Selasa, 02 Juli 2013

Pendidikan Gratis Jadi Jualan Politis

Pendidikan Gratis Jadi Jualan Politis
Ester Lince Napitupulu ;  Wartawan Kompas
KOMPAS, 28 Juni 2013


Pendidikan gratis laris manis jadi jualan di berbagai ajang kampanye pemilu kepala daerah ataupun nasional. Program yang berpihak pada rakyat ini memang menggembirakan. Namun sayang, sering kali sekadar ”janji manis” bernuansa politis demi menggaet simpati masyarakat.

Ketika pemerintah pusat baru berani menjamin pendidikan dasar gratis di tingkat SD-SMP, sesuai amanat UUD 1945, saat ini saja tercatat 14 provinsi yang sudah mengklaim telah melaksanakan wajib belajar 12 tahun. Adanya kata wajib belajar tentu sah saja jika dituntut gratis.

Ada yang memang bisa berjalan karena didukung dengan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Namun, yang sekadar ”janji manis” pada akhirnya meninggalkan beban di pundak pihak sekolah.
Tri Budi Ananto, Kepala SMKN 5 Mataram, Nusa Tenggara Barat, mengatakan, wajib belajar 12 tahun sebenarnya dicanangkan Pemerintah Kota Mataram sejak 2009. Namun, baru pada tahun ajaran 2012/2013 ada kucuran dana semacam bantuan operasional sekolah daerah (Bosda) dari pemerintah setempat.

Sebelum ada Bosda, wajib belajar 12 tahun berjalan maju-mundur. Awalnya, sekolah menggratiskan biaya sekolah buat siswa pemegang Jamkesmas. Ketika tahun berikutnya dukungan APBD tak kunjung datang, penggratisan pun tak lagi bisa penuh, hanya separuhnya. Itu pun khusus bagi yang berasal dari keluarga pemegang kartu Jamkesmas.

Ketika Bosda mulai dikirimkan ke sekolah, kendala tetap juga membayangi pelaksanaan pendidikan gratis. Kucuran Bosda tak selancar yang diharapkan pihak sekolah. Alokasi Bosda untuk semester genap tahun 2013 belum juga kunjung diterima sekolah.

Jika pada semester ganjil dikucurkan Rp 150.000 per siswa, untuk semester genap ini menurun jadi Rp 90.000 per siswa. Padahal, sekolah sudah menggratiskan biaya bulanan siswa mampu ataupun yang berasal dari keluarga miskin.

”Kami mendukung saja pencanangan pendidikan gratis oleh pemerintah daerah. Namun, yang penting sekolah juga diberi dukungan dana untuk merealisasikannya kepada masyarakat,” kata Tri.
Masyarakat yang telanjur percaya dengan ”janji manis” yang bertebaran saat kampanye memang berhak menuntut. Sekolah jadi serba salah. Ketidakpastian soal dukungan pendanaan inilah yang sering jadi biang masalah.

Klaim daerah

Di sisi lain, meski anggaran sekolah gratis masih bergantung penuh pada anggaran pemerintah pusat lewat bantuan operasional sekolah (BOS), pemerintah daerah mengklaim seakan program itu milik daerah. Padahal, BOS disebut sebagai bantuan dengan harapan pemerintah daerah menambah alokasinya lewat APBD.

Kasmawati, Kepala SDN 2 Lamokato, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, mengatakan, di daerah ini pendidikan gratis baru dicanangkan sembilan tahun alias SD-SMP. Anggarannya masih bergantung pada BOS yang dikucurkan Kemdikbud.

Besaran BOS untuk SD Rp 580.000 per siswa per tahun. Di jenjang SMP Rp 710.000 per siswa per tahun. Sekolah mendapatkan alokasi dana BOS sesuai dengan jumlah siswa.

Bisa jadi klaim daerah ini semakin menjadi-jadi menjelang Pemilu 2014. Apalagi pemerintah pusat mulai tahun ajaran 2013/2014 bakal mencanangkan pendidikan menengah universal sebagai rintisan wajib belajar 12 tahun. Siswa SMA/SMK sederajat juga bakal dapat BOS seperti di SD dan SMP dengan besaran Rp 1 juta per siswa per tahun.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh memang belum bisa menjamin pendidikan di SMA/SMK sederajat bakal gratis seperti di SD-SMP. ”Semestinya dengan adanya BOS tidak naik atau bisa lebih murah,” ujar Nuh.

Menurut Iwan Hermawan, Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), hitungan ideal untuk pendidikan bermutu di jenjang SMA bisa berkisar Rp 4 juta per siswa per tahun. ”Jangan sampai masyarakat diiming-imingi wajib belajar 12 tahun gratis, tapi dananya belum cukup. Namanya dijanjikan, ya, tidak salah masyarakat menuntut. Namun, sekolah yang akhirnya kelabakan,” kata Iwan.

Pendidikan gratis pun tidak sekadar dimaknai siswa pergi ke sekolah dengan tidak membayar. Yang justru harus dipastikan, siswa mendapat layanan pendidikan yang semakin bermutu.

Abbas Ghozali, pengajar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang juga mantan Ketua Tim Ahli Pembiayaan Badan Standar Nasional Pendidikan, dalam makalahnya, ”Implikasi Fiskal Pendidikan Dasar Gratis 2008 dan 2009”, mengatakan, pendidikan gratis memang dapat menimbulkan tafsir beragam dan kebijakan operasional yang beragam pula. Oleh karena itu, kebijakan pada tataran operasional sangat diperlukan agar kebijakan pendidikan dasar gratis dapat dilaksanakan secara efisien dan konsisten untuk mencapai tujuannya.

Menurut Abbas, penyelenggaraan pendidikan dasar gratis merupakan sebuah konsep yang dinamis, dalam arti kandungan dalam paket layanannya berevolusi sejalan dengan tuntutan daya tampung dan kualitas, dalam batas kapasitas fiskal.

Pendidikan gratis dengan layanan pendidikan bermutu itulah harapan masyarakat. Realisasinya tentu membutuhkan pendidik yang berkualitas dan terjamin kesejahteraannya, sarana dan prasarana sekolah yang sesuai standar nasional, hingga pembiayaan atau bahan dan alat pembelajaran habis pakai.

Namun, tampaknya pendidikan gratis yang bermutu masih jauh panggang dari api. Kondisi guru bukan hanya belum berkualitas seperti yang diharapkan meski sudah disertifikasi. Hampir satu juta guru berstatus honorer. Akibatnya, dana BOS pun terserap untuk gaji guru meski kini dibatasi maksimal 20 persen.

Belum lagi ruangan kelas yang rusak mencapai ratusan ribu. Di SD terdapat 173.344 ruangan kelas yang rusak dan di SMP sebanyak 41.027 ruangan kelas.

Dari segi kualitas sekolah, jika mengacu akreditasi juga masih memprihatinkan. Hampir 50 persen sekolah/madrasah berakreditasi C. Sekolah ini memiliki titik lemah di sektor tenaga pendidik dan kependidikan, standar kelulusan, dan sarana-prasarana.

Gratis versus kualitas

Kebijakan pendidikan gratis yang belum didukung dengan komitmen pendanaan yang memadai, sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas sekolah, memunculkan pesimisme. Dengan cap gratis, sekolah jadi terjebak sulit meningkatkan diri karena sumber dana yang terbatas dan tak pasti.

Tak heran jika sekolah pun kemudian memutar akal untuk dapat dukungan pendanaan. Dengan adanya celah, partisipasi masyarakat diperbolehkan, sekolah menggandeng komite sekolah untuk bisa menjadi pendukung adanya pungutan kepada masyarakat.

Pendidikan gratis pun kini jadi abu-abu. Antara janji manis kampanye dan realitas jadi tidak sejalan.
Ahmad Musyadad, Kepala Madrasah Ibtidayah Negeri Jejeran Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, mengatakan, jika mengandalkan BOS, sekolah yang memiliki program khusus dengan penguatan siaga bencana, sekolah sehat, dan sekolah hijau ini sulit merealisasikan program. Sekolah kemudian melibatkan orangtua untuk merencanakan program yang dibutuhkan siswa, termasuk siap untuk memberikan dukungan dana.

”Jika mau bicara ideal, dengan kondisi sekolah kami, hitungan kebutuhan siswa sekitar Rp 1 juta per siswa per tahun. Mengandalkan dana BOS masih kurang,” ujar Ahmad.

Pendidikan gratis sebenarnya bukanlah hal tabu jika dimaknai untuk melayani masyarakat, bukan untuk sekadar menarik simpati sesaat supaya menang pemilu kepala daerah. ”Wajib belajar sembilan tahun itu tugas pemerintah. Itu harus diwujudkan, bukan lagi jadi jualan setiap kampanye,” kata Soedijarto, Ketua Dewan Pembina Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia.


Dengan anggaran pendidikan yang semakin besar, yang semestinya tidak dimanipulasi demi pencitraan terpenuhinya minimal 20 persen dengan memasukkan gaji guru, pendidikan gratis bermutu di Indonesia bukan hal yang sulit. Sayang, janji manis yang masih sering ditawarkan. Dan, korupsi tak terkendali menggerus hak rakyat menikmati pendidikan gratis. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar