Rabu, 21 Agustus 2013

Rezim Devisa Bebas

Rezim Devisa Bebas
Farial Anwar ;   Direktur Currency Management
SUARA KARYA, 20 Agustus 2013


Pelemahan nilai tukar rupiah cukup signifikan hingga 160 poin terjadi pada Senin (19/8) sore menjadi Rp 10.540 dibanding sebelumnya di posisi Rp 10.380 per dolar AS. Ini merupakan kelanjutan dari pelemahan sebelumnya setelah liburan Lebaran. Ada dua faktor utama yang memengaruhi pelemahan rupiah, yakni faktor eksternal dan internal.

Dari faktor eksternal, rencana pengurangan program stimulus ekonomi oleh bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) pada akhir tahun ini mendatangkan sentimen negatif yang menekan rupiah. Muncul spekulasi jadi tidaknya program itu dilaksanakan hingga menimbulkan tebak-tebakan di antara pelaku usaha dunia.

Situasi ini memberikan dampak yang besar untuk mempermainkan emerging market agar dana kembali ke AS. Akibatnya, dolar AS terus menguat dan mata uang negara lain termasuk rupiah cenderung melemah.

Dari faktor internal, defisit neraca perdagangan RI ikut berpengaruh terhadap pelemahan rupiah. Kalau nilai ekspor menurun, sementara impor naik, maka akan terjadi penggunaan dolar dalam cukup besar untuk membiayai impor. Demikian pula pelemahan rupiah, tak terlepas karena penurunan IHSG BEI. Meski pekan lalu BI memutuskan untuk tidak menaikkan suku bunga (tetap di level 6,5 persen), namun IHSG tetap turun 1,6 persen dibanding pekan sebelumnya.

Pelemahan rupiah juga dipicu kenaikan harga BBM yang berdampak pada inflasi tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) melansir inflasi Juli sebesar 3,29 persen atau 8,61 persen secara year on year. Level ini lebih tinggi dari perkiraan BI sebesar 2,87 persen. Dengan inflasi tinggi, daya beli masyarakat menurun dan orang jadi tidak tertarik lagi dengan rupiah dan lebih suka menyimpan dolar.

Kondisi itu masih ditambah lagi dengan spekulasi rencana kenaikan suku bunga oleh BI yang kemungkinan akan direspons negatif.

Untuk mengupayakan agar rupiah tidak terus melemah, maka dolar yang masuk ke Indonesia harus dikendalikan. Dolar yang sudah masuk tidak boleh seenaknya diambil, tapi harus diterapkan holding period, misalnya 3-6 bulan baru bisa diambil lagi ke luar. Akibat pengendalian dolar yang kurang ketat, eksportir lebih suka memarkir dolar mereka ke luar negeri.

Akibat pelemahan rupiah, dapat dipastikan defisit membengkak. Persoalannya ada di APBN yang menetapkan asumsi Rp 9.600 per dolar AS hingga untuk membiayai impor (yang menggunakan dolar), pemerintah terpaksa mengeluarkan rupiah lebih banyak.

Langkah BI melepaskan rupiah ke mekanisme pasar mengingat cadangan devisa yang terus merosot, berdampak negatif. Intervensi tak mungkin terus dilakukan karena cadangan devisa terus merosot tinggal 92 miliar dari 98 miliar dolar AS. Padahal, tahun lalu cadangan devisa sempat berada di tingkat tertinggi 120 miliar dolar AS.


Kebijakan apa pun yang dilakukan BI nyatanya tidak berdampak positif. Suku bunga dinaikkan pun, pelemahan rupiah tampaknya akan terus terjadi. Kebijakan valuta asing BI sendiri belum membuahkan hasil signifikan. Ini terjadi karena Indonesia menerapkan rezim devisa bebas hingga gonjang-ganjing pelemahan rupiah terus mengancam. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar