|
Waktu semakin dekat bagi
pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) 2014, di mana segenap bangsa Indonesia akan
menentukan nasib bangsa setidaknya untuk masa lima tahun berikutnya. Momen
penting ini merupakan pertaruhan bagi masa depan bangsa Indonesia, apakah
nantinya semakin membaik atau justru malah sebaliknya. Jangan sampai momen ini
melahirkan pemimpin secara demokratis tetapi tanpa dilengkapi integritas, dan
kapasitas tinggi.
Bukan hal asing menjelang
perhelatan itu banyak kepentingan bermunculan. Gejolak politik pun lahir
menghiasi dinamika perpolitikan dalam negeri. Hampir semua aspek kegiatan itu
tak luput dari politik. Sehingga yang buruk sekalipun disulap menjadi baik,
pencitraan, blusukan, mengulas figur idaman dan menyeru kebaikan adalah hal
yang acapkali dilakukan terlebih bagi seseorang yang akan maju menjadi pemimpin
di negeri ini.
Parpol yang notabenenya adalah
sebagai mediator antara suara rakyat dengan pemerintahan, sudah barang tentu
secara otomatis berusaha keras menyusun strategi untuk meraih suara
sebanyak-banyaknya demi memenangkan pemilu. Cara instan merupakan suatu yang
lazim terjadi, dan parpol abai dengan fungsinya untuk pendidikan politik,
rekrutmen politik, penyelesaian konflik, komunikasi politik dan kaderisasi.
Tak heran jika berbagai jurus atau
strategi pun dilakukan oleh berbagai parpol guna mendulang simpati rakyat,
merekrut para artis dianggap paling "ampuh" untuk mendulang suara.
Pasalnya, ketenaran sebagai publik figur seperti itu dianggap akan meningkatkan
popularitas dan elektabilitas partai yang mengusungnya.
Memang dalam dunia perpolitikan
taktik seperti ini sah-sah saja. Namun, berangkat dari fenomena itu tentunya
akan melahirkan sebuah pertanyaan yang mendasar. Bagaimana tidak. Toh para
artis sejatinya pekerjaannya memainkan sebuah film atau akting didepan layar
kaca. Lantas, apakah mereka mampu memimpin dan menjadi wakil rakyat yang baik
jika yang diandalkan hanyalah popularitas belaka? Ini bukan panggung akting
seperti yang mereka geluti. Politik adalah dunia nyata dimana persoalan begitu
kompleks sehingga memerlukan penanganan yang serius dan fokus.
Bercermin dari pada kinerja DPR
2009-20011 sudah memiliki potret buruk. Jangan sampai diperiode 2014-2019
dimana geliat artis nyaleg semakin tinggi sehingga akan memenuhi jabatan di
parlemen, menjadikan kinerja DPR semakin buruk. Menjadi seorang pemimpin juga
butuh ilmu dan pengalaman. Jadi, kalau artis menjadi politisi ibarat hewan
hidup di darat masuk dan ikut hewan hidup dilautan. Dengan kata lain, mereka sudah
keluar dari habitat aslinya.
Memang berdasarkan pengalaman
pemilu 2009 dimana dalam pemilu itu fenomena artis sudah muncul. Itu
memperlihatkan tidak semua legislator artis ini bisa bekerja dan berkinerja
secara optimal yang notabenenya sebagai wakil rakyat yang memperoleh mandat
dari pemilu. Hal ini bukan tidak mungkin disebabkan oleh minimmya basic ilmu
politik dan kesibukan mereka di dunia akting. Jejak mereka tenggelam ditengah
hiruk-pikuk politik demokrasi kita.
Hanya beberapa saja diantaranya
yang sampai saat ini masih eksis. Sekadar contoh, sebut saja Rieke Diah
Pitaloka (PDI-P) dan Nurul Arifin (Golkar). Harus diakui kinerja meraka baik
selama mengemban tugas dari negara untuk rakyat. Meski demikian, semua itu
tidak bisa dijadikan patokan mengingat mereka hanya minoritas saja.
Memang harus diakui, ada beberapa
artis yang menonjol kinerjanya. Hal ini kerena sebelumnya mereka memang sudah
terlihat fokus pada pengabdian kepada rakyat. Ghirah mereka berpolitik sudah
muncul disanubari bukan mengincar posisi tertinggi sehingga dengan mudahnya
melakukan tindak korupsi.
Kemrosotan Demokrasi
Fenomena caleg artis pada dasarnya
memunculkan beberapa spekulasi atau stigma negatif dari masyarakat. Pertama,
mereka "gagal" dalam kaderisasi. Parpol yang demikian itu
sesungguhnya telah melupakan fungsinya. Rekutmen artis mencerminkan kegagalan
parpol dalam kaderisasi internal.
Diakui atau tidak kehadiran para
artis ini mencerminkan bahwa parpol "gagal" dalam proses kaderisasi
internal. Mereka justru lebih memilih cara instan dibandingkan dengan
menciptakan kader berkualitas melalui proses kaderisasi sejak dini.
Kedua, membonceng nama artis
memunculkan sikap parpol yang lebih mementingkan kursi dari pada mengusung
figur politik jujur dan amanah dan bertanggungjawab. Hal ini disebabkan oleh
misi jangka pendek mereka yakni untuk memenangkan pemilu nanti. Hal ini
tentunya ada indikasi disorientasi hakikat politik. Pada dasarnya politik itu
untuk memperbaiki tatanan negara, namun saat ini hakikat politik sudah
bergeser. Politik hanya dijadikan lahan empuk untuk mengais dan merampas hak
rakyat. Bahkan yang terlihat dewasa ini, kebanyakan dari para politisi kita
membangun intregitas lewat setelan jas, dasi dan sepatu serta pencitraan
melalui media atau kampanye. Seharusnya, integritas itu lahir dari keluhuran
budi dan kemuliaan akhlak.
Ketiga, parpol tidak bisa
membedakan antara "panggung sandiwara" dimana para artis itu akting
untuk menghibur penonton dengan panggung politik dimana jika seorang berada
disini maka tuntutannya bukanlah akting, akan tetapi kerja setulus hati,
menjadi pelayan rakyat dan menjunjung tinggi kesejahteraan rakyat.
Inilah konstalasi perpolitikan
nasional, sekaligus merupakan indikator kemrosotan demokrasi kita. Mungkin
benar bahwa praktik demokrasi yang kita kembangkan saat ini masih sebatas
euforia. Wacana demokrasi baru menyentuh persoalan prosedural atau lebih rendah
dari itu, tawar menawar dan berebut kekuasaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar