|
MENTERI Pendidikan dan
Kebudayaan akan mempergunakan hasil ujian nasional untuk menentukan indeks
kompetensi sekolah. Inilah sesat pikir berkelanjutan tentang UN: kanibalisasi
evaluasi pendidikan.
Selama
persoalan fundamental tentang tujuan UN tak dibahas dan terus-menerus meyakini
kesahihan kanibalisasi penggunaan hasil evaluasi pendidikan yang secara kajian
psikometrik tidak dapat dipertanggungjawabkan, serta pelaksanaannya yang
amburadul, hasil UN tak kredibel untuk mengukur yang ingin diukur. Apalagi
untuk mengukur indeks kompetensi sekolah!
Yang terjadi
dalam kebijakan UN selama ini adalah kanibalisasi penggunaan hasil evaluasi
pendidikan untuk empat tujuan sekaligus, yang secara konstruk tes berbeda satu
sama lain. Di Indonesia, hasil UN dipakai untuk syarat kelulusan, pemetaan,
pembinaan (supervisi dan pengembangan), dan untuk melanjutkan ke jenjang
pendidikan selanjutnya.
Kanibalisasi
seperti ini menunjukkan adanya kesesatan berpikir, serta tidak dipahaminya
dasar-dasar evaluasi pendidikan yang baik. Oleh Mendikbud, UN bahkan diklaim
lebih canggih dari sekadar rontgen. ”Hasil UN itu sudah seperti MRI,” ujar
Mohammad Nuh dalam salah satu talk show tentang manfaat UN.
Kanibalisasi
penggunaan hasil UN secara psikometrik tak dapat dipertanggungjawabkan karena
setiap tes memiliki konstruk berbeda sesuai dengan tujuan tes itu. Lebih lagi,
jenis tes tertentu, seperti tes yang memiliki konsekuensi tinggi yang sifatnya
terstandardisasi, seperti UN, karena bersifat menentukan, memiliki dampak
negatif secara psikologis, pedagogis, ataupun kultural. Apabila tak diatasi,
akan mendistorsi hasil tes. Hasil tes yang terdistorsi, tidak akan valid,
apalagi sahih untuk dipergunakan sebagai alat ukur. Distorsi ini terjadi dalam
hasil UN.
Evaluasi formatif
Tentu akan
lebih hemat apabila dengan satu tes semua hal bisa dipotret! Namun, dalam ilmu
psikometrik, tidak ada tes yang memiliki sifat demikian. Jenis ujian standar
yang diwajibkan, yang hasilnya sangat menentukan masa depan individu (bahkan
menentukan kualitas sekolah dan kebijakan pendidikan sebuah daerah), seperti
UN, melahirkan banyak dampak merusak dunia pendidikan.
Anak
dikorbankan atau dipaksa berkorban demi pemeringkatan kualitas guru, sekolah,
kepala sekolah, serta pejabat pemerintahan hanya untuk menunjukkan bahwa mereka
telah bekerja dengan baik. Bahwa pendidikan di sekolah, di daerah, dan di
negaranya semuanya baik-baik. Kelakar mengatakan, UN membuat semua bergembira,
kecuali siswa!
Selama ini yang
dianaktirikan dalam evaluasi pendidikan kita adalah evaluasi yang sifatnya
formatif. Padahal, evaluasi jenis inilah yang akan dikembangkan dalam Kurikulum
2013.
Evaluasi
formatif menganggap penilaian pendidikan itu bagian dari pembelajaran itu
sendiri sehingga hasil evaluasi itu dapat dipakai untuk menentukan kemajuan,
kekuatan, dan kelemahan pengalaman belajar siswa. Evaluasi seperti ini hanya
dapat dilakukan guru kelas. Itu karena guru yang berinteraksi secara langsung
dengan siswa sehingga dialah yang mengetahui bagaimana membantu siswa maju
dalam proses belajar.
Evaluasi
formatif membandingkan kemajuan siswa dengan tingkat kompetensi sebelumnya.
Tidak memperbandingkan kemajuan antar-peserta didik.
UN sebaliknya:
bersifat sumatif. Ia ingin menilai sejauh mana kualitas pembelajaran peserta
didik setelah mengalami proses belajar dalam kurun tertentu. Yang diutamakan
dalam tes sumatif adalah sejauh mana peserta didik menguasai materi, lantas
diperbandingkan dengan peserta lain. Karena itu, muncullah berbagai macam
pemeringkatan, seperti pemeringkatan antarsiswa, antarsekolah, antarkabupaten
dan antarprovinsi.
Tes sumatif,
meskipun dapat dipakai untuk pemeringkatan, tidak memberikan informasi apa-apa
tentang yang terjadi di kelas, bagaimana kualitas guru mengajar, serta
ketersediaan dan akses siswa terhadap materi pembelajaran dan kualitas
pendidikan. Karena itu, seandainya saja seorang siswa dapat mengerjakan soal
Matematika dalam UN dan memperoleh nilai 10, kita tidak dapat otomatis mengatakan
bahwa guru yang mengajar di sekolah tersebut kompeten, sarana dan prasarana
lengkap, serta kualitas pendidikan baik.
Bahaya distorsi
Kerancuan
pengertian antara tes formatif dan sumatif serta membabi buta menerapkannya
secara bersamaan sebagai paket tujuan evaluasi pendidikan berbeda akan
melahirkan manipulasi dan pretensi tanpa dasar kenyataan. Bahaya dari distorsi
pemikiran seperti ini adalah seolah-olah angka-angka statistik hasil UN adalah
realitas nyata dunia pendidikan kita.
Selama 10 tahun
pelaksanaan UN, kita tahu rata-rata kelulusan siswa kita hampir 98 persen. Tak
ada bedanya di Papua ataupun di Jakarta. Jadi, dengan hasil UN ini, bukankah
pendidikan kita baik-baik saja? Toh di Papua dan di Jakarta hasilnya tak jauh
beda? Inilah pembodohan publik yang terjadi melalui kebijakan UN.
Ketika UN jadi
parameter untuk mengukur keberhasilan pendidikan, kita sebenarnya sedang
melanggengkan sebuah kebijakan pendidikan yang penuh kepura-puraan dan
kemunafikan.
Mempergunakan
hasil UN untuk melihat indeks kompetensi sekolah merupakan kesesatan berpikir
karena tes sumatif tidak mampu memberikan informasi tentang proses
belajar-mengajar di sebuah unit pendidikan. Hasil nilai UN hanya dapat
menunjukkan jumlah soal yang dijawab benar oleh seorang siswa dalam tes itu
pada saat itu, tanpa kita tahu dari mana mereka memperoleh jawaban benar
tersebut! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar