|
Siapa pun presiden yang akan
terpilih dalam pemilihan umum (Pemilu) mendatang, jangan lupa, di
antara tugas yang paling krusial adalah membenahi birokrasi.
Adagium negarawan Inggris,
Lord Acton, bahwa power tends to corrupt
terasa begitu pas di negeri ini, karena setiap kekuasaan membutuhkan birokrasi,
dan setiap birokrasi menjadi lahan subur korupsi. Setiap kementerian, atau
pemegang portofolio di bidang perizinan dan legalitas usaha tertentu
(bisnis), bisa dipastikan menjadi mafia atau sarang korupsi.
Inilah salah satu persoalan
besar yang dihadapi Indonesia, korupsi dalam birokrasi. Meskipun secara generik
keduanya memiliki perbedaan signifikan, dalam praktik, kita sulit memisahkan
antara keduanya.
Seperti sudah saling
membutuhkan, di mana ada birokrasi, di situ ada korupsi. Jangan heran
jika para akademikus yang terkenal punya integritas pun bisa menjadi
koruptor saat memasuki birokrasi.
Adagium “kalau bisa
dipersulit mengapa harus dipermudah” sudah mendarah daging dalam sistem
birokrasi kita. Untuk mempermudah yang dipersulit itulah yang menyebabkan
maraknya suap (korupsi). Berapa besar suap yang harus disetorkan tergantung
seberapa besar keuntungan yang akan diperoleh dari bisnis yang membutuhkan
legalitas dari birokrasi.
Belajar dari Uni Soviet
Kata orang bijak, pengalaman adalah guru terbaik. Menurut sejarah, birokrasi pemerintahan paling korup antara lain pernah dialami pemerintahan Rusia saat masih bernama Uni Soviet. Dikarenakan pengaruh ideologi Partai Komunis Uni Soviet (PKUS), birokrasi Uni Soviet saat itu terkenal sangat korup, tertutup, dan resisten terhadap upaya-upaya pembaruan.
Setidaknya ada empat macam korupsi yang menggerogoti birokrasi Uni Soviet. Pertama, korupsi jalan pintas yang ditandai dengan penggelapan uang negara serta berkeliarannya money politics dalam proses penetapan undang-undang.
Kedua, korupsi-upeti yang dilakukan karena jabatan strategis dalam bentuk penggelembungan proyek, sogokan dalam proses seleksi karyawan, dan penentuan jabatan. Ketiga, korupsi-kontrak untuk mendapatkan proyek, fasilitas, atau pasar. Keempat, korupsi-pemerasan untuk mendapatkan jaminan keamanan, perlindungan dari kemungkinan gejolak internal, maupun karena faktor luar.
Di tengah suasana demikian, muncul pemimpin bernama Mikhail Gorbachev yang sejak usia sangat belia sudah memimpin Liga Pemuda Komunis (Komsomol). Saat duduk sebagai anggota politbiro PKUS termuda (usia 49 tahun), Oktober 1980, Gorbachev sudah memahami betul problem yang dihadapi Uni Soviet.
Maka saat dipercaya sebagai presiden, ia berusaha “membuka” (glasnost) ketertutupan birokrasi Uni Soviet. Kemudian melakukan perombakan struktur birokrasi kekuasaannya dari tingkat yang paling rendah untuk ia bangun kembali (perestroika).
Keberhasilan Gorbachev, terutama disebabkan karena pemahaman dan pengalamannya sebagai orang dalam PKUS yang ia jalani sejak usia belia.
Capres Peduli?
Mungkin Indonesia saat ini tak separah Uni Soviet pada awal tahun 1980-an. Namun, jika kita cermati, Indonesia memiliki karakteristik yang mirip dengan Uni Soviet, birokrasinya (banyak) yang sangat tertutup dan resisten terhadap pembaruan.
Dari lahan parkir hingga proyek berskala besar, semuanya sudah dikuasai mafia. Setiap upaya pembukaan lahan baru untuk kepentingan pembangunan kota, hampir selalu berhadapan dengan resistensi warga yang juga diorganisasikan oleh kekuatan-kekuatan mafia. Empat macam korupsi birokrasi yang pernah menggerogoti Uni Soviet juga berkembang di Indonesia.
Sangat disayangkan, dari sejumlah calon presiden (capres) yang sudah bermunculan, belum ada yang memiliki perhatian khusus pada persoalan-persoalan krusial yang dihadapi birokrasi. Soal pemberantasan korupsi memang sudah ada yang mengangkatnya, tapi masih dalam skala global. Lebih mirip wacana ketimbang sebagai upaya serius untuk memberantas korupsi.
Bahkan, dalam jajak pendapat capres pun belum ada yang secara jelas menempatkan pembenahan birokrasi sebagai isu, sehingga menjadi salah satu pertimbangan bagi rakyat untuk memilih atau tidak memilih capres. Bisa jadi, karena pembenahan birokrasi bukan isu kampanye yang seksi.
Padahal, dalam sebuah pemerintahan, birokrasi ibarat jantung yang memacu setiap gerakan yang ada dalam pemerintahan itu. Kalau birokrasinya rusak maka akan rusak pula seluruh aspek pemerintahan.
Di samping korupsi,
inefisiensi birokrasi juga mengakibatkan kerugian sangat besar. Dampaknya bisa
langsung dirasakan rakyat sebagai konsumen dari barang dan jasa yang–sebelum
jatuh ke tangan konsumen—harusmelalui proses legalisasi yang melibatkan
birokrasi.
Birokrasi, menurut Warren Bennis (1966, 1967) memiliki prinsip evolusi. Setiap zaman, birokrasi menuntut upaya pembenahan agar senantiasa kondusif bagi zamannya. Di sinilah pentingnya pemahaman dan pengalaman. Pemahaman saja tidak cukup tanpa pengalaman. Pengalamanlah yang membuat seseorang mengetahui aspek apa saja yang dibutuhkan dalam pembenahan birokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar