Sabtu, 06 Juli 2013

Presiden ketujuh sebagai Game Changer

Presiden ketujuh sebagai Game Changer
Christianto Wibisono ;  CEO Global Nexus Institute
TEMPO.CO, 04 Juli 2013


Hari ini, 54 tahun yang lalu, Bung Karno memutuskan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tentang kembali ke UUD 1945 dan sistem presidensial setelah kegagalan Konstituante hasil Pemilu 1955 menetapkan UUD baru. Hari-hari ini juga people’s power Mesir membanjiri Tahrir Square atau Monas-nya Kairo mendorong militer Mesir untuk mengultimatum Presiden Muhammad Mursi dari Partai jelmaan Al-Ikhwan al-Muslimun agar memenuhi tuntutan rakyat Mesir yang menolak agenda syariahisme ortodoks Mursi.

Indonesia kadang-kadang ditakdirkan menjadi pelopor game changer, perubahan global secara sangat signifikan, tapi kadang-kadang kurang sadar akan peranan tersebut. Indonesia adalah kelinci percobaan doktrin Zdhanov, yang menghentikan koalisi blok komunis Stalin dengan blok Barat, Amerika Serikat-Inggris.

Partai komunis di Indonesia malah lebih dulu daripada Tiongkok. Partai yang berontak terhadap Hindia Belanda itu kemudian di bawah Muso berontak lagi terhadap RI, yang masih berjuang melawan Belanda, yang ingin menjajah kembali. Ketegasan Perdana Menteri Hatta menumpas PKI mengubah politik luar negeri AS dari pasif menjadi aktif menekan Belanda agar mengakui kemerdekaan RI.

Dalam usia muda, Indonesia menyelenggarakan KTT Asia-Afrika di Bandung pada April 1955, yang menjadi cikal-bakal Gerakan Non-Blok, yang mempercepat kemerdekaan Asia-Afrika dari kolonialisme. Tapi negara AS kemudian gagal menerapkan demokrasi liberal secara tepat dan mengundang militerisme mengambil alih kekuasaan. Kolonel Nasser di Mesir, Jenderal Ayub Khan di Pakistan, Jenderal Ne Win di Burma, dan Jenderal Nasution di Indonesia. Ketika kabinet Ali Roem Idham bubar pada 14 Maret 1957, negara dinyatakan dalam keadaan darurat perang dan KSAD Nasution menjadi Penguasa Perang Pusat dengan kuasa darurat menahan orang, membredel pers, dan melakukan tindakan otoriter darurat lain. Nasution adalah eksekutor rezim otoriter Bung Karno periode 1960-1962 serta akan digantikan oleh Yani sebagai KSAD dan Kepala Staf KOTI—lembaga super-kabinet yang mutlak berkuasa di akhir era Bung Karno.

Pada 1965, Indonesia kembali melakukan game changer geopolitik. Ketika arus pasang komunisme di Asia Tenggara ditandai dengan memuncaknya perang Vietnam dan kegagalan AS membendung Vietcong dari insurgensi antipemerintah Vietnam Selatan, mendadak PKI melakukan blunder kudeta G30S, yang segera ditumpas oleh Soeharto. Indonesia menjadi gratisan masuk kubu AS anti-komunisme.

Indonesia kemudian mengikuti pola Repressive-Developmentalist Regime, seperti Korea, Taiwan, dan Singapura, yang mempraktekkan otoriterisme kanan, mengandalkan kekuatan industri bisnis menjadi pelaksana pembangunan ekonomi. Bersama Hong Kong yang “liberal”, mereka adalah kloter pertama Macan Asia, menyusul Jepang. RI masuk kloter dua bersama Malaysia, Thailand, dan Filipina. Mereka sempat dikagumi dan dipuji, bahkan oleh World Bank, dengan buku The East Asian Miracle. Ironisnya, buku itu terbit ketika krisis Thai mulai merebak serta memicu krisis moneter 1997-1998, yang menghancurkan ekonomi Thailand, Korea, dan Indonesia—yang memaksa Presiden Soeharto lengser.

Indonesia kemudian memasuki masa transisi dari otoriter ke demokrasi dengan tiga presiden dalam enam tahun: Habibie, Gus Dur, dan Megawati (Mei 1998-Oktober 2004). Megawati menghadapi era geopolitik baru berupa konflik peradaban antara Barat dan Islam dengan serangan teror WTC 2011. Megawati adalah kepala negara pertama yang diterima Presiden Bush hanya seminggu setelah pesawat terbang sipil ditabrakkan oleh Al-Qaidah ke simbol kapitalisme WTC. Sayangnya, RI tidak menggunakan leverage diplomasi perang peradaban secara canggih.

Perang teror lebih dalam akarnya, bukan sekadar bom, tapi juga bagaimana mengubah temperamen atau kultur kekerasan yang terwadahi dan tersalurkan dalam terorisme menjadi keterbukaan untuk menjalin komunikasi dan win-win solution di antara dua kultur peradaban yang saling berkonfrontasi.
Kultur Barat versus Islam, menurut Dominique Moisi dalam The Geopolitics of Emotion, dibajak oleh ketakutan dan kebencian satu sama lain. Asia dan Indonesia diharapkan bisa berperan sebagai mediator, honest broker, dan peacemaker—juru damai dunia yang membebaskan dunia dari ancaman terorisme dan trauma paranoid perang sabil satu milenium silam.

Indonesia, yang mayoritas penduduknya Islam, yang bisa menjadi kiblat model demokrasi non-Barat (non-Kristen), ditantang untuk menjadi game changer geopolitik. Sementara Mesir, Iran, dan Turki gagal melakukan transformasi menuju demokrasi berbasis Islam, Indonesia, yang belum bisa membanggakan diri, sudah bebas dari “sindrom jihad Timur Tengah” atau elemen Salafi, Wahabi, dan jihadis model Al-Qaidah. Pelbagai intoleransi di Indonesia telah mengakibatkan posisi RI sebagai “saudara tua” demokrasi negara dunia ketiga dan bisa tergerus apalagi bila kita gagal melakukan transformasi menjadi negara demokrasi sejati yang teruji dalam supremasi hukum, rule of law, yang efektif dan mampu menciptakan kesejahteraan rakyat secara efisien.

Pemilihan calon presiden ketujuh Indonesia relatif terbuka, meski tetap terbatas pada oligarki 12 partai politik yang dilegalisasi pemerintah. Tampaknya elite politik Indonesia jarang yang memperhatikan faktor geopolitik sebagai salah satu kriteria menguji elektabilitas dan kapabilitas calon presiden. Politik luar negeri Indonesia memang tidak bebas dari populisme, sehingga bisa terjadi “arus bawah Petamburan” yang mendikte Pejaten atau Pejambon dalam mengambil keputusan yang “populis”.

Insiden penyiraman dalam talk show di TV One juga merupakan cermin bahwa Indonesia belum sepenuhnya mentas dari konflik syariah versus sekuler, seperti di Kairo. Keberanian mawas diri memang hanya bisa muncul dari seorang Gus Dur sebagai ketua ormas Islam terbesar sedunia untuk menerobos Israel. Suatu hal yang sebetulnya juga dimiliki oleh Soeharto ketika dia menerima sowan Yitzhak Rabin di Cendana pada 1993. Seandainya Soeharto melangkah lebih jauh, pastilah hadiah Nobel yang pada 1994 diterima oleh Arafat Rabin Peres bisa dibagikan untuk Soeharto juga. Tapi, sayang, presiden kedua RI tersebut hanya protokoler dan tidak melakukanleverage diplomatik konkret terhadap Israel-Palestina. 

Kedua pihak berpaling ke Oslo dan tidak memakai Jakarta, yang kurang siap menjadi peacemaker.
Kadang-kadang kita justru menjadi game changer yang konyol berkorban. Misalnya, diskors dari Olimpiade Tokyo 1964 karena Bung Karno menolak Israel dan Taiwan dalam Asian Games IV 1962 di Jakarta. Tapi negara-negara Arab malah tetap lenggang kangkung bertanding di Tokyo bersama atlet Israel. 
Sedangkan atlet Indonesia malah kapiran di luar stadion. Bung Karno juga melakukan langkah yang mungkin tidak akan pernah tertandingi oleh siapa pun: satu-satunya negara di dunia yang pernah keluar dari PBB.


Dapatkah kita mengharapkan lahirnya presiden ketujuh yang mempunyai terobosan game changer geopolitik untuk kepentingan nasional pada 2014? Inilah yang akan dibahas oleh Institute Kepresidenan Indonesia pada Jumat, 5 Juli 2013, di Perpustakaan DKI Jakarta. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar