|
Akhir-akhir ini, jagad politik Indonesia
diramaikan dengan fenomena pencalonan gubernur dan wakil gubernur, anggota DPR,
bahkan calon presiden serta wakil presiden. Namun, pencalonan tersebut sedikit
berbeda dari biasanya. Jika dulu pasangan yang akan bertarung baik dilevel
daerah maupun pusat itu dicalonkan oleh partai politik (parpol), maka sekarang
sedikit berbeda, para calon itu lebih banyak mencalonkan diri secara
individual. Hal ini menandakan kalau rekrutmen parpol dalam dunia politik
semakin memudar. Bahkan dalam UU No 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua UU No
32 Tahun 2004 menjelaskan bahwa monopoli parpol sudah dikurangi.
Berkaca ke
belakang, usulan calon perseorangan mencuat manakala masyarakat semakin
meragukan kredibilitas parpol dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat. Parpol
kerap hanya bermulut manis dalam kampanye namun absen dalam agregasi
kepentingan. Hal itulah yang membuat banyak masyarakat yang ingin maju
mencalonkan diri menjadi wakil-wakil rakyat lebih memilih jalan indipenden dari
pada menunggu partai politik yang mengajukannya. Sebab, mereka tahu selama ini,
partai tidak akan mencalonkan kader muda untuk diusung dalam pertarungan
perebutan kursi, baik di tingkat daerah maupun pusat. Fenomena seperti ini
tentu saja memberikan sinyal merah kepada partai politik agar segera berbenah
diri. Dengan maraknya budaya baru dalam dunia politik, menjadikan panggung
perpolitikan semakin memanas. Budaya baru di sini adalah budaya pencalonan
perorangan yang non partai.
Hal seperti ini
tentu saja memberi efek yang buruk bagi partai. Seharusnya partai mampu
mengayomi dan mendukung para kadernya untuk maju menjadi salah satu pemimpin
rakyat, akan tetapi dalam prakteknya semua itu sudah mulai memudar.
Bahkan masyarakat semakin apatis
dengan kondisi yang ada. Menjadi sangat tidak menyenangkan bagi warga negara
tatkala dipaksa memilih dari banyak calon yang tidak kredibel untuk menjadi
pemimpin di daerahnya.
Bagi beberapa kalangan akan
memilih untuk tidak ikut mencoblos alias golongan putih (golput). Sementara
tidak sedikit pula di antaranya yang asal dalam memilih. Sisanya, memilih siapa
yang berani memberikan imbalan materi (baca: praktik politik uang). Tidak dapat
disalahkan ketika kebanyakan masyarakat menjadi pragmatis atau bahkan apatis.
Kelemahannya terletak pada partai politik yang semakin lama semakin tidak
perduli dengan figur pilihan masyarakat. Pasalnya, sudah bukan rahasia lagi,
hasil survei elektabilitas kader kerap dipetieskan demi keinginan pimpinan
partai.
Di lain pihak, politik yang mahal
cenderung mensyaratkan parpol merekrut calon-calon berpenghasilan tinggi. Pada
kondisi ini partai seakan-akan sedang bertransformasi menjadi jasa penyedia
lapangan kerja. Layaknya pasar, seperti inilah praktik politik transaksional
yang rentan menciptakan perilaku korup para pejabat politik.
Lantas, setelah terpilih, praktik
korupsi justru marak dipamerkan dipelupuk mata khalayak ramai. Pasalnya,
laporan Lembaga Survei Nasioal (LSN) melansir bahwa Demokrat menempati posisi
pertama sebagai partai paling korup dengan presentase 70,4 persen, diikuti
Partai Golkar diposisi kedua dengan 5,7 persen, dan Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) di tempat terakhir dengan 4,4 persen. Ironisnya lagi, PKS adalah salah
satu partai yang berlebelkan Islam, ternyata tidak mampu mengimplementasikan
nilai-nilai keislaman dalam tubuh partai. Itulah yang memicu masyarakat untuk
tidak lagi percaya kepada PKS.
Setidaknya laporan ini mempertegas
bahwa partai besar di negeri ini sudah tidak layak dipercaya. Ihwal ini semakin
memperparah apatisme masyarakat terhadap politik. Alhasil, muncul anggapan
siapapun yang terpilih tidak akan berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat.
Lagi-lagi hal ini memicu semangat golput masyarakat dalam memilih calon
pemimpinnya. Sikap golput yang dilakukan masyarakat dalam menentukan pilihannya
tentu saja tidak bisa disalahkan. Jika melihat kondisi parpol sudah hancur
seperti itu, maka sangat mungkin masyarakat menjadi apatis dan memicu mereka
untuk enggan dalam memilih.
Sikap golput dalam panggung
politik seolah-olah sudah menjadi budaya. Budaya yang memang sudah turun
temurun. Bahkan, kasus golput dalam pemilu sudah terjadi sejak tahun 1999, di
mana pada waktu itu angka golput mencapai 6,3 persen. Angka yang cukup besar
untuk sebuah negara seperti Indonesia ini. Dahsyatnya lagi, angka golput
semakin membesar pada pemilu-pemilu berikutnya. Hal ini tentu saja memberikan
tanda tanya yang besar bagi kita. Ada apa sebenarnya dengan masyarakat
Indonesia sehingga angka golput semakin marak?
Namun, harus diakui tanpa
pengorganisasian maka kedaulatan rakyatpun akan terancam. Memperjuangkan hak
dan aspirasi akan efektif jika diorganisasikan. Inilah tugas agregasi yang
diemban parpol itu sendiri. Lantas, agar peran ini tetap berlangsung maka
parpol perlu didesak untuk berbenah. Hal ini dapat diawali dengan penghapusan
oligarki partai, sembari mengoptimalkan fungsinya bagi kepentingan masyarakat.
Di pihak lain, kepercayaan perlu
dibangun lewat transparansi keuangan serta rekrutmen parpol. Di luar itu semua,
terpilihnya calon pejabat politik baik lahir dari perut partai atau
perseorangan akan ditentukan oleh masyarakat. Oleh sebab itu, membangun
masyarakat cerdas demi pemimpin-pemimpin bernurani menjadi mutlak dilakukan.
Sudah menjadi sebuah keniscayaan bagi parpol agar menghindari politik negeri
koruptor, sehingga masyarakat mengembalikan kepercayaannya kepada partai
politik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar