|
POLITIK memang bisa mengubah segalanya dan kekuasaan bisa
menjelma menjadi elegi yang mengundang ratapan dukacita. Ungkapan inilah
kiranya yang paling tepat untuk menjelaskan keprihatinan kita di tengah upaya
pemberantasan korupsi belakangan ini. Setelah KPK menangkap guru besar ITB sekaligus
mantan kepala SKK Migas, Rudi Rubiandini, terkait dengan suap US$400 ribu dari
perusahaan minyak asing (13/8).
Kejaksaan
Negeri Purwokerto juga menahan Rektor Unsoed Purwokerto, Edy Yuwono, karena
terlibat korupsi dana Corporate Social
Responsibility (CSR) PT Aneka Tambang sebesar Rp5,8 miliar (21/8). Siapa
pun tentu terperangah melihat sosok intelektual ikut tergelincir dalam kasus
yang begitu nista, penyakit yang selama ini menggerogoti sendisendi kehidupan
bangsa.
Meski
bukan hal baru, kisah tragis dari dua guru besar tersebut semakin membuyarkan
pandangan publik bahwa korupsi hanya dilakukan oleh mereka yang berlatar
politikus, birokrasi atau penegak hukum an
sich. Sebaliknya, wabah rasywah
telah menjalar ke manamana, menyergap siapa saja, tak terkecuali kaum
intelektual yang bergelar doktor, profesor, bahkan guru besar sekali pun. Tidak
sedikit di antara, meminjam istilah Soe Hok Gie, the glorius selected few itu yang digelandang masuk ke ruang sidang
akibat korupsi.
Kaum
intelektual yang dikenal sebagai kelompok minoritas memiliki tradisi luhur
sebagai cermin kematangan keilmuan dan kearifan nurani limbung oleh godaan
materi. Kenyataan ini memperkukuh definisi purba tentang manusia, sebagaimana
pandangan filsuf eksistensialis, Gabriel Marcel, yakni selalu memiliki (avoir) dorongan untuk lekat dengan
materi.
Tentu
tidak semua intelektual begitu mudah menggadaikan nilai-nilai kecendekiawannya
untuk mendulang kuasa n dan harta. Namun, kejahatan dalam kadar tertentu akan
selalu muncul berdampingan bersama ikhtiar manusia dalam mencari kebenaran dan
memberi arti akan kesejatian dirinya. Terlebih ketika kaum intelektual memilih
berselingkuh dengan politik kekuasaan menjadi pejabat dan terlibat dalam tata
kelola negara. Seperti jamak diketahui, hiruk-pikuk politik dan gemerlapnya
kekuasaan sering menghamparkan jebakan-jebakan, termasuk korupsi yang sulit
ditoleransi nurani dan rasionalitas keilmuan. Hal ini pernah diakui oleh
Presiden ke-35 Amerika Serikat, John F Kennedy, yang mengatakan kekuasaan dan politik
itu cenderung korup.
Selubung ironi
Memang
ada secercah harapan ketika kaum intelektual hadir di kancah politik kekuasaan.
Mereka dipercaya bisa mengabdi secara tulus, bekerja demi kemanusiaan tanpa
pamrih dan menjunjung tinggi etika dan moral. Karena seperti digambarkan Julian
Benda (1927) bahwa intelektual adalah cendekiawan yang mendedikasikan hidupnya
dalam pencarian kebenaran utama di dalam kesederhanaan. Kerja intelektual
didasarkan pada nilai-nilai kejujuran dan etos kerja keras. Mereka sejatinya
tidak akan pernah tergoda oleh hasrat politik kekuasaan. Apalagi menghambakan
diri pada kepentingan kekuasaan dengan penuh perhitungan tersembunyi demi
egoisme nafsu keuntungan pribadi.
Namun,
alih-alih menjadi antitesis dari perilaku korupsi, resistensi mereka justru
meringkuk dalam kenyamanan sebagai legitimator kekuasaan. Inilah selubung ironi
yang tersimpan di balik jubah gelar akademis, pandangan idealis dan sikapnya
yang kritis dari seorang intelektual. Ironisme ini semakin endemik ketika kapasitas
intelektual mereka tak punya hubungan kausal dengan komitmen moral.
Karena itu,
terlalu sulit membangun idealisasi sosok intelektual yang ditempatkan pada
posisi terhormat dan `suci' dari berahi duniawi. Apa yang kini terjadi
memberikan gambaran realistis tentang sosok intelektual. Sebagaimana Daniel
Dhakidae (2003) memandang bahwa meski intelektual merupakan anak kandung
kebudayaan, eksistensinya tak bisa dipisahkan dari suatu pola relasi antara
modal dan kekuasaan.
Dari
sini, tak mengherankan jika intelektual yang kemudian memutuskan masuk ke
lingkaran kekuasaan dapat dengan mudah tergelincir untuk menyalah-gunakannya,
termasuk melakukan korupsi. Akibatnya, citra sebagai intelektual berintegritas,
jujur, objektif, rasional, simbol kekuatan nurani, dan penjaga moral bangsa
terlucuti. Label sebagai koruptor atau penjahat top hate crime mengoyak reputasi cemerlang yang sudah sekian lama
membentang dalam karier akademis dan profesionalitasnya. Karena itulah, seorang
intelektual Mesir, Muhammad Abduh, pernah berkata lirih: “Saya berlindung dari
godaan politik (kekuasaan) dan kaum politisi” (Audzubilllah min alsiyasah wa al-siyasiyyin).
Karakter profetik
Kendati
demikian, negeri ini masih membutuhkan sosok intelektual. Godaan politik dan
kekuasaan bukan menjadi alasan bagi mereka untuk tidak bersimbah peluh dengan
realitas persoalan bangsa. Sebaliknya, kehadiran mereka adalah sebagai
perantara yang menjangkau dan mempertemukan antara rakyat dan penguasa, antara
kelas alit dan kelas elite. Pengalaman lapangan yang riil akan kondisi
masyarakat merupakan modal bagi mereka untuk bekerja dan memengaruhi kebijakan
agar prorakyat. Sesuai pandangan Antonio Gramsci (1971) bahwa intelektual
adalah orang-orang yang merasakan penderitaan masyarakat, ada bersama masyarakat,
bertindakan dan berbuat nyata untuk menuntaskan persoalan di tengah masyarakat.
Lebih
dari itu, mereka juga harus menghabituasikan karakter profetik sebagai landasan
dalam setiap pikiran, ucapan, dan segala tindakan. Kuntowijoyo mengidentifikasi
intelektual profetik ini dengan intelektual yang selalu
mengintegrasiinterkoneksikan nalar akal dan nalar wahyu pada usahausaha
perjuangan, perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan pemberdayaan manusia secara
organik.
Dengan
karakter profetik ini, kaum intelektual akan terbebas dari tekanan berbagai
kepentingan, status sosial, modal (harta), dan kekuasaan. Ia juga akan menjadi
suluh bagi tegaknya mandat, moral dan tanggung jawab. Tidak hanya bersifat
horizontal (hablu minannas), tetapi
juga tanggung jawab vertikal (hablu
minallah). Di sinilah letak keserasian antara kapasitas sebagai intelektual
dan berpegang teguh pada komitmen moral sehingga mereka dapat menjalankan
perbuatan yang utama bagi masyarakat bangsa dan negara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar