Selasa, 02 Juli 2013

Sukarno, Ende, Pancasila

Sukarno, Ende, Pancasila
St Sularto ;  Wartawan Senior KOMPAS
KOMPAS, 28 Juni 2013


Terbit kembali sejak 2009, setelah 10 tahun mati suri, majalah pemikiran sosial ekonomi Prisma dengan edisi Volume 32, No 2 dan No 3, 2013 bulan Juni, muncul dengan edisi khusus ”Soekarno. Membongkar Sisi-sisi Hidup Putra Sang Fajar”. Dahsyat!

Jurnal Prisma yang dahulunya dwibulanan, kemudian tiga bulanan, itu selama ini bisa menghidupi dirinya. Padahal, tidak ada jurnal ilmiah di dunia mana pun yang tidak disubsidi. Kehebatan Prisma kali ini tidak soal survivalnya, tetapi tema dan topik yang dipilih: Soekarno, Ende, Pancasila.

Kalau pada tahun 1977 Prisma pernah mengupas Soekarno bersama sejumlah tokoh Indonesia lainnya, kali ini Soekarno tampil sendiri. Dalam perjalanan sejarah hidup bangsa negara Indonesia, utamanya terkait dengan Pancasila sebagai dasar negara, Ende menorehkan kisah dan peranan yang besar.

”Untuk mempersiapkannya, saya butuh konsentrasi lima sampai enam bulan,” kata Daniel Dhakidae, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Prisma, di kantor Yayasan Ende Flores, Jakarta, pekan lalu.

Menurut Daniel, sosok Soekarno senantiasa menarik, tidak pernah habis digali dan ditulis dari segala sisi. Pernah dicoba dihapus dari ingatan kolektif bangsa selama Orde Baru, kemudian menjadi tempat berpaling dalam kegalauan kehidupan berpolitik dan mencari rujukan segar, Soekarno tampil lagi.

Soekarno ibarat marwah yang menampilkan sosok kebesaran. Buku-bukunya diterbitkan kembali, dibaca, dicari orang, antik, dan mahal. Senyampang itu pun buku-buku tentang romantisme kepriaan Soekarno ditulis oleh mereka yang merasa pernah dekat dengan Soekarno—nyaris ditulis apa adanya terus bermunculan—dan toh, orang terus mencari dan membacanya dengan rakus.

Agar terlewatkan

Khusus mengenai hubungan Soekarno dan Ende, lebih khusus Ende dan Pancasila, Daniel merasa, kurang banyak dikupas. Padahal, di Ende itulah Soekarno mengalami pemulihan dari seorang yang ”secara politik mati”, kata Mohamad Hatta, menjadi seorang ideolog politik.

Di Ende, Soekarno memulai hidup sebagai bapak keluarga tanpa kegiatan politik sama sekali; membentuk jati dirinya sebagai intelektual ahli Islam—sebelumnya ia melihat Islam dari luar dan memperoleh inspirasi/kekuatan dari marxisme untuk kegiatan revolusionernya. Di Ende, ia mengembangkan diri sebagai ideolog politik lewat diskusi rutin setiap hari dan permainan tonil dalam kelompok Kelimoetoe Toneel Club yang dibentuknya.

”Mementaskan 13 karya asli Soekarno dalam waktu empat tahun dengan pemain para nelayan, tukang jahit, dan petani, serta kalangan masyarakat kelas bawah, menjadi bagian perjalanan yang memperkaya persepsi dan perenungan Soekarno mengenal orang kecil,” kata Daniel.

Dalam tiga tahap dan tiga faktor itu, Ende menjadi penting—bagi Daniel bukan tiga tahap, tetapi tiga sisi yang bersamaan terjadi dan saling mengisi selama empat tahun (1934-1938) di Ende—membenarkan sosok Soekarno kemudian sebagai ideolog negara (the state ideologist).

Referensi terbaru

Mengenai bahan-bahan bacaan, menurut Daniel, Soekarno selalu dipasok buku-buku terbitan baru. Dengan gaji dari Pemerintah Belanda yang cukup besar, dia memesan buku-buku baru dari Belanda dan Jawa yang dibawa dengan kapal maskapai Belanda yang sebulan sekali bersandar di Surabaya.

Lewat diskusi rutin setiap hari dalam bahasa Belanda dengan para pastor—rata-rata umur tiga puluhan, lewat pementasan tonil, dan kemudian proses perenungan mendalam—Soekarno memperoleh pencerahan yang melahirkan Pancasila. Baru tujuh tahun kemudian, saat pidato di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, pada 1 Juni 1945 di Kantor Kemenlu Pejambon sekarang, Soekarno menyampaikannya secara publik. Lahirlah Pancasila.

Sosok Soekarno yang gagah dan jago pidato di mimbar membakar semangat ditampilkan sebagai pemikir yang duduk merenung gagah. Bukan Le Penseur, sang pemikir, karya pematung Rodin dari Perancis, tetapi Soekarno yang memandang lurus ke laut Flores, ke Indonesia masa depan. Menyaksikan proses akhir pembuatan patung di galeri Hanafi di Depok, Daniel merinding. ”Soekarno hidup kembali,” katanya. Bukan Soekarno pemikir yang berpangku tangan, tetapi Soekarno yang duduk dengan gagah menyorotkan kebesaran.

Mitos elang yang pernah dikisahkan orang Flores tentang ”orang hebat dari Jawa” dirasakan dalam mimpi Daniel. ”Suatu malam saya ketemu Soekarno. Dia pegang tangan saya, sambil berkata, ’Soal Ende itu urusan Daniel.’ Ketika saya bangun, Soekarno hilang begitu saja.” Kapan terjadi? Jawab Daniel, ”Salah satu hari ketika saya mempersiapkan edisi khusus ini, ketika saya melakukan penelitian hampir enam bulan untuk salah satu artikel yang saya tulis di dalamnya.”

Dari penelitian puluhan buku rujukan, Daniel menemukan, Soekarno kaget ketika dalam diskusi rutin ada pertanyaan. Pertama, ”Dalam negara yang Anda cita-citakan itu di manakah kamu letakkan mamamu?” Kedua, ”Dalam negara yang Anda cita-citakan itu, di manakah kamu letakkan Flores?” Kedua pertanyaan itu terkait dengan agama dan kepercayaan dan hak asasi yang dijamin negara—mama dan mayoritas penduduk Flores beragama Katolik—yang dijawab oleh Soekarno, ”Mereka sama dan tidak dibeda-bedakan.” ”Tuhan menghormati semua manusia.” Bagi Soekarno, dua pertanyaan itu menyentuh hatinya sebab menyangkut ibunya sendiri dan status Flores.

Mengulang peran ”Prisma”

Topik Soekarno dalam edisi ini—terdiri atas 14 artikel di luar Topik Kita, Pengantar, Dialog, dan Buku—diharapkan memenuhi harapan banyak orang tentang peranan Prisma pada tahun 1980-an ketika menjadi referensi selama bertahun-tahun tentang pemikiran sosial ekonomi.

Terbit pertama pada tahun 1971 dan mati dengan sendirinya pada tahun 1998—semata-mata terkena dampak krisis, bukan diberedel—Prisma termasuk yang pertama menampilkan penulis-penulis eks Pulau Buru. ”Kami pernah menjadi sasaran kecurigaan pemerintah karena dalam sebuah pertemuan di Kuala Lumpur ada yang menyampaikan Prisma menjadi media untuk kebangkitan komunisme dengan menampilkan penulis-penulis bekas penghuni Pulau Buru,” ungkap Daniel.

Kepada para pemeriksa yang menginterogasinya, Daniel sebagai redpel waktu itu mengatakan, pidato Sudomo bahwa para bekas tapol Buru boleh mengembangkan profesinya dia tafsirkan kebebasan mereka menulis. Prisma  tidak pernah mempertimbangkan latar belakang penulis, selain kemampuan dan kompetensi akademis.

”Menghadapi kemungkinan ke pengadilan, saya dan Aswab Mahasin bertemu Abang Buyung Nasution minta menjadi pembela kami. Bang Buyung siap,” ujarnya. Namun, rupanya pemerintah menerima alasan Prisma. Proses pengadilan tak terjadi. Mengalirlah tulisan-tulisan para eks Pulau Buru di Prisma, kecuali tulisan Pramudya Ananta Toer. Mengapa? ”Kami tidak berani, terlalu besar pengaruh dan peranannya.”

Edisi khusus dengan topik Soekarno ini tetap dicetak 2.500 eksemplar. Sebanyak 500 eksemplar diedarkan dalam seminar dan peresmian patung Soekarno di Ende pada 1 Juli 2013 oleh Wakil Presiden Boediono. Edisi khusus itu siap dibukukan dengan judul yang sama: Soekarno. Membongkar Sisi-sisi Hidup Putra Sang Fajar.


Topik Soekarno diangkat kembali tidak dimaksudkan untuk menghidupkan roh Soekarno—kenyataannya sudah hidup sejak puluhan tahun lalu, tetapi setidaknya ingin ikut membangkitkan kembali perhatian kepada Pancasila yang mati suri berkepanjangan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar