Selasa, 02 Juli 2013

Saling Menarik seperti Magnet

Saling Menarik seperti Magnet
Anonim ;  Wartawan Kompas
KOMPAS, 28 Juni 2013


Dukungan Australia pada kemerdekaan Indonesia 1945-1949 adalah sejarah yang terekam sepanjang zaman. Namun, mengapa kemudian hubungan kedua negara terus diliputi ketegangan?

Pernyataan sumber ketegangan terkait hal yang disebut ”benturan kebudayaan” dalam bentuk paling 
konvensional sebenarnya mengabaikan fakta rumit pada kedua negara yang tarik-menarik seperti magnet.
Ketegangan di permukaan ibarat muara dari banyak kepentingan sosial dan bersumber pada persoalan politik domestik. Kesadaran tentang hal itu sangat penting untuk menutup peluang penyalahgunaan sentimen nasionalisme pada kedua negara dan semakin mengaburkan masalah yang lebih fundamental.

Selama ini yang mendapat manfaat dari ketegangan berbasis budaya dalam persepsi sempit adalah kepentingan politik konservatif di kedua negara yang bertarung mendefinisikan kesetaraan, demokrasi, hak asasi, dan martabat manusia.

Politik budaya yang pertama kali harus menghapus pandangan tentang kultur yang homogen dan kecenderungan memaksakan gambaran ideal suatu negara kepada negara lain.

Perbincangan tentang kultur selalu berkaitan dengan kekuasaan dan relasi kuasa. Pengabaian aspek itu menyebabkan kepekaan kultural yang keliru. Hal-hal terkait kepekaan kultural inilah yang memengaruhi hubungan dua negara dan kadang mencapai masa penuh ketegangan.

Australia dianggap sering memaksakan nilai-nilai budaya (liberal) kepada Indonesia. Bukan hanya oleh orang Indonesia, melainkan juga oleh tokoh-tokoh kunci dalam perdebatan kebijakan domestik Australia.

Pandangan nilai-nilai demokrasi bukan kultur Indonesia memberi pengesahan kuat pada pemerintah otoriter Orde Baru. Kepekaan kultural yang keliru tampak pada lobi politik di Australia yang berpandangan hak asasi manusia bukan budaya Indonesia, sedangkan korupsi adalah budaya Indonesia.

Harus dipahami bahwa perjuangan demokrasi di Indonesia dilandasi pengalaman Indonesia mengenai isu sosial, kesetaraan, dan penyalahgunaan kekuasaan. Jadi, bukan sesuatu yang dipaksakan pihak luar.
Sementara itu, ada kecenderungan menjadikan nilai-nilai tertentu sebagai bagian tak terpisahkan dari Australia. Namun, pengaruh neoliberal melalui kebijakan Pemerintah Australia yang merasuk sejak dua dekade lalu semakin mengikis solidaritas sosial sebagai detak nadi sosial demokrasi (sosdem) dalam negara kesejahteraan.

Melemahnya sosdem diikuti munculnya pandangan chauvinistic (superioritas sebagai bangsa) dan xenofobia (ketakutan pada orang asing) di dalam masyarakat. Secara bersamaan pemahaman toleransi liberal-pluralis sebagai bagian nilai intrinsik struktur sosial di negeri itu dengan mudah dipatahkan jika melihat perlakuan terhadap kaum aborigin sampai saat ini.

Berkelanjutan

Rezim otoritarianisme di Indonesia telah berakhir. Namun, kontroversi mengenai isu hak asasi manusia
(HAM) dan demokrasi, perjuangan buruh, penyelundupan orang, dan terorisme terus berlanjut.
Pada saat bersamaan citra tentang Indonesia, terutama yang disebarkan media internasional, selalu dikaitkan dengan ketidakpastian dan tata kelola pemerintahan yang buruk.

Indonesia lalu dituding sebagai biang kerok membanjirnya manusia kapal yang sebagian besar pengungsi dari Irak, Afganistan, dan Sri Lanka. Mereka diselundupkan melalui Indonesia ke Australia beberapa tahun terakhir.

Namun, ada fakta lain yang tak dipaparkan. Setiap tahun sekitar 2.000 kapal masuk ke wilayah Australia dan ratusan ribu visa diberikan kepada penduduk permanen. Pemerintah Australia juga tidak bersoal dengan 50.000-60.000 visa warga negara Inggris, AS, dan Selandia Baru yang melebihi batas waktu tinggal setiap tahun.

Tragedi bom Bali dan di hotel JW Marriot seperti memperlihatkan keterkaitan antara demokrasi dan ketidakpastian di Indonesia serta proses pilkada yang rusuh meski peristiwa sama terjadi di negara lain. Dugaan seperti itu dalam beberapa hal memperlihatkan kelanjutan pandangan mengenai ketidakcocokan kultural pemerintah non-otoritarian untuk masyarakat Indonesia.

Alasan mempertahankan pandangan itu bersifat multifaset. Beberapa negara, termasuk Australia, merasa lebih nyaman dengan segala hal yang pasti seperti pada masa pemerintahan otoritarian yang tersentralisasi, khususnya di bidang bisnis. Boleh dibilang kepentingan sebenarnya kelompok sangat berkuasa di Australia adalah ketertiban dan kepastian di Indonesia, bukan demokrasi meski retorika tentang demokrasi terus digaungkan. (Baca juga Mereka Menyibak Tabir Transparansi di halaman ...)

Saling mendukung

Atas nama kepekaan kultural (yang keliru), terorisme di Indonesia juga dipandang sebagai akibat demokrasi yang tidak pasti (chaotic), bukan akibat keterpinggiran sosial puluhan tahun di bawah pemerintah otoriter.
Isu terorisme yang dikaitkan dengan kecenderungan Islam garis keras di Indonesia mewarnai hubungan Indonesia-Australia pasca-Soeharto. Dukungan kepada pasukan antiterorisme Polri oleh Pemerintah AS dan Australia memicu perdebatan lebih luas dan konflik lebih dalam di kedua negara.

Di Indonesia, wacana itu tak bisa dipisahkan dari mobilisasi sentimen nasionalis oleh beberapa aktor politik. Tuduhannya selain campur tangan asing terhadap urusan dalam negeri Indonesia, juga bagian dari konspirasi menyerang Islam.

Hal itu berkaitan dengan perdebatan di Indonesia mengenai posisi Islam dalam masyarakat dan negara modern, seperti tecermin dalam kontroversi tentang perda syariah dan tindak kekerasan terhadap kelompok agama minoritas.

Diskusi mengenai posisi warga Muslim dalam masyarakat Australia juga memanas dalam konteks perang melawan teror meski pasal hukumnya dicangkokkan pada aturan lama tentang imigrasi, khususnya bagi warga negara non-Eropa.

Dengan kata lain, pemahaman orang Australia tentang terorisme di Indonesia banyak diwarnai ketegangan di masyarakat Australia terkait perang melawan teror. Situasi itu dimanfaatkan berbagai kelompok berbeda kepentingan yang bersatu ketika ketegangan terjadi. Koalisi sosial yang diuntungkan sentimen xenofobia mengadvokasi kebijakan imigrasi dan menyebar ketakutan terhadap pendatang yang katanya akan menguras sumber daya negara itu.

Seluruh pemaparan di atas memperlihatkan diulangnya kasus terkait kepekaan kultural yang keliru sehingga memberi angin kepentingan konservatif di kedua negara.

Terlepas dari semua itu sebenarnya masyarakat Indonesia dan Australia menghadapi perjuangan sama, yakni mencapai demokrasi bermakna, keadilan, martabat, dan kesetaraan sosial. Karena itu, salah satu cara membangun pengertian di antara keduanya adalah menjauhi narasi resmi yang keliru mengenai budaya dan saling mendukung perjuangan masing-masing. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar