Rabu, 21 Agustus 2013

Aksi Teror dan Kegawatan Polri

Aksi Teror dan Kegawatan Polri
M Issamudin ;   Peminat Masalah Hukum, Tinggal di Semarang
SUARA MERDEKA, 20 Agustus 2013


TEROR dalam bentuk penembakan terhadap anggota Polri kembali terjadi. Pada Jumat (16/8/13), dua polisi di Tangerang tewas ditembak dua pria yang mengendarai motor. Kejadian itu mengingatkan dua kasus teror di lingkungan Polda Metro Jaya beberapa hari sebelumnya. Termasuk teror serupa terhadap personel Polri setelah Lebaran 2012 di Solo. Apa pun alasannya, teror itu menjadi ancaman serius terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) masyarakat.

Polri harus cepat menangkap pelaku dan mengungkap latar aksi tersebut. Bila tidak, dikhawatirkan teror terus terjadi dan akan menurunkan tingkat kepercayaan kepada Polri terkait keterjaminan keamanan dan ketentraman.

Sebagian masyarakat malah melihat ada semacam kegawatan setelah ada petinggi Polri meminta anggota tak menggunakan atribut atau uniform yang mencolok saat berangkat atau pulang bertugas. 

Keberuntunan teror dan permintaan demikian itu justru seakan-akan makin menjelaskan Polri tengah menghadapi kondisi darurat. Terkait dengan teror, Polri harus membuktikan bisa mengungkap tuntas. Kita tidak bisa membayangkan bila teror itu tereskalasi dan menyasar masyarakat.

Publik tentu berharap Polri bisa melindungi dan memberi rasa aman kepada personel di lapangan, dan itu akan bermuara kepada masyarakat. Karena itu semua lini Polri harus fokus menangani kejadian tersebut. Perlindungan terhadap anggota Polri dari segala bentuk ancaman dan gangguan yang dapat membahayakannya harus mendapat perhatian lebih besar. Teror kali ini juga menegaskan betapa besar dan berat risiko anggota Polri dalam bertugas di lapangan. Belum lagi dengan anggota yang terkena lemparan botol air minum dalam kemasan, batu, kayu, kursi, dan bom molotov.

Tidak berbeda dari anggota yang bertugas di jalan raya, yang banyak yang menjadi korban hingga meninggal. Juga tidak sedikit personel Polri yang menjadi korban tertimpa pohon tumbang, dan terkena infeksi saluran pernapasan akut. Ironisnya, tidak sedikit dari mereka yang sakit, luka ringan atau berat, harus menanggung risiko sendiri kendati sudah ada asuransi. Namun tetap saja mereka harus mengeluarkan uang dari kantong sendiri untuk biaya makan dan ongkos transpor bagi anggota keluarga yang menjaga polisi yang masih dirawat di rumah sakit atau membiayai sendiri ongkos jalan pengobatan.

Bagi yang meninggal dalam tugas, penghormatan saat pemakaman dan kenaikan pangkat anumerta tak banyak berarti bila ada tinggalan beban ekonomi berat bagi keluarga. Risiko demikian merupakan masalah serius yang harus menjadi perhatian pimpinan Polri, pemerintah, dan masyarakat. Perlindungan, terutama bagi petugas di lapangan, masih sangat minim dan kadang tidak ada. Pimpinan harus menyediakan dukungan penuh terkait kelengkapan keamanan, keselamatan, dan kebutuhan akomodasi, termasuk perlindungan hukum.

Sikap Tegas

Mengenai sejauh mana ketidakadilan itu dan adanya anggapan atau kesan mengorbankan anggota di lapangan, publik bisa melihat pada saat terjadi benturan di lapangan. Ketegasan Polri terhadap mereka yang melawan hukum, bila sudah sesuai prosedur, seharusnya jangan sampai mengorbankan anggota yang di lapangan. Berikan mereka pembelaan secara memadai.

Itu merupakan hal prinsip dan terkait dengan konsekuensi tugas sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat, serta aparat penegak hukum sebagaimana diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Sangat naif seandainya tugas anggota tidak disertai dengan perlindungan yang memadai. Karena itu, penembakan terhadap personel polisi harus bisa menjadi pengingat perlunya perhatian dan perlindungan yang lebih baik bagi seluruh anggota. Lebih khusus lagi mereka yang bertugas di lapangan.

Di sisi lain, Polri juga harus memperbaiki kinerja sebagai pelayan, pelindung, dan pengayom masyarakat, serta aparat penegak hukum yang baik dan konsisten. Semua personel, dari semua bagian, harus bertindak dan bersikap lebih santun dan hormat kepada masyarakat, bukan sebaliknya. Pimpinan Polri pun harus lebih tegas terhadap anggota yang menyimpang, bukan malah seakan-akan membiarkan atau melindungi. Hingga saat ini sebagian masyarakat belum puas dengan kinerja Polri, bahkan makin banyak yang merasa menjadi korban kesewenang-wenangan anggota. Kinerja buruk Polri akan membuat banyak warga tidak puas.


Ada pula yang marah dan mengekspresikan lewat cara yang bisa membuat repot korps tersebut. Menjadi masalah besar saat pengekspresian caracara itu membuat repot anggota masyarakat yang lain. Lebih repot lagi bila itu menjadi sebuah gerakan kebencian terhadap Polri. Karena itu, jajaran Polri harus introspeksi dalam banyak hal, termasuk terkait sikap per individu dan integritasnya. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar