Jumat, 02 Agustus 2013

Anomali Pertumbuhan Ekonomi dan Depresiasi Rupiah

Anomali Pertumbuhan Ekonomi dan Depresiasi Rupiah
Holden Makmur  ;   Pengamat Ekonomi dan Sosial
          MEDIA INDONESIA, 01 Agustus 2013


SEJAK 2010, hampir semua mata uang Asia menguat akibat mengalirnya modal yang sangat besar dari negara-negara Eropa dan Amerika. Aliran modal itu disebabkan oleh hilangnya kepercayaan pasar terhadap Eropa dan Amerika akibat krisis keuangan yang melanda kedua kawasan tersebut. Uni Eropa gagal membuat kesepakatan untuk membantu kedua negara yang paling berat dilanda krisis likuiditas ini.

Di Amerika Serikat, konsep jaminan kesehatan yang ditawarkan Presiden Barack Obama sempat ditolak kongres. Para pemodal berupaya menyelamatkan diri dari ancaman krisis dengan mengalihkan modal mereka ke negara-negara yang masih bisa memberikan keuntungan positif. Indonesia termasuk negara peringkat ketiga di Asia sebagai tujuan para investor untuk diinvestasikan, selain Korea dan India. Dengan stabilitas ekonomi dan kondisi sosial politik nasional, dan terutama masalah keamanan, investor berbondong-bondong mengalihkan modal mereka ke Indonesia.

Rupiah cenderung menguat dan stabil di kisaran 9.000 per dolar AS walaupun neraca perdagangan kita negatif. Namun, arus capital inflow yang sangat besar bisa menutupi defisit neraca perdagangan kita sehingga rupiah masih bisa stabil. Bahkan Bank Indonesia (BI) sampai menurunkan suku bunga hingga ke level 5,75% agar modal masuk ini bisa diserap oleh sektor riil.

Namun, dalam beberapa bulan terakhir, nilai tukar rupiah sempat terdepresiasi bahkan mencapai 8,65%. Nilai itu menjadi level terendah sejak September 2009. Pergerakan nilai tukar rupiah mengikuti tren melemahnya nilai mata uang negara Asia lain. Kondisi itu disebabkan oleh membaiknya perekonomian Amerika Serikat S dan Eropa. Bahkan kondisi k tersebut diperkuat dengan pernyataan gubernur bank sentral Amerika Serikat yang akan memperpanjang stimulus perekonomian negara tersebut hingga akhir 2013. Tentu saja investor memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap pengembalian investasi dari negara tersebut.

Investor kembali mengalihkan modalnya ke negara-negara yang berasal dari kedua kawasan ini. BI mencatat pada kuartal kedua 2013, arus modal keluar (capital outflow) mencapai US$4,1 miliar (sekitar Rp40,1 triliun).

Rupiah berada di urutan kedua dengan pelemahan sebesar 7,27% terhadap dolar AS dalam setahun terakhir. Yen Jepang menjadi mata uang Asia yang mengalami pelemahan paling besar terhadap dolar AS, yakni mencapai 19,62%. Pergerakan rupiah sedikit menunjukkan anomali terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Seharusnya rupiah menguat seiring dengan IHSG yang meningkat tajam.
Namun, yang terjadi tidak demikian. Rupiah melemah sampai menembus lebih dari 10.000 per dolar AS, justru di tengah IHSG yang menanjak naik ke level 5.214,97 poin.

Menjaga kestabilan

Mengapa kita perlu menjaga stabilitas rupiah? Ada beberapa hal yang sangat membutuhkan stabilitas rupiah. Pertama, stabilitas rupiah ini membuat adanya kepastian pembayaran utang luar negeri dalam bentuk valuta asing (valas), baik oleh pemerintah maupun swasta. Kedua, kepastian harga barang impor bahwa harga-harga barang tersebut benar-benar tergantung stabilitas rupiah.
Kebutuhan barang impor di pasar domestik masih sangat tinggi. Hal itu ditunjukkan dengan neraca perdagangan kita yang defisit. Ketiga, anggaran pemerintah yang disusun berdasarkan asumsi harga kurs dengan besaran tertentu juga harus mengalami penyesuaian, dan hal itu akan sangat mengganggu kinerja pemerintahan.

Sebenarnya rupiah bisa dijaga pada kisaran Rp7.800­ Rp8.900 per dolar AS. Syaratnya, neraca perdagangan Indonesia surplus di sektor migas. Syarat yang lain, kontrol BI berjalan efektif. Salah satunya dengan menjaga ketersediaan dolar. BI harus mengantisipasi perilaku pelaku pasar yang memiliki modal besar karena bisa memengaruhi pasar uang. BI sudah melakukan langkah yang tepat dengan menaikkan suku bunga dari 5,75% menjadi 6%.

Kenaikan suku bunga itu diharapkan mampu mencegah arus modal keluar semakin besar. BI juga melakukan langkah persuasif kepada perbankan yang menempatkan valasnya di luar negeri. BI mengklaim bahwa perbankan sudah melepas valasnya di pasar domestik. Kita berharap dampak kebijakan BI ini akan memperkuat rupiah relatif terhadap dolar AS.

Salah satu alternatif lain untuk menjaga stabilitas rupiah ialah dengan mengandalkan pertumbuhan sektor properti. Setahun terakhir, pasar properti dalam negeri mengalami pertumbuhan yang paling tinggi di dunia. Momentum itu bisa dimanfaatkan untuk membantu penguatan rupiah.

Walaupun sampai saat ini pemerintah tidak memperbolehkan orang asing untuk memiliki properti di Indonesia, yang terjadi ialah justru harga properti banyak diminati orang asing. Akibatnya, harga properti pun melonjak tinggi, bahkan mencapai lebih dari Rp3 miliar.

Dampak lain

Sebenarnya melemahnya rupiah ini tidak hanya memiliki dampak negatif. Dampak positif yang jarang sekali dimanfaatkan pengusaha dan pemerintah Indonesia ialah relatif semakin murahnya harga produk domestik Indonesia di pasar luar negeri. Dalam kondisi normal, melemahnya rupiah akan membuat negara-negara asing lebih suka mengimpor produk Indonesia karena harganya relatif lebih murah.

Namun, rendahnya kualitas produksi dalam negeri membuat momentum ini hampir tidak pernah bisa kita manfaatkan. Negara-negara yang ekspornya besar seperti Jepang bahkan sering mendevaluasi nilai mata uang yen agar produk-produk negara tersebut memiliki harga kompetitif di pasar internasional. 

Pemerintah harus mendorong eksportir kita mengambil momentum ini untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi domestik, sekaligus menarik sejumlah valas dalam bentuk dolar masuk ke dalam negeri. Secara otomatis, jika neraca perdagangan kita positif atau setidaknya membaik ketimbang periodeperiode sebelumnya, akan menguatkan kembali nilai mata uang rupiah.

Sebelum kita mampu menciptakan produk ekspor yang unggul, maka melemahnya rupiah ini harus disikapi hatihati agar tidak menciptakan krisis. Untuk itu, pemerintah harus mencermati pergerakan rupiah dengan melakukan langkah-langkah yang efektif dan efisien.


Dengan langkah yang cermat, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa tetap tumbuh dengan baik. Importir pun bisa hidup tenang sesuai dengan patokan pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan, yakni sebesar 6,5% hingga akhir 2013. Dengan kondisi seperti itu, memasuki 2014 pun bisa dihadapi penuh percaya diri. Sambil berharap 2014 dapat berjalan mulus dan memunculkan kepemimpinan yang lebih baik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar