REPUBLIKA, 01
Agustus 2013
|
Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) awalnya dibentuk melalui Kepres No 89 Ta
hun 1996, lalu direvisi menjadi Kepres No 55 Tahun 2001. Kapet sejatinya merupakan
salah satu dari beberapa kawasan andalan yang dipandang penting dalam menyinergikan
pelbagai potensi kawasan guna mempercepat pembangunan ekonomi, sekaligus menjadi
pusat pertumbuhan (growth pole) dan
memberikan nilai tambah bagi produk daerah.
Kapet
selama ini, katanya, berfokus pada percepatan pengembangan iklim investasi yang
kondusif, sekaligus meningkatkan peran dunia usaha dalam pengelolaan
pengembangan produk unggulan, pembangunan sarana dan prasarana transportasi,
dan energi yang mendukung pengembangan kawasan strategis. Tujuan utama Kapet
adalah pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya ke seluruh wilayah Indonesia
dengan memberikan peluang kepada dunia usaha agar berperan serta dalam kegiatan
pembangunan di kawasan timur Indonesia (KTI) yang relatif tertinggal dan juga
di kawasan barat Indonesia (KBI).
Selain
itu, Kapet berupaya mendorong terbentuknya suatu kawasan penggerak utama (prime mover) pengembangan wilayah,
sembari melakukan pemilahan kawasan pembangunan dengan menentukan prioritas
atas suatu kawasan. Dengan demikian, percepatan pembangunan dapat dilakukan. Sejauh
ini sudah terbentuk 12 Kapet di KTI dan satu Kapet di KBI. Ketiga belas Kapet
itu adalah Sabang (Aceh), Das Kakab (Kalimantan Tengah), Sanggau (Kalimantan
Barat), Batulicin (Kalimantan Selatan), Sasamba (Kalimantan Timur),
Manado-Bitung (Sulawesi Utara), Batui (Sulawesi Tengah), Pare-Pare (Sulawesi
Selatan), Bukari (Sulawesi Tenggara), Bima (Nusa Tenggara Barat), Mbay (Nusa
Tenggara Timur), Seram (Maluku), dan Biak (Papua).
Belum
berkontribusi Kapet oleh banyak ahli diyakini mampu menarik investor sekaligus
sebagai sarana promosi bagi investor yang belum menanamkan modalnya. Kapet
diharapkan mampu memacu pertumbuhan ekonomi kawasan dan memberikan dam pak pada
wilayah sekitar kawasan melalui apa yang disebut trickle down effect.
Namun,
kenyataannya hal itu masih jauh dari harapan. Data Kementerian Perdagangan 2012
menunjukkan, sejak 2005, dari 13 Kapet yang ada, realisasi investasi hanya
sekitar Rp 27,5 triliun atau 3,14 persen dari total investasi nasional Rp
809,27 triliun. Hanya tiga Kapet yang memberikan kontribusi terbesar terhadap
total investasi nasional, yaitu Kapet Sasamba menyumbang Rp 11 triliun, Kapet
Batu Licin Rp 3 triliun, dan Kapet Manado-Bitung Rp 3,4 triliun.
Kapet
senyatanya memang sedang terlilit beberapa masalah. Masalah utama yang
mengemuka adalah soal kebijakan hukum dan insentif, ditambah minimnya anggaran
promosi. Lokasi Kapet pun terlalu luas dan tidak terfokus. Ketersediaan infrastruktur
tidak jelas. Insentif yang diberikan untuk Kapet juga sangatlah terbatas. Belum
lagi masalah penataan ruang.
Sejak UU
No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disahkan, misalnya, hingga kini rencana
tata ruang Kapet belum ada. Padahal, UU Penataan Ruang dan PP No 26 Tahun 2008
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) telah menetapkan Kapet
sebagai kawasan strategis nasional dari sudut kepentingan ekonomi. Akhirnya,
konsep pengembangan Kapet belum dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi di
wilayah sekitarnya dan belum mampu mengatasi ketimpangan wilayah.
Segera atasi
Oleh
karena itu, pemerintah mesti segera mengatasi pelbagai masalah tersebut
sehingga tujuan awal terbentuknya Kapet bisa segera tercapai. Langkah pertama
yang harus diambil adalah memaksimalkan dana pembangunan untuk membangun
infrastruktur fisik yang diperlukan di wilayah Kapet.
Pembentukan
Project Management Unit yang berisi program pengembangan infrastruktur Kapet di
tingkat pusat dan daerah yang sudah dicanangkan pemerintah patut diapresiasi.
Sebab, dengan begitu akan ada jaminan terciptanya keterpaduan dalam penyusunan,
pelaksanaan, dan evaluasi pelaksanaan pengembangan infrastruktur bidang
pekerjaan umum di Kapet.
Konsistensi
dalam menyusun usulan dukungan infrastruktur, yang mengacu pada rencana tata
ruang, baik itu RTR-WN, Rencana Tata Ruang Kapet, RTRW Provinsi, RTRW
Kabupaten/Kota, dokumen sinkronisasi program, maupun memorandum program
infrastruktur, sangatlah diperlukan.
Kedua,
mengatur regulasi perpajakan dalam pengelolaan Kapet sehingga pelaksanaan Kapet
dapat optimal memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi kawasan. Untuk
itu, mesti ada pengurangan pajak penghasilan sebesar 30 persen selama enam
tahun dan 5 persen per tahun di Kapet.
Selain
itu, perlu ada pilihan percepatan penyusutan pajak (amortisasi). Kompensasi
kerugian fiskal paling lama 10 tahun patut diwujudkan. Pengenaan pajak dividen
10 persen, atau lebih rendah, dan juga pelayanan terpadu satu pintu di seluruh
Kapet adalah sebuah keniscayaan.
Ketiga,
mengintegrasikan Kapet ke dalam Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
berdasarkan fokus sektor usaha. Integrasi akan membuat pembangunan kawasan industri menjadi lebih baik sehingga Kapet dan KEK bisa bersinergi dengan landasan hukum yang lebih jelas. Impaknya, insentif baik fiskal maupun nonfiskal pun akan mudah diberikan pada setiap kawasan di bawah koridor ekonomi khusus.
berdasarkan fokus sektor usaha. Integrasi akan membuat pembangunan kawasan industri menjadi lebih baik sehingga Kapet dan KEK bisa bersinergi dengan landasan hukum yang lebih jelas. Impaknya, insentif baik fiskal maupun nonfiskal pun akan mudah diberikan pada setiap kawasan di bawah koridor ekonomi khusus.
Keempat,
membentuk strategi baru yang berbasis local
economic development, dengan bersandar pada sektor unggulan pertanian,
kelautan, perikanan, pariwisata, dan beberapa sektor unggulan lainnya sesuai
potensi dan karakteristik daerah di masing-masing Kapet.
Kelima,
merevitalisasi kelembagaan Kapet di daerah seraya senantiasa berkoordinasi
dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, termasuk memaksimalkan potensi
memperluas peran pemerintah daerah dalam mengembangkan kawasan agar dapat lebih
berdaya saing. Dengan begitu, ketimpangan wilayah di republik ini bisa segera
teratasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar