|
Rencana penggabungan usaha antara PT XL Axiata Tbk (XL) dan
PT Axis Telecom Indonesia (Axis) telah menimbulkan pro dan kontra. Bagi pihak
pro, aksi korporasi kedua operator tersebut bisa meningkatkan kualitas layanan
dan kinerja operator telekomunikasi, serta menguntungkan konsumen. Sebab, hal
itu tidak hanya memicu peningkatan efisiensi infrastruktur dan penurunan
belanja modal maupun biaya operasional operator secara signifikan, tapi juga
membuat konsumen bisa menikmati kualitas layanan dengan kapasitas jaringan yang
semakin membaik.
Sedangkan pihak kontra beranggapan penggabungan usaha
antara XL dan Axis berpotensi mendistorsi pasar telekomunikasi. Sebab, hasil
penggabungan akan membuat pangsa pasar dan penguasaan alokasi frekuensi kedua
operator itu, yang notabene merupakan operator telekomunikasi dengan
kepemilikan saham didominasi asing, semakin besar yang berakibat menciptakan
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dalam industri telekomunikasi.
Secara umum, penggabungan usaha dibagi menjadi tiga macam,
yakni penggabungan (merger),
peleburan (konsolidasi), dan pengambilalihan (akuisisi), sebagaimana diatur
dalam Pasal 102 dan 103 UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Terlepas jenis penggabungan usaha mana yang akan dipilih, yang pasti total
pangsa pasar dari penggabungan usaha yang dilakukan XL dengan Axis masih di
bawah 50 persen.
Sebab, pangsa pasar industri seluler-yang lazimnya diukur
berdasarkan Herfindahl-Hirschman Index (HHI)-saat ini masih dikuasai oleh Telkomsel
dengan jumlah pelanggan sebesar 125 juta. Posisi kedua diduduki Indosat dengan
pelanggan yang berjumlah 55,9 juta, sementara basis pelanggan XL dan Axis
masing-masing berjumlah 49,1 juta dan 17 juta. Artinya, penggabungan usaha yang
dilakukan XL dan Axis tersebut tidak menimbulkan monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat.
Namun proses penggabungan usaha kedua operator tersebut
harus tetap dicermati oleh stakeholders,
khususnya kementerian atau lembaga yang berwenang. Sebab, bergabungnya
perusahaan, baik melalui penggabungan, peleburan, maupun pengambilalihan,
berdampak mengubah konsentrasi pasar (market
concentration) dan kekuatan pasar (market
power) suatu perusahaan, dari yang semula tidak dominan menjadi perusahaan
dominan.
Melalui posisi dominannya, perusahaan bisa melakukan
penyalahgunaan (distorsi) pasar, baik secara unilateral (unilateral conduct) maupun secara terkoordinasi (coordinated conduct), misalnya dengan
menetapkan harga yang tinggi atau menciptakan entry barrier. Singkatnya, kajian
terhadap proses penggabungan usaha mutlak dilakukan untuk mencegah terjadinya
praktek penyalahgunaan posisi dominan yang dilarang oleh hukum, sebagaimana
diatur dalam Pasal 28 dan 29 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Karena itu, keterlibatan Komisi Pengawas Persaingan Usaha,
Badan Koordinasi Penanaman Modal, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan, serta Bursa Efek Indonesia diperlukan untuk mengawasi dan mencegah
terjadinya distorsi pasar dalam bentuk apa pun, termasuk Kementerian Komunikasi
dan Informatika (Kemenkominfo) serta Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia
(BRTI), yang merupakan pembina dan regulator industri telekomunikasi.
Keterlibatan Kemenkominfo dan BRTI seyogianya terfokus pada
aspek teknis, terutama masalah penomoran, kode akses, dan alokasi spektrum
frekuensi pasca-penggabungan XL dan Axis. Sebab, ketiga hal tersebut, khususnya
spektrum frekuensi yang dianggap sumber daya alam terbatas dan dikuasai negara,
serta harus digunakan secara adil, rasional, dan efisien-sebagaimana diatur
dalam UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan Konvensi International
Telecommunication Union (ITU)-merupakan masalah yang krusial.
Dikatakan krusial karena hasil penggabungan usaha akan
membuat XL menguasai rentang frekuensi yang lebih luas dari operator seluler
penguasa pasar. Data menunjukkan, saat ini XL menguasai frekuensi seluler di
rentang spektrum 900 MHz, 2.100 MHz, dan 1.800 MHz, baik untuk 2G maupun 3G,
sementara Axis memiliki dua kanal frekuensi di rentang spektrum 900 MHz dan
1.800 MHz. Akibatnya, setelah penggabungan, emiten berkode EXCL bisa menguasai
lima blok 3G dari semula tiga blok, sementara di rentang 1.800 MHz dan 2.100
MHz XL seluas 22,5 MHz dari semula hanya 7,5 MHz.
Kondisi tersebut tidak hanya "mengancam"
keberadaan Telkomsel, tapi juga Indosat sebagai penguasa pasar seluler
peringkat kedua saat ini. Pasalnya, penguasaan rentang frekuensi
pasca-penggabungan menunjang ekspansi layanan data XL dan mengurangi belanja modal
untuk pembangunan BTS. Sebab, secara teknis operasional operator yang memiliki
rentang frekuensi lebih luas hanya menggunakan BTS lebih sedikit.
Hal itu mungkin yang membuat beberapa kalangan meminta agar
alokasi frekuensi operator yang diakuisisi XL dikembalikan ke regulator
(Kemenkominfo) dengan alasan bertentangan dengan Pasal 25 ayat (1) PP Nomor 53
Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit, yang
menyatakan pemegang alokasi frekuensi radio tidak dapat mengalihkan alokasi
frekuensi radio yang telah diperolehnya kepada pihak lain.
Namun ketentuan pasal tersebut tidak bersifat langsung
mengikat, dalam arti tanpa pengecualian. Sebab, pada ayat (2) dalam pasal yang
sama dinyatakan izin stasiun radio tidak dapat dialihkan kepada pihak lain
kecuali ada persetujuan dari.... Artinya, alokasi frekuensi hasil penggabungan
usaha bisa dialihkan kepada operator yang mengambil alih jika disetujui
menteri, dalam hal ini Menteri Komunikasi dan Informatika, yang merupakan
regulator dan pembina industri telekomunikasi.
Selain itu, rencana penggabungan usaha antara XL dan Axis
bukan yang pertama kali, melainkan sudah pernah terjadi beberapa kali dan tidak
satu pun operator yang mengembalikan atau ditarik frekuensinya. Ambil contoh,
konsolidasi Telkom Mobile dengan
Telkomsel, pengambilalihan Satelindo oleh Indosat, konsolidasi Bakrie Telecom dengan Sampoerna Telecom
Indonesia, saling-silang antara Smartfren
dan Smart Telecom, dan terakhir
masuknya 80 persen saham CT Corp ke Telkom Vision yang menguasai frekuensi
200 MHz di rentang spektrum 3,5 GHz untuk penyelenggaraan layanan televisi
berlangganan yang berbasis satelit.
Dalam konteks demikian, rencana penggabungan usaha antara
XL dan Axis seyogianya didukung dengan pemberian insentif. Insentif yang
dimaksudkan dapat berupa pengalihan blok nomor dan kode akses, termasuk
spektrum frekuensi milik Axis kepada XL. Kalaupun nantinya sebagian atau
seluruh frekuensinya harus ditarik, penarikan tersebut hendaknya berdasarkan
pertimbangan mencegah terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat. Sebab, aksi korporasi yang dilakukan XL tersebut sejatinya berdampak
memicu peningkatan kinerja dan kesehatan industri telekomunikasi secara
nasional. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar