|
Beberapa tahun terakhir,
praktik-praktik korupsi tetap marak, suap tetap merajalela, dan kongkalikong
antara legislatif, eksekutif, dan judikatif, bahkan dengan pengusaha, masih
tetap berjalan terus. Bahkan, modus operandi tindak pidana korupsi makin
mengalami diversifikasi yang makin beraneka ragam.
Ada kesan, "kegarangan"
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melakukan penggeledahan, penangkapan,
dan menyeret para koruptor selama ini tidak berpengaruh sama sekali. Jika
keadaan demikian terus berlangsung, sungguh sudah waktunya dicari jenis hukuman
lain untuk menghentikan korupsi di negeri ini.
Entahlah, jenis penanganan dan
hukuman yang seperti apa lagi yang harus dilakukan KPK untuk membuat para
pegawai dan pejabat negara/pemerintahan berhenti korupsi. Jangan-jangan dihukum
mati pun, mereka sudah tidak takut lagi!
Salah satu kelemahan lembaga-lembaga
negara kita, baik eksekutif (termasuk badan-badan yang menjadi bagian dari
eksekutif), legislatif, maupun yudikatif adalah lemahnya kinerja satuan
pengawasan internal. Instansi yang memiliki satuan pengawas internal, seperti
inspektorat jenderal (irjen) dan inspektorat daerah saja, praktik korupsi masih
tetap marak, apalagi badan-badan lainnya yang tidak memiliki satuan pengawas
internal. Akibatnya, penyelewengan keuangan negara diduga makin parah saja.
Padahal, badan-badan semacam
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu (SKK) Migas itu, kewenangan dan
kekuasaannya sangat besar. Walhasil, berlakulah dalil power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely.
Untuk mencegah terjadinya korupsi,
diharapkan KPK aktif membina satuan-satuan pengawas internal itu. Sudah
terbukti pemberantasan korupsi selama ini telah menjadi semacam fenomena spiral
korupsi yang tidak berkesudahan.
Bagaimana tidak, satu koruptor
ditangkap muncul lima koruptor lain; 10 koruptor baru ditahan, lahir 100
koruptor baru lagi di tempat lain. Proses kaderisasi dan regenerasi koruptor
berjalan secara sangat lancar.
Ada terjadi proses pembelian dan
pengembangbiakan korupsi secara masif. Maka, tidak ada pilihan lain lagi,
kecuali memberdayakan satuan-satuan pengawas internal yang tugasnya mengawasi
secara ketat sejak dini agar korupsi tidak terjadi. Harus dihindari, jangan
sampai korupsi baru terungkap setelah terjadi kerugian keuangan negara dalam
jumlah yang sangat besar.
Kalau hal macam ini dibiarkan,
akhirnya susah sekali mengembalikan kerugian keuangan negara karena hasil
korupsinya sudah dilarikan ke mana-mana. Satuan pengawas internal mutlak harus
berhasil mencegah terjadinya korupsi sejak dini ketika kerugian keuangan negara
belum telanjur terjadi. Jika satuan pengawas internal tidak mampu mencegah
korupsi, dibubarkan saja sekalian.
Sedih, bahkan kecewa, karena
ternyata korupsi terus saja terjadi. Ini menunjukkan bahwa korupsi-korupsi baru
akan terus bermunculan silih berganti bagaikan ungkapan "patah tumbuh hilang
berganti, esa hilang dua terbilang". Pertanyaannya, apa akan begini terus
negara kita ini?
Dalam upaya mencegah terjadinya
praktik korupsi yang berulang, tampaknya diperlukan langkah dan tindakan
drastis untuk mengatasi persoalan yang membuat rakyat gregetan ini. Negara ini
perlu big bang berupa langkah drastis yang inkonvensional! Apa itu?
Yang pasti, cara-cara konvensional
sudah terbukti tidak mempan lagi, bahkan tidak ada pengaruhnya. Yang terjadi di
negeri ini adalah bahwa korupsi itu satu hal, sementara pemberantasan korupsi
itu hal yang lain lagi! Keduanya tidak berhubungan. Tidak nyambung! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar