yang
berkaitan dengan ”city” (kota) dan ”citizen” dalam arti ”warga kota” dan di
tahap selanjutnya ”warga negara” (berhubung ”city-state” berkembang menjadi ”nation-state”).
Kota/negara dan
warganya menggambarkan tahap pembudidayaan yang maju atau wujud
keberhasilannya. Makhluk hewan survive dengan
mematuhi hukum-hukum alam. Hanya manusia yang membudidayakan alam. Maka,
pembudidayaan atau budaya menggambarkan hubungan yang spesifik antara manusia
dan alam.
Jika demikian,
baik manusia primitif maupun modern sama-sama berorientasi budaya, culture oriented. Perbedaan antara
masyarakat primitif dan masyarakat modern hanya dalam karakteristik
kebudayaannya masing-masing. Kedua masyarakat tersebut dapat dievaluasi melalui
ekstensi dan kualitas dari pembudidayaan masing-masing.
Jadi, dari
sudut pandang ini, masyarakat human dapat dibedakan satu dengan yang lain.
Peradaban adalah suatu pendekatan konsep pembudidayaan, yaitu budaya yang
berkembang ke satu tingkat tertentu. Berarti, budaya perlu berkembang atau
dengan sadar dikembangkan hingga ke satu tingkat tertentu untuk bisa dikualifikasi
sebagai peradaban. Hal ini ditegaskan sekali oleh Park Ynhui, guru besar
filosofi dari Pohang University of Science and Technology.
Kongres kebudayaan?
Berhubung
sejarah kebudayaan manusia berkembang dari suatu keadaan primitif, sejarah
makhluk manusia kiranya perlu dianggap sebagai sejarah dari kebudayaan dan
bukan sejarah dari peradaban. Namun, harus diakui bahwa di satu titik pada
tahap peralihan perkembangan, kelihatan menonjol sekali nilai-nilai serupa pada
kebudayaan dan peradaban yang bisa dan sudah membingungkan tanggapan pemerhati.
Nilai adalah ”genus” dari semua ”spesies” yang tercakup dalam pengertian
kebudayaan (industri, teknologi, dan lain-lain).
Nilai adalah
segala sesuatu yang kita pakai sebagai standar dalam menimbang (judgement)
dan/atau yang bernilai itu sendiri (bernilai intrinsik), yang sebagian besar
berupa hal yang nirwujud (intangible),
seperti ide dan ilmu pengetahuan. Walaupun begitu, ia, pada hakikatnya, bukan
merupakan aturan (rules), melainkan iluminasi yang begitu mendalam hingga di
bawah sorotan pencerahannya menjadi begitu tajam terpampang batas-batas antara
adil dan tak adil, baik dan buruk, alat (means)
dan tujuan (ends).
Kongres
kebudayaan yang menghabiskan begitu banyak waktu, energi, dan biaya, seharusnya
membahas aspek dan faktor penentu dalam perkembangan (nilai) kebudayaan ke arah
(nilai) peradaban yang begitu kompleks. Dalam perkembangan itu, sejarah human
mengingatkan kita bahwa kebudayaan menjadi nilai-nilai yang masih melekat dalam
pikiran (ingatan) dan masih hidup dalam perbuatan, jika yang lain-lain telah
dilupakan. Yang dilupakan ini seharusnya hilang bukan karena dibuang di tong
sampah atau dikubur dalam-dalam, tetapi karena menyatu dalam nilai/bentuk baru
(peradaban), bagai garam yang cair dalam makanan atau local genius luluh
dalam kearifan nasional atau fisika klasik lebur dalam fisika modern.
Kompleksitas
ini berarti bahwa kongres kebudayaan harus bisa melibatkan sebanyak mungkin
pemangku kepentingan yang berasal dari berbagai vokasi, profesi, dan disiplin,
bukan hanya pejabat publik yang bertugas sekadar memberikan
”pengarahan/petunjuk”. Berhubung pembahasan ada kalanya bernada kritis, kritik
ini pun perlu diketengahkan secara intelektual tanpa bersifat intelektualitas.
Intelektual adalah persona yang pembawaannya berdimensi lima: (i) suatu aksi
penghayatan vokasional/profesional yang berbobot budaya, (ii) suatu peran
sosiopolitis, (iii) suatu kesadaran yang mengacu ke universalitas, (iv) suatu
pembangkangan yang bertanggung jawab, dan (v) suatu pancaran nurani yang bersih
dan murni.
Hanya dengan
berpembawaan intelektual demikian, para peserta kongres kebudayaan bisa kiranya
mencegah dirinya tidak menjadi berupa sendok. A spoon does not know the taste of soup, nor a learned fool the taste
of wisdom. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar