|
Jagat
media massa belakangan ini diramaikan oleh berita tentang penyelenggaraan
kontes kecantikan sejagat, Miss World 2013. Sebanyak 135 negara akan
berkompetisi dalam pencarian ratu kecantikan sedunia ini, dan Indonesia akan
diwakili oleh Miss Indonesia 2013 Vania Larissa. Acara pembukaan yang
rencananya digelar di Nusa Dua, Bali, 7 September mendatang, ternyata menuai
protes dari berbagai kalangan.
Misalnya
saja Gerakan Umat Islam Bersatu (GUIB) Jawa Timur dengan puluhan ormas menolak
dan berniat mengirim surat pernyataan keberatan kepada Presiden RI Susilo
Bambang Yudhoyono karena acara ini dinilai dapat merusak akhlak dan kultur
bangsa Indonesia yang mayoritas muslim. Begitu juga Majelis Ulama Indonesia
(MUI), menolak acara tersebut karena dirasa sama sekali tidak ada gunanya.
Di
dalam tulisan ini, saya tidak ingin menyoroti protes-protes atau acara
pemilihan penobatan Miss World yang memunculkan konsep 3B, yakni brain
(kecerdasan), beauty (kecantikan), dan behavior (kepribadian) untuk menilai
para kontestan itu, tapi lebih menganalisis para peserta Miss World itu
sendiri, yang cenderung mempertontonkan aurat dengan baju yang sangat minim,
geliat tubuh yang seksi, serta penampakan bagian-bagian tubuh yang berpotensi
besar menarik hawa nafsu laki-laki dalam kacamata kekerasan simbolik yang
dialami para peserta acara Miss World.
Kekerasan
simbolis
Perlu
dijelaskan di sini bahwa kekerasan simbolis dimaknai sebagai kekerasan yang
secara "paksa" digunakan oleh pihak-pihak tertentu, terutama kelompok
kapitalis, guna mendapatkan yang tidak dapat dirasakan sebagai paksaan yang
berstandar pada harapan-harapan kolektif dari kepercayaan-kepercayaan yang
sudah tertanam secara sosial. Kekerasan simbolis beroperasi dalam mekanisme -mekanisme
penyembunyian kekerasan, sehingga kekerasan menjadi sesuatu yang diterima
sebagai "yang memang seharusnya demikian" (taken for granted).
Kekerasan
simbolis ini sering kali tidak disadari oleh orang yang mengalami kekerasan
karena sifatnya yang halus dan tidak tampak. Kekerasan semacam ini oleh
korbannya tidak dirasakan sebagai kekerasan, melainkan sebagai sesuatu yang
alamiah dan wajar.
Dalam
konteks acara pencarian ratu kecantikan pada Miss World dengan penampilannya
yang "buka-bukaan", mereka sebenarnya sedang mengalami kekerasan,
tapi tidak merasa mendapatkan kekerasan, bahkan menikmati kekerasan tersebut
karena tuntutan profesionalisme, dalam hal ini Miss World. Wanita-wanita
tersebut merasa seolah-olah rela dan menyadari untuk memperlihatkan
bagian-bagian tubuhnya. Padahal, sebenarnya, harkat dan martabatnya sebagai
manusia tereduksi oleh tubuhnya sendiri karena bisa dinikmati dan dilihat
banyak orang.
Selain
itu, teori alienasi, sebagaimana yang dikembangkan oleh Karl Marx, bekerja
secara sempurna. Para peserta sebetulnya sedang tidak menjadi dirinya sendiri.
Segala bentuk penampilannya yang menggairahkan tersebut diciptakan dan
dikendalikan pihak lain, misalnya perancang busana. Mereka seperti boneka yang
secara bebas dipermainkan. Di sinilah kita menyaksikan keterasingan menimpa
perempuan. Para aktivis gerakan feminisme seharusnya bergerak cepat membebaskan
mereka dari penindasan tersebut.
Ironisnya,
kekerasan dalam bentuk pencitraan ini, oleh banyak perempuan, tidak dianggap
sebagai kekerasan, malah mereka menganggap ini sebagai hal yang lumrah. Para
nona itu seakan menganggap hal tersebut sebagai tuntutan wajar dari pihak-pihak
tertentu (misalnya produser atau perusahaan-perusahaan hiburan). Semua ini
tidak lain merupakan dampak dari sistem ekonomi kapitalisme dalam bentuknya
ekonomi libido.
Dalam
sistem ekonomi libido, bagian-bagian tubuh, seperti belahan dada, paha, betis,
dan bagian-bagian tubuh sensitif lainnya, yang "dihidangkan" ke
masyarakat luas (penonton) tidak dianggap sebagai bentuk kemerosotan moral,
tapi justru sebagai bentuk nilai jual yang sangat tinggi. Setiap lekukan tubuh
perempuan dinilai sebagai keuntungan yang sangat besar. Di sinilah penghalalan
segala cara untuk mendapatkan keuntungan material (uang) dilakukan secara
canggih oleh pemilik modal.
Para
pelaku ekonomi libido, yang merupakan anak kandung dari ideologi kapitalisme,
tidak lagi mengindahkan persoalan moral, etika, agama, budaya, atau adat
istiadat. Mereka hanya memikirkan bagaimana cara memperoleh keuntungan ekonomis
secara berlipat dan penumpukan modal (Kapital). Dan tubuh perempuan dianggap
memiliki nilai keuntungan ekonomis bila dapat diproduksi dan direproduksi
sebagai nilai tukar lewat bahasa tubuh.
Salah
satu cara yang ditempuh untuk meraih hati publik adalah dengan mengeksploitasi
bagian-bagian atau seluruh tubuh perempuan tersebut. Padahal, seperti yang
sudah dijelaskan di atas, ini merupakan bentuk kekerasan simbolis yang tidak
dirasakan, terutama oleh kaum perempuan. Yang lebih menyedihkan, kaum perempuan
merasa puas dan bangga pada kekerasan yang halus dan tidak tampak ini.
Inilah
ideologi kapitalisme yang bekerja menggunakan prinsip-prinsip yang dikembangkan
dengan semangat ekonomi libido, yang mengharuskan setiap potensi energi libido
sebagai komoditas dalam rangka mendapatkan uang dan mengharuskan setiap dorongan
hasrat yang ada dalam tanda-tanda tubuh perempuan harus dijadikan alat tukar
untuk menumpuk modal dan menimbun kekayaan.
Setelah
mengamati kekerasan simbolis yang menimpa para peserta acara Miss World
tersebut, dengan mudah kita bisa menemukan bukti empiris perihal sisi gelap
para pelaku dan penganut ideologi ekonomi kapitalisme atas nama ekonomi libido.
Di sini saya juga melihat mesin-mesin ekonomi libido (perempuan cantik dan
seksi) dianggap sebagai alat paling efektif untuk meninabobokan mata kesadaran
kritis anak-anak zaman, khususnya anak-anak bangsa Indonesia. Akibatnya, daya
tangkal, daya resistansi, dan daya lawan kita terhadap penindasan dan
ketidakadilan yang menimpa perempuan menjadi tumpul.
Akhirnya,
kita perlu memupuk kesadaran bersama bahwa peradaban yang unggul selalu
dibangun oleh manusia-manusia berbudaya tinggi. Budaya tinggi tidak akan pernah
tercipta kalau ide, gagasan, dan perilaku kita masih suka kepada hal-hal yang
"seronok", buka-bukaan, dan cabul. Kesopanan, kesantunan, dan keramahan
budaya Indonesia harus tetap dijaga dan dilestarikan oleh anak-anak bangsa di
tengah gempuran budaya Barat yang tidak selalu kompatibel dengan budaya dan
kearifan lokal kita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar