Selasa, 20 Agustus 2013

Dualitas Konvensi Demokrat

Dualitas Konvensi Demokrat
Agus Sudibyo ;   Direktur Indonesia Research Centre
JAWA POS, 20 Agustus 2013



PARTAI Demokrat hendak menyelenggarakan "pemilu pendahuluan" sebelum masyarakat Indonesia benar-benar menghadapi pemilu nasional tahun depan. Partai ini secara resmi akan menjaring calon presiden melalui mekanisme konvensi yang terbuka untuk tokoh-tokoh eksternal. Proses penjaringan dijanjikan dilakukan secara transparan oleh komite seleksi yang melibatkan unsur independen. 

Hasil konvensi juga akan diverifikasi dengan suara masyarakat yang dijaring melalui survei opini publik oleh lembaga survei profesional. Konvensi tersebut tentu dimaksudkan untuk mendapatkan calon presiden terbaik. Namun, kemudian muncul anggapan bahwa konvensi juga menjadi ajang bagi Demokrat untuk mengerek citra dan preferensi publik. Hal ini terutama dikaitkan dengan posisi Demokrat yang terlilit beberapa dugaan korupsi dan perpecahan internal belakangan ini. 

Singkat kata, konvensi Demokrat disinyalir sebagai strategi untuk menaikkan elektabilitas partai berlambang mercy tersebut. Yang mengagetkan, langkah awal ini pun mendapat ujian ketika dikait-kaitkan dengan penangkapan Rudi Rubiandini dalam kasus suap. Ini dikait-kaitkan dengan upaya memperoleh dana untuk hajatan konvensi. Tentu, perkembangan tentang benar tidaknya kabar-kabar ini harus ditunggu.

Wacana tentang konvensi Demokrat sejauh ini baru berkembang sebatas wacana media. Di luar konteks pemberitaan media, konvensi tersebut belum menjadi isu yang membumi di masyarakat. Maka, yang pertama relevan untuk dilihat adalah gambaran atau citra (media frame) yang muncul tentang konvensi tersebut di dalam pemberitaan media. Di satu sisi, harus diakui pemberitaan intensif tentang konvensi Demokrat selama beberapa bulan terakhir menghasilkan citra yang positif: partai politik yang inklusif, inovatif, dan mampu keluar dari model politik dinasti.

Inklusif berarti Demokrat sebagai kekuatan politik utama ternyata membuka diri terhadap pencapresan tokoh-tokoh eksternal dan tidak bersikukuh memajukan kader sendiri. Inovatif berarti meskipun konvensi sudah pernah dilaksanakan partai lain, konvensi Demokrat menunjukkan hal-hal baru: mengundang tokoh eksternal, melibatkan lembaga survei profesional dan panel ahli yang independen. Gagasan ini cukup digarisbawahi media dan para pengamat serta dianggap sebagai sesuatu yang menyegarkan konstelasi politik nasional, terutama ketika publik sebenarnya sudah jenuh dengan mekanisme dan tokoh yang itu-itu juga dalam konteks pencalonan presiden. 

Keluar dari Citra Dinasti 

Konvensi Demokrat juga menghasilkan gambaran atau citra tentang partai modern yang berusaha keluar dari jerat politik dinasti. Citra partai politik yang menyandarkan diri pada model politik dinasti melekat kepada mayoritas partai politik di Indonesia. Demokrat juga terlihat kesulitan melepaskan diri dari determinasi garis keturunan atau sanak-saudara keluarga besar Cikeas. Mereka menduduki posisi strategis di dalam kepengurusan partai atau diwacanakan menjadi kandidat presiden pilihan partai. Dalam konteks ini, pemberitaan tentang ajakan Demokrat kepada tokoh-tokoh nonpartai untuk mengikuti konvensi telah meninggalkan kesan positif bahwa partai ini serius berusaha meninggalkan model dinasti politik untuk kemudian bertransformasi menjadi partai yang inklusif dan egaliter. 

Namun, pada sisi lain, pemberitaan tentang konvensi Demokrat juga menghasilkan citra negatif. Demokrat terlihat sebagai partai yang mengalami krisis kader sehingga harus mengundang pihak-pihak eksternal untuk mengikuti kontes memperebutkan kursi capres. Citra ini bukan hanya muncul dari komentar narasumber media yang kritis terhadap konvensi, tetapi juga dari para fungsionaris Demokrat sendiri yang, entah serius atau bercanda, terus-menerus "mengobral" undangan kepada tokoh-tokoh eksternal untuk mengikuti konvensi: Gita Wiryawan, Joko Widodo, Dahlan Iskan, Mahfud M.D., Rhoma Irama, hingga Eyang Subur. Tanpa manajemen komunikasi publik yang tertata, obral undangan ini justru menimbulkan kesan Partai Demokrat sedang krisis kader atau tidak yakin dengan kemampuan kader sendiri.

Tren pemberitaan negatif tidak terhindarkan karena di antara fungsionaris Demokrat juga bersilang pendapat di hadapan pers. Dengan kata lain, dari sisi pemberitaan media, konvensi Demokrat seperti pedang bermata dua, dapat menghasilkan citra yang positif maupun negatif.

Selain itu, tidak mudah memastikan dampak konvensi terhadap elektabilitas Demokrat. Kita harus membayangkan persepsi seluruh warga Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang tinggal di perkotaan maupun pedesaan. Persoalannya, wacana konvensi Demokrat sejauh ini baru menjadi perhatian kalangan urban atau kelas menengah melalui media massa dan sosial media. 

Korelasi antara konvensi dan elektabilitas Demokrat mungkin baru terjadi jika konvensi mampu menjaring calon presiden yang benar-benar populer dan diminati masyarakat serta mendapatkan dukungan Ketua Umum Susilo Bambang Yudhoyono. Popularitas-elektabilitas capres ini lebih berpotensi mengerek elektabilitas Demokrat daripada jalannya konvensi itu sendiri. Yang perlu menghadang Demokrat di sini adalah keterbatasan stok capres dengan popularitas-elektabilitas tinggi yang belum terikat dengan partai politik lain. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar