|
Kutukan
sumber daya alam" ini mengacu pada pertumbuhan ekonomi yang lamban karena
negara yang kaya akan sumber daya alam kurang mampu atau tidak mempunyai
insentif ekonomi yang memadai untuk menggunakan faktor-faktor produksi (modal
dan tenaga kerja) secara efisien, terutama di industri-industri manufaktur, di
mana potensi untuk peningkatan produktivitas paling tinggi.
Laju
pertumbuhan ekonomi Cina yang akhir-akhir ini melamban cukup memprihatinkan
bagi Indonesia karena Cina kini merupakan pasar ekspor yang terpenting bagi
Indonesia. Diperkirakan, hampir 14 persen dari ekspor Indonesia dikirim ke
pasar Cina.
Hal ini
terjadi karena Cina sangat memerlukan sumber daya alam dari mancanegara yang
kaya akan sumber daya alam, termasuk Indonesia. Sumber daya alam yang diimpor
kemudian diolah menjadi barang jadi di berbagai industri manufaktur Cina, yang
kemudian diekspor ke mancanegara, terutama ke negara-negara maju, seperti
Amerika Serikat, Kanada, negara-negara Uni Eropa, Jepang, serta ke
negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Keprihatinan
ini terjadi karena hampir 65 persen dari ekspor Indonesia terdiri atas ekspor
komoditas primer (terutama batu bara, gas alam, minyak bumi, minyak sawit,
karet, dan tembaga). Hal ini juga menunjukkan bahwa komposisi ekspor Indonesia
tidak banyak berubah dibanding komposisi ekspor sewaktu Indonesia masih bernama
Hindia Belanda.
Kenyataan
ini cukup memprihatinkan karena Indonesia hingga kini-berbeda dengan
negara-negara industri baru di Asia Timur, terutama Korea Selatan dan Taiwan-belum
mampu mengembangkan sektor industri manufaktur yang berdaya saing tinggi, yang
terutama didasarkan pada kemampuan teknologi industri dan kemampuan pemasaran
yang tinggi.
Hal ini
sangat mungkin karena Indonesia, yang kaya akan sumber daya alam, menderita apa
yang disebut dengan "kutukan sumber daya alam" (resource curse).
"Kutukan sumber daya alam" ini mengacu pada pertumbuhan ekonomi yang
lamban karena negara yang kaya akan sumber daya alam kurang mampu atau tidak
mempunyai insentif ekonomi yang memadai untuk menggunakan faktor-faktor
produksi (modal dan tenaga kerja) secara efisien, terutama di industri-industri
manufaktur, di mana potensi untuk peningkatan produktivitas paling tinggi.
Dengan
demikian, Indonesia menjadi rentan sekali terhadap perubahan dalam harga
komoditas primer di pasar dunia, sama seperti pada masa Hindia Belanda. Seperti
diketahui, ekonomi Hindia Belanda sangat terpukul akibat Depresi Ekonomi Dunia
selama dasawarsa 1930-an sewaktu ekspor komoditas-komoditas primer Hindia Belanda
merosot dengan tajam. Hal ini lantaran permintaan dari negara-negara industri
maju, terutama Amerika Serikat dan Eropa, akan komoditas-komoditas primer
Indonesia merosot tajam.
Akibat
Depresi Ekonomi Dunia atas ekonomi Hindia Belanda adalah diberhentikannya
ratusan ribu pekerja Indonesia yang bekerja di perkebunan-perkebunan besar
milik Belanda, Inggris, Amerika, dan Belgia, terutama di Sumatera Utara.
diberhentikan. Karena pemutusan hubungan kerja ini, ratusan ribu pekerja
Indonesia, yang sebagian besar berasal dari Pulau Jawa, terpaksa kembali ke
Jawa.
Karena
pertumbuhan ekonomi Cina dalam tahun-tahun mendatang diperkirakan tidak dapat
bertumbuh dengan laju 8-9 persen, seperti yang dialami selama kedua dasawarsa
yang lalu (paling banter 7 persen, atau bahkan kurang dari 7 persen), maka
Indonesia perlu melakukan pergeseran dalam fokus ekspornya, yang hingga kini
masih bertumpu pada ekspor komoditas-komoditas primer, ke produk-produk
industri manufaktur, khususnya produk-produk industri manufaktur yang sangat
diminati di negara-negara industri maju ataupun di negara-negara berkembang,
termasuk di pasar Indonesia sendiri. Di samping ini, Indonesia perlu mendorong
atau mengamankan pertumbuhan yang mantap dari sektor-sektor ekonomi lain,
seperti sektor pertanian, sektor pertambangan, sektor konstruksi, dan sektor-sektor
jasa-jasa modern, seperti perbankan dan lembaga-lembaga keuangan non-bank,
konstruksi, serta sektor komunikasi modern.
Hanya
dengan demikian ekonomi Indonesia bisa tetap bertumbuh dengan laju 6 persen
atau lebih dalam tahun-tahun mendatang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar