MEDIA
INDONESIA, 01 Agustus 2013
|
SEJAK
2010, hampir semua mata uang Asia menguat akibat mengalirnya modal yang sangat
besar dari negara-negara Eropa dan Amerika. Aliran modal itu disebabkan oleh
hilangnya kepercayaan pasar terhadap Eropa dan Amerika akibat krisis keuangan
yang melanda kedua kawasan tersebut. Uni Eropa gagal membuat kesepakatan untuk
membantu kedua negara yang paling berat dilanda krisis likuiditas ini.
Di Amerika Serikat, konsep
jaminan kesehatan yang ditawarkan Presiden Barack Obama sempat ditolak kongres.
Para pemodal berupaya menyelamatkan diri dari ancaman krisis dengan mengalihkan
modal mereka ke negara-negara yang masih bisa memberikan keuntungan positif.
Indonesia termasuk negara peringkat ketiga di Asia sebagai tujuan para investor
untuk diinvestasikan, selain Korea dan India. Dengan stabilitas ekonomi dan
kondisi sosial politik nasional, dan terutama masalah keamanan, investor
berbondong-bondong mengalihkan modal mereka ke Indonesia.
Rupiah cenderung menguat dan
stabil di kisaran 9.000 per dolar AS walaupun neraca perdagangan kita negatif.
Namun, arus capital inflow yang
sangat besar bisa menutupi defisit neraca perdagangan kita sehingga rupiah
masih bisa stabil. Bahkan Bank Indonesia (BI) sampai menurunkan suku bunga
hingga ke level 5,75% agar modal masuk ini bisa diserap oleh sektor riil.
Namun, dalam beberapa bulan terakhir,
nilai tukar rupiah sempat terdepresiasi bahkan mencapai 8,65%. Nilai itu
menjadi level terendah sejak September 2009. Pergerakan nilai tukar rupiah
mengikuti tren melemahnya nilai mata uang negara Asia lain. Kondisi itu
disebabkan oleh membaiknya perekonomian Amerika Serikat S dan Eropa. Bahkan
kondisi k tersebut diperkuat dengan pernyataan gubernur bank sentral Amerika
Serikat yang akan memperpanjang stimulus perekonomian negara tersebut hingga
akhir 2013. Tentu saja investor memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap
pengembalian investasi dari negara tersebut.
Investor kembali mengalihkan
modalnya ke negara-negara yang berasal dari kedua kawasan ini. BI mencatat pada
kuartal kedua 2013, arus modal keluar (capital
outflow) mencapai US$4,1 miliar (sekitar Rp40,1 triliun).
Rupiah berada di urutan kedua
dengan pelemahan sebesar 7,27% terhadap dolar AS dalam setahun terakhir. Yen
Jepang menjadi mata uang Asia yang mengalami pelemahan paling besar terhadap
dolar AS, yakni mencapai 19,62%. Pergerakan rupiah sedikit menunjukkan anomali
terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Seharusnya rupiah menguat seiring
dengan IHSG yang meningkat tajam.
Namun, yang terjadi tidak
demikian. Rupiah melemah sampai menembus lebih dari 10.000 per dolar AS, justru
di tengah IHSG yang menanjak naik ke level 5.214,97 poin.
Menjaga kestabilan
Mengapa kita perlu menjaga
stabilitas rupiah? Ada beberapa hal yang sangat membutuhkan stabilitas rupiah.
Pertama, stabilitas rupiah ini membuat adanya kepastian pembayaran utang luar negeri
dalam bentuk valuta asing (valas), baik oleh pemerintah maupun swasta. Kedua,
kepastian harga barang impor bahwa harga-harga barang tersebut benar-benar
tergantung stabilitas rupiah.
Kebutuhan barang impor di pasar domestik masih sangat tinggi. Hal itu
ditunjukkan dengan neraca perdagangan kita yang defisit. Ketiga, anggaran
pemerintah yang disusun berdasarkan asumsi harga kurs dengan besaran tertentu
juga harus mengalami penyesuaian, dan hal itu akan sangat mengganggu kinerja
pemerintahan.
Sebenarnya rupiah bisa dijaga
pada kisaran Rp7.800 Rp8.900 per dolar AS. Syaratnya, neraca perdagangan
Indonesia surplus di sektor migas. Syarat yang lain, kontrol BI berjalan
efektif. Salah satunya dengan menjaga ketersediaan dolar. BI harus
mengantisipasi perilaku pelaku pasar yang memiliki modal besar karena bisa
memengaruhi pasar uang. BI sudah melakukan langkah yang tepat dengan menaikkan
suku bunga dari 5,75% menjadi 6%.
Kenaikan suku bunga itu
diharapkan mampu mencegah arus modal keluar semakin besar. BI juga melakukan
langkah persuasif kepada perbankan yang menempatkan valasnya di luar negeri. BI
mengklaim bahwa perbankan sudah melepas valasnya di pasar domestik. Kita
berharap dampak kebijakan BI ini akan memperkuat rupiah relatif terhadap dolar
AS.
Salah satu alternatif lain untuk
menjaga stabilitas rupiah ialah dengan mengandalkan pertumbuhan sektor
properti. Setahun terakhir, pasar properti dalam negeri mengalami pertumbuhan
yang paling tinggi di dunia. Momentum itu bisa dimanfaatkan untuk membantu penguatan
rupiah.
Walaupun sampai saat ini
pemerintah tidak memperbolehkan orang asing untuk memiliki properti di
Indonesia, yang terjadi ialah justru harga properti banyak diminati orang
asing. Akibatnya, harga properti pun melonjak tinggi, bahkan mencapai lebih
dari Rp3 miliar.
Dampak lain
Sebenarnya melemahnya rupiah ini
tidak hanya memiliki dampak negatif. Dampak positif yang jarang sekali
dimanfaatkan pengusaha dan pemerintah Indonesia ialah relatif semakin murahnya
harga produk domestik Indonesia di pasar luar negeri. Dalam kondisi normal,
melemahnya rupiah akan membuat negara-negara asing lebih suka mengimpor produk
Indonesia karena harganya relatif lebih murah.
Namun, rendahnya kualitas
produksi dalam negeri membuat momentum ini hampir tidak pernah bisa kita
manfaatkan. Negara-negara yang ekspornya besar seperti Jepang bahkan sering
mendevaluasi nilai mata uang yen agar produk-produk negara tersebut memiliki
harga kompetitif di pasar internasional.
Pemerintah harus mendorong eksportir
kita mengambil momentum ini untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi domestik,
sekaligus menarik sejumlah valas dalam bentuk dolar masuk ke dalam negeri.
Secara otomatis, jika neraca perdagangan kita positif atau setidaknya membaik
ketimbang periodeperiode sebelumnya, akan menguatkan kembali nilai mata uang
rupiah.
Sebelum kita mampu menciptakan
produk ekspor yang unggul, maka melemahnya rupiah ini harus disikapi hatihati
agar tidak menciptakan krisis. Untuk itu, pemerintah harus mencermati
pergerakan rupiah dengan melakukan langkah-langkah yang efektif dan efisien.
Dengan langkah yang cermat, pertumbuhan ekonomi Indonesia
bisa tetap tumbuh dengan baik. Importir pun bisa hidup tenang sesuai dengan
patokan pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan, yakni sebesar 6,5% hingga
akhir 2013. Dengan kondisi seperti itu, memasuki 2014 pun bisa dihadapi penuh
percaya diri. Sambil berharap 2014 dapat berjalan mulus dan memunculkan
kepemimpinan yang lebih baik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar