Selasa, 20 Agustus 2013

Mencetak Manusia Kompetitif

Mencetak Manusia Kompetitif
Rhenald Kasali ;   Ketua Program MM UI
JAWA POS, 20 Agustus 2013


Sekitar enam tahun lalu (2007) saya menulis di sebuah surat kabar dengan judul yang dianggap pembaca amat menohok. Judulnya: Sakit untuk Berubah. Di situ saya mengatakan, ''Sebelum sakit seseorang melebihi rasa takutnya, maka manusia belum mau berubah.” Di luar dugaan saya, beberapa pembaca menggunjingkannya. Belakangan, saya ketahui orang-orang yang menulis itu secara fisik memang sedang sakit berat, dan beberapa waktu kemudian satu di antaranya pergi mendahului kita. Tetapi, saya ingat wejangannya, yang meski saya kurang setuju, tetapi menjadi bahan pemikiran saya. 

Pembaca itu menyatakan, ''Membuat seseorang menjadi sakit untuk berubah adalah ajaran tak bermoral''. Saya benar-benar terkejut saat membacanya. Rupanya, dia menunjukkan perspektif yang tidak saya lihat. Saya berbicara tentang A, tetapi dia menjawab tentang B. Tentu saja tidak nyambung. Tetapi, bagi saya, ini tetap perspektif. Dan melihat perspektif yang berbeda merupakan sebuah wawasan juga, awal dari kebijaksanaan. Jadi, saya anggap kritik itu tempaan bagi kebijaksanaan saja.

Tetapi, ketika membaca kembali studi yang dilakukan Norman Triplett (1898), tiba-tiba saya memikirkannya kembali. Sebab, Triplett-lah orang pertama yang mengeluarkan ide untuk ''mengompetisikan'' manusia demi mendapat kinerja yang lebih baik. 

Hukum 50:25:25 

Jawaban kritik pembaca itu saya temukan dari studi Triplett. Dia adalah penulis pertama yang mengukur dampak kompetisi yang selama ini hanya diwacanakan baik oleh Adam Smith, Sun Tzu, Machiavelli, maupun Thomas Hobbes (Bronson & Merrymen, 2013). 

Triplett mempunyai pandangan bahwa kehadiran orang lain yang melakukan tugas yang sama dengan yang kita lakukan akan membuat kita bekerja lebih keras. Barangkali gambarannya sama seperti saat Anda mengunjungi calon pacar, namun pada malam yang sama ternyata Anda menemukan orang lain yang punya misi yang sama. Kalau teori itu benar, seharusnya Anda menjadi lebih tertantang. 

Triplett lalu melakukan serangkaian ujian. Hasilnya, ternyata tidak 100 persen benar. Dia justru menemukan formasi 50:25:25 yang artinya, 50 persen orang yang bersaing ternyata memang tambah semangat. Artinya, hanya separo pegawai kita yang diuntungkan oleh mesin persaingan. Sebanyak 25 persen lainnya hanya tidak ngaruh. Artinya, pesertanya tidak menjadi lebih baik, mereka bekerja seperti biasa. Sedangkan 25 persen selebihnya justru semakin memble.

Hasil penelitian Triplett kemudian banyak direplikasi dan diuji ahli-ahli manajemen lainnya. Hasilnya, ternyata pola itu ada benarnya. Mayoritas orang yang dikondisikan dalam suasana yang kompetitif terbukti makin produktif, makin bersemangat, sehingga kinerjanya membaik. Sedangkan seperempatnya tidak berpengaruh dan 25 persen sisanya justru berpengaruh negatif, makin sakit dan hidup dalam keterpurukan.

Keluhan pembaca tersebut akhirnya dapat saya maklumi. Sebab, mungkin dia masuk dalam kategori 25 persen yang terakhir tadi, yang berpengaruh negatif, sehingga seperti yang dia tulis, ''buruh, pegawai, manajer tingkat menengah, setiap hari deg-degan, tekanan darah tidak bisa turun. Tidur tengah malam terbangun, kaget-kaget karena target belum terpenuhi''.

Dan tentu saja kita perlu kebijaksanaan, bagaimana menempatkan orang-orang yang demikian dalam konteks persaingan. Sebab, usaha yang baik bukanlah sebuah pemerasan. Ini adalah manajemen, yaitu sebuah pergulatan yang membuat kehidupan menjadi lebih tertantang dan lebih indah. Namun, dalam abad persaingan ini, Anda yang mudah kalah juga harus mafhum, kinerja perusahaan dan negara juga diukur. Jadi, carilah kerja yang medannya sesuai dengan panggilan jiwa.

Jadi, apa kesimpulannya? 

Sederhana saja, persaingan itu perlu dikelola. Bersaing melawan satu orang itu lebih baik ketimbang tidak ada persaingan sama sekali. Tetapi, mengompetisikan orang dalam jumlah massa yang besar juga bukan strategi yang bijak. Dan di antara mereka yang dikondisikan bekerja dalam kompetisi, ada 25 persen yang imune (kebal) dan 25 persen yang justru akan terpuruk. 

Itulah tantangan Anda mengelola SDM dalam abad persaingan. Jadi, jangan asal memasang alat ukur. Kenali betul kondisi kerja anak buah Anda. Selamat menghadapi abad yang penuh kompetisi. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar