|
Memasuki
usia kemerdekaan yang ke-68, Indonesia mempunyai banyak tantangan yang sangat
kompleks. Jangan sampai perayaan kemerdekaan hanya sebatas seremonial semata,
tanpa ada inspirasi perubahan dan semangat untuk mengisi kemerdekaan menuju
Indonesia yang beradab.
Kalau
sebatas seremonial saja, pasti Indonesia hanya akan menjadi negeri upacara yang
berhenti dalam setiap momentum saja, sementara kebobrokan dan ketertinggalan
terus berlangsung tanpa henti. Lihat saja korupsi yang disajikan kaum elite,
tak pernah putus dalam berita media.
Di
tengah kegalauan seremonial kemerdekaan, kaum perempuan mempunyai tugas penting
untuk melakukan artikulasi perannya dalam mengisi kemerdekaan.
Mengartikulasikan peran perempuan tidak bisa dilepaskan dari unit bernama
keluarga, karena keluarga merupakan unit negara paling kecil.
Stabilitas negara
bisa dilihat dari stabilitas keluarga yang menghuni negara itu. Tanpa
mengesampingkan peran laki-laki, peran perempuan lebih dominan, karena sosok
perempuan menjadi tumpuan keluarga, mulai hal yang sangat sederhana (keperluan
makan sehari-hari), sampai hal yang sangat krusial (doa, semangat, restu dan
surga ibu).
Iya,
laki-laki merupakan kepala keluarga, tetapi perempuanlah yang justru ”hidup”
dan menghidupkan keluarga. Hadirnya kasih sayang dan keharmonisan dalam
keluarga seringkali lahir dari rahim seorang perempuan. Suatu keluarga tanpa
kehadiran ayah tetap bisa berdiri tegak, tetapi tak bisa dibayangkan suatu
keluarga tanpa kehadiran seorang ibu. Dalam diri seorang ibu, tertancap jiwa
ke-manusiaan, kenabian dan ketuhanan secara berimbang, sehingga kunci
kesuksesan keluarga ba-nyak ditentukan oleh peran krusial seorang ibu.
Keluarga
menjadi tempat berseminya cinta, kasih sayang, keteladanan dan kearifan.
Keluarga menjadi ”sekolah pertama” seorang anak untuk mencerap ilmu kehidupan.
Kalau keluarga bisa menjadi surga yang penuh ilmu dan keteladanan, maka
anak-anak akan mendapatkan warisan agung yang menjadi bekal kehidupan di masa
depan. Keluarga yang terjaga akan menegakkan Indonesia yang bermartabat.
Keluarga menjadi tempat pertama lahirnya peradaban Indonesia yang maju dan
berkeadaban.
Memantapkan
diri sebagai poros utama dalam keluarga merupakan modal dasar kaum perempuan
(juga laki-laki) untuk mengisi kemerdekaan Indonesia. Tantangan besar yang
dihadapi bangsa ini harus dimulai solusinya dari keluarga. Jangan sampai
berbicara soal beragam problem bangsa, sementara problem dalam keluarga sendiri
tidak paham. Perempuan harus menjadi pelopor membangun keluarga berkualitas,
sehingga akan lahir generasi masa depan yang dibanggakan bangsa.
Mengisi Kemerdekaan
Kalau
kemantapan keluarga sudah diyakini, maka langkah selanjutnya adalah mengisi
kemerdekaan dalam ruang publik. Pertama-tama yang mesti dilakukan perempuan
adalah memerdekakan diri sendiri. Memerdekakan perempuan dalam kehidupan
hari ini, bagi Husein Muhammad (2012) adalah memberikan kembali hak-hak sosial,
ekonomi, budaya dan politik mereka tanpa pembatasan-pembatasan yang disebabkan
oleh jenis kelamin biologisnya.
Perbedaan
jenis kelamin biologis dan perbedaan-perbedaan yang lain: etnis, bahasa, warna
kulit dan lain-lain, tidak boleh menjadi dasar untuk membeda-bedakan dan
membatasi hak masing-masing, karena bertentangan dengan hak-hak dasar manusia.
Yakni hak-hak yang diberikan Tuhan kepadanya.
Setelah
mampu memerdekaan diri, maka perempuan harus berani membangun perubahan di
tengah kondisi sosial yang makin pelik ini. Perempuan harus berani membangun
ruang publik, sehingga mampu menjadi jembatan dan katalisator perubahan
masyarakat.
Ruang
publik, bagi Jurgen Habermas, adalah ruang komunikasi yang terbentuk ketika dua
orang atau lebih menjalankan proses komunikasi untuk membantu masyarakat
memahami cara-cara prosedural dalam penyelesaian masalah untuk kepentingan
bersama. Ruang publik yang demokratis ini untuk ”mengusir” ideologi
politik yang menginginkan perempuan semakin mengerdil dalam geraknya. Padahal,
Bung Karno melihat peran besar perempuan untuk Indonesia.
Baginya,
perempuan harus berdaya. Ini untuk menjadikan perempuan sebagai salah satu
penyangga Republik Indonesia yang baru lahir. Dengan tegas, Bung Karno
menyatakan: ”Soal perempuan bukanlah soal
buat perempuan saja, tetapi soal masyarakat, soal perempuan dan laki-laki. Dan
sungguh soal masyarakat dan negara yang amat penting.”
Pada
awal kemerdekaan, perempuan masih berada di pinggir peradaban. Ruang publik
masih resmi menjadi milik kaum Adam. Dalam benak Bung Karno, perempuan
sebenarnya mutiara yang indah sekali, kalau bisa dipamerkan kepada publik, pastilah
perempuan menjadi berharga dan sangat berguna. Soekarno menyatakan: ”tetapi justru sebagaimana orang menyimpan
mutiara di dalam kotak, demikian pula mereka menyimpan istrinya itu di dalam
kurungan.”
Itulah,
Soekarno masih menyayangkan, karena perempuan masih berada dalam kotak yang
disembunyikan.
Karena itu, perempuan harus bangkit membangun perubahan dan ruang publik.
Dengan tegas Bung Karno berkata kepada perempuan: ”Wanita Indonesia, kewajibanmu telah terang! Sekarang
ikutlah-serta-mutlak dalam usaha menyelamatkan Republik, dan nanti jika
Republik telah selamat, ikutlah-serta-mutlak dalam usaha menyusun Negara
Nasional. Di dalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah
engkau nanti menjadi wanita yang bahagia, wanita yang merdeka!”
Memerdekakan
diri, memantapkan keluarga, membangun ruang publik dan tantangan modernitas
merupakan empat hal mendasar bagi perempuan dalam mengisi kemerdekaan. Apa pun
posisi perempuan, kalau keempat hal itu bisa dipahami, maka perempuan menjadi
mutiara yang sangat indah untuk Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar