Sabtu, 06 Juli 2013

Bencana Alam dan Korupsi

Bencana Alam dan Korupsi
A Kardiyat Wiharyanto ;  Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
SUARA KARYA, 04 Juli 2013


Semakin bangsa ini dikuasai nafsu kenikmatan, kehormatan dan kekuasaan, maka pada gilirannya korupsi dan nafsu-nafsu jahat lain-lainnya akan sukar diatasi. Berbarengan bertumbuh-kembangnya korupsi, bertumbuh pula bencana alam seperti gempa dan letusan gunung. Jika diperhatikan, bencana alam di Indonesia semakin meningkat, yang diikuti peningkatan risiko terhadap semua elemen yang berada di permukaan bumi, termasuk manusia beserta semua sarana dan prasarananya. Tingkat kerentanan penduduk di Indonesia semakin meningkat karena pertambahan penduduk yang cepat, utamanya pada daerah perkotaan dan kepesisiran.

Dengan pertumbuhan penduduk yang hampir tak terkontrol, diperkirakan 20 tahun mendatang 60% penduduk Indonesia bertempat tinggal di perkotaan dan kepesisiran. Daerah perkotaan yang kepadatan penduduknya tinggi berarti banyak penduduk yang berisiko terhadap bencana alam.

Strategi penanggulangan bencana dalam upaya meminimalkan jumlah korban, kehilangan harta benda dan kerusakan lingkungan dapat dilaksanakan apabila didukung oleh data risiko bencana, sebagai dasar untuk penanggulangan. Daerah yang berisiko tinggi perlu mendapat perhatian yang lebih tinggi dan diprioritaskan. 

Dengan perencanaan yang sistematik dan didukung oleh data risiko bencana diharapkan strategi penanggulangan bencana dapat berhasil dengan baik. Implementasi penilaian risiko yang relevan dengan sudut pandang geomorfologi faktor bahaya. Banyak cara untuk menilai tingkat bahaya pada suatu daerah terhadap suatu jenis bahaya. Bila tingkat bahaya pada suatu daerah telah diketahui kemudian dilakukan inventarisasi elemen berisiko beserta penilaian kerentanannya. Dengan cara tumpang susun peta tingkat bahaya dan distribusi keruangan dari elemen berisiko dapat dianalisis elemen yang berisiko terhadap tingkat bahaya dan tingkat risikonya. Hasil analisis tersebut dapat dijadikan dasar untuk pengurangan risiko.

Kapasitas penduduk juga menjadi unsur penting dalam menaksir tingkat risiko, meskipun dari unsur bahaya termasuk tinggi tetapi bila kapasitas penduduk dalam merespons bahaya juga tinggi maka risiko akan lebih kecil. Selain itu risiko bencana terhadap penduduk juga tergantung pada waktu, siang dan malam hari akan menunjukkan tingkat risikonya.

Bencana alam yang pernah menimpa negeri ini yang cukup parah, misalnya, tsunami di Aceh, gempa bumi di Nias, Yogyakarta, Bengkulu, Jawa, dan Padang. Terakhir, gempa bumi berkekuatan 6,5 SR kembali melanda bumi Aceh, Rabu (3/7). Sampai saat ini kita belum mampu memprediksi gempa bumi dan belum ada alat pendeteksi. Hanya saja, untuk mengatasi potensi serta potensi serta pemetaan daerah mana yang rawan menjadi jalur gempa bisa ditelusuri dengan melihat melalui citra satelit maupun pemetaan di lapangan. 

Potensi dan mengetahui daerah yang rawan gempa bisa dilakukan. Di samping itu, kita berusaha untuk meringankan korban dengan gerakan solidaritas. Solidaritas tersebut diberikan tanpa memandang di daerah mana mereka berada, apa agamanya dan apa pula pandangan politiknya.

Setelah bencana tersebut berlalu, rasa solidaritas kita kembali menipis. Tak pelak lagi, sebagian masyarakat hanya hidup di atas emosi dan prasangka satu sama lain yang akhirnya bermuara pada kekerasan. Dari pengalaman masa lampau, pengalaman masa kini, dan proses masa depan, seorang yang benar-benar realistis akan berpendapat, bahwa kekerasan, tidak dapat mencapai pemecahan persoalan secara mendasar dan abadi. Pemecahan masalah itu sering hanya mengambang dan temporer. Dan, sementara perdamaian semu meninabobokkan banyak orang, secara diam-diam masyarakat semakin terbawa arus perpecahan karena adanya kecurigaan antar kelompok yang saling bersaing dan tiap-tiap kelompok mengalami problema-problema intern yang setiap saat dapat meledak, walaupun usaha-usaha pencegahan selalu diusahakan melalui berbagai cara.

Dengan mata telanjang kita lihat, betapa banyak tindak kriminal yang ada di negara ini. Terutama, korupsi yang membuat bangsa ini terbelit dalam kesulitan ekonomi dan banyak warga masyarakatnya yang terbelenggu oleh kemiskinan.

Mengapa negeri ini terserang penyakit sosial? Karena, selama ini kita cenderung membiarkan dan tidak pernah mengambil tindakan yang tegas, sehingga membentuk nilai-nilai yang berlaku menjadi jungkir balik. Orang yang bertindak benar dan tidak melakukan kesalahan justru bisa dianggap salah. Sebaliknya, gerakan-gerakan yang melawan hukum dibiarkan, bahkan justru dianggap sebagai gerakan yang benar, walaupun sering melakukan kekerasan.

Kekerasan secara sederhana, bisa diartikan penggunaan kekuatan yang tidak selalu, tetapi sering bernuansa fisik, untuk melukai, merusak, memaksa atau upaya menyakiti, melanggar kesejahteraan. Kekerasan tidak hanya menyangkut kekerasan fisik. Kekerasan juga bisa berbentuk penghancuran harga diri, martabat, kehidupan orang lain melalui cara-cara psikologis dan pemaksaan pikiran. Bencana alam yang berulangkali melanda Indonesia bisa disebabkan karena kita semua termasuk orang-orang pendosa yang melampaui batas. Tindakan korupsi yang dilakukan para elite membuat rakyat menjadi miskin. Sementara itu, tindakan terhadap rakyat jelata seperti pedagang kaki lima dan sejenisnya tidak jarang dilakukan dengan kekerasan. Padahal, Tuhan berpihak kepada kaum lemah, miskin, kecil dan terpinggirkan.


Mudah-mudahan bencana alam yang berulangkali melanda negeri ini menyadarkan para koruptor dan para pelaku kekerasan yang membuat kaum lemah, kecil, miskin makin terpinggirkan. Apabila mereka bisa menyadari perbuatannya, maka bencana alam dapat dikurangi. Namun, jika perbuatan seperti itu tetap dilakukan, tidak mustahil negeri ini terus menerus dilanda bencana alam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar