Jumat, 02 Agustus 2013

Membangun Kapet

Membangun Kapet
Moh Ilham A Hamudy  ;   Peneliti di BPP Kementerian Dalam Negeri
          REPUBLIKA, 01 Agustus 2013


Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) awalnya dibentuk melalui Kepres No 89 Ta hun 1996, lalu direvisi menjadi Kepres No 55 Tahun 2001. Kapet sejatinya merupakan salah satu dari beberapa kawasan andalan yang dipandang penting dalam menyinergikan pelbagai potensi kawasan guna mempercepat pembangunan ekonomi, sekaligus menjadi pusat pertumbuhan (growth pole) dan memberikan nilai tambah bagi produk daerah. 

Kapet selama ini, katanya, berfokus pada percepatan pengembangan iklim investasi yang kondusif, sekaligus meningkatkan peran dunia usaha dalam pengelolaan pengembangan produk unggulan, pembangunan sarana dan prasarana transportasi, dan energi yang mendukung pengembangan kawasan strategis. Tujuan utama Kapet adalah pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya ke seluruh wilayah Indonesia dengan memberikan peluang kepada dunia usaha agar berperan serta dalam kegiatan pembangunan di kawasan timur Indonesia (KTI) yang relatif tertinggal dan juga di kawasan barat Indonesia (KBI).

Selain itu, Kapet berupaya mendorong terbentuknya suatu kawasan penggerak utama (prime mover) pengembangan wilayah, sembari melakukan pemilahan kawasan pembangunan dengan menentukan prioritas atas suatu kawasan. Dengan demikian, percepatan pembangunan dapat dilakukan. Sejauh ini sudah terbentuk 12 Kapet di KTI dan satu Kapet di KBI. Ketiga belas Kapet itu adalah Sabang (Aceh), Das Kakab (Kalimantan Tengah), Sanggau (Kalimantan Barat), Batulicin (Kalimantan Selatan), Sasamba (Kalimantan Timur), Manado-Bitung (Sulawesi Utara), Batui (Sulawesi Tengah), Pare-Pare (Sulawesi Selatan), Bukari (Sulawesi Tenggara), Bima (Nusa Tenggara Barat), Mbay (Nusa Tenggara Timur), Seram (Maluku), dan Biak (Papua).

Belum berkontribusi Kapet oleh banyak ahli diyakini mampu menarik investor sekaligus sebagai sarana promosi bagi investor yang belum menanamkan modalnya. Kapet diharapkan mampu memacu pertumbuhan ekonomi kawasan dan memberikan dam pak pada wilayah sekitar kawasan melalui apa yang disebut trickle down effect

Namun, kenyataannya hal itu masih jauh dari harapan. Data Kementerian Perdagangan 2012 menunjukkan, sejak 2005, dari 13 Kapet yang ada, realisasi investasi hanya sekitar Rp 27,5 triliun atau 3,14 persen dari total investasi nasional Rp 809,27 triliun. Hanya tiga Kapet yang memberikan kontribusi terbesar terhadap total investasi nasional, yaitu Kapet Sasamba menyumbang Rp 11 triliun, Kapet Batu Licin Rp 3 triliun, dan Kapet Manado-Bitung Rp 3,4 triliun.

Kapet senyatanya memang sedang terlilit beberapa masalah. Masalah utama yang mengemuka adalah soal kebijakan hukum dan insentif, ditambah minimnya anggaran promosi. Lokasi Kapet pun terlalu luas dan tidak terfokus. Ketersediaan infrastruktur tidak jelas. Insentif yang diberikan untuk Kapet juga sangatlah terbatas. Belum lagi masalah penataan ruang. 

Sejak UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disahkan, misalnya, hingga kini rencana tata ruang Kapet belum ada. Padahal, UU Penataan Ruang dan PP No 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) telah menetapkan Kapet sebagai kawasan strategis nasional dari sudut kepentingan ekonomi. Akhirnya, konsep pengembangan Kapet belum dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitarnya dan belum mampu mengatasi ketimpangan wilayah.

Segera atasi

Oleh karena itu, pemerintah mesti segera mengatasi pelbagai masalah tersebut sehingga tujuan awal terbentuknya Kapet bisa segera tercapai. Langkah pertama yang harus diambil adalah memaksimalkan dana pembangunan untuk membangun infrastruktur fisik yang diperlukan di wilayah Kapet.

Pembentukan Project Management Unit yang berisi program pengembangan infrastruktur Kapet di tingkat pusat dan daerah yang sudah dicanangkan pemerintah patut diapresiasi. Sebab, dengan begitu akan ada jaminan terciptanya keterpaduan dalam penyusunan, pelaksanaan, dan evaluasi pelaksanaan pengembangan infrastruktur bidang pekerjaan umum di Kapet.

Konsistensi dalam menyusun usulan dukungan infrastruktur, yang mengacu pada rencana tata ruang, baik itu RTR-WN, Rencana Tata Ruang Kapet, RTRW Provinsi, RTRW Kabupaten/Kota, dokumen sinkronisasi program, maupun memorandum program infrastruktur, sangatlah diperlukan.

Kedua, mengatur regulasi perpajakan dalam pengelolaan Kapet sehingga pelaksanaan Kapet dapat optimal memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi kawasan. Untuk itu, mesti ada pengurangan pajak penghasilan sebesar 30 persen selama enam tahun dan 5 persen per tahun di Kapet. 

Selain itu, perlu ada pilihan percepatan penyusutan pajak (amortisasi). Kompensasi kerugian fiskal paling lama 10 tahun patut diwujudkan. Pengenaan pajak dividen 10 persen, atau lebih rendah, dan juga pelayanan terpadu satu pintu di seluruh Kapet adalah sebuah keniscayaan.

Ketiga, mengintegrasikan Kapet ke dalam Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
berdasarkan fokus sektor usaha. Integrasi akan membuat pembangunan kawasan industri menjadi lebih baik sehingga Kapet dan KEK bisa bersinergi dengan landasan hukum yang lebih jelas. Impaknya, insentif baik fiskal maupun nonfiskal pun akan mudah diberikan pada setiap kawasan di bawah koridor ekonomi khusus.

Keempat, membentuk strategi baru yang berbasis local economic development, dengan bersandar pada sektor unggulan pertanian, kelautan, perikanan, pariwisata, dan beberapa sektor unggulan lainnya sesuai potensi dan karakteristik daerah di masing-masing Kapet. 


Kelima, merevitalisasi kelembagaan Kapet di daerah seraya senantiasa berkoordinasi dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, termasuk memaksimalkan potensi memperluas peran pemerintah daerah dalam mengembangkan kawasan agar dapat lebih berdaya saing. Dengan begitu, ketimpangan wilayah di republik ini bisa segera teratasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar