|
TEMPO.CO,
04 Juli 2013
Hari ini, 54 tahun yang lalu, Bung
Karno memutuskan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tentang kembali ke UUD 1945 dan
sistem presidensial setelah kegagalan Konstituante hasil Pemilu 1955 menetapkan
UUD baru. Hari-hari ini juga people’s power Mesir membanjiri
Tahrir Square atau Monas-nya Kairo mendorong militer Mesir untuk mengultimatum
Presiden Muhammad Mursi dari Partai jelmaan Al-Ikhwan al-Muslimun agar memenuhi
tuntutan rakyat Mesir yang menolak agenda syariahisme ortodoks Mursi.
Indonesia kadang-kadang ditakdirkan
menjadi pelopor game changer, perubahan global secara sangat signifikan,
tapi kadang-kadang kurang sadar akan peranan tersebut. Indonesia adalah kelinci
percobaan doktrin Zdhanov, yang menghentikan koalisi blok komunis Stalin dengan
blok Barat, Amerika Serikat-Inggris.
Partai komunis di Indonesia malah
lebih dulu daripada Tiongkok. Partai yang berontak terhadap Hindia Belanda itu
kemudian di bawah Muso berontak lagi terhadap RI, yang masih berjuang melawan
Belanda, yang ingin menjajah kembali. Ketegasan Perdana Menteri Hatta menumpas
PKI mengubah politik luar negeri AS dari pasif menjadi aktif menekan Belanda
agar mengakui kemerdekaan RI.
Dalam usia muda, Indonesia
menyelenggarakan KTT Asia-Afrika di Bandung pada April 1955, yang menjadi
cikal-bakal Gerakan Non-Blok, yang mempercepat kemerdekaan Asia-Afrika dari
kolonialisme. Tapi negara AS kemudian gagal menerapkan demokrasi liberal secara
tepat dan mengundang militerisme mengambil alih kekuasaan. Kolonel Nasser di
Mesir, Jenderal Ayub Khan di Pakistan, Jenderal Ne Win di Burma, dan Jenderal
Nasution di Indonesia. Ketika kabinet Ali Roem Idham bubar pada 14 Maret 1957,
negara dinyatakan dalam keadaan darurat perang dan KSAD Nasution menjadi
Penguasa Perang Pusat dengan kuasa darurat menahan orang, membredel pers, dan
melakukan tindakan otoriter darurat lain. Nasution adalah eksekutor rezim
otoriter Bung Karno periode 1960-1962 serta akan digantikan oleh Yani sebagai
KSAD dan Kepala Staf KOTI—lembaga super-kabinet yang mutlak berkuasa di akhir
era Bung Karno.
Pada 1965, Indonesia kembali
melakukan game changer geopolitik. Ketika arus pasang
komunisme di Asia Tenggara ditandai dengan memuncaknya perang Vietnam dan
kegagalan AS membendung Vietcong dari insurgensi antipemerintah Vietnam
Selatan, mendadak PKI melakukan blunder kudeta G30S, yang segera ditumpas oleh
Soeharto. Indonesia menjadi gratisan masuk kubu AS anti-komunisme.
Indonesia kemudian mengikuti pola Repressive-Developmentalist Regime,
seperti Korea, Taiwan, dan Singapura, yang mempraktekkan otoriterisme kanan,
mengandalkan kekuatan industri bisnis menjadi pelaksana pembangunan ekonomi.
Bersama Hong Kong yang “liberal”, mereka adalah kloter pertama Macan Asia,
menyusul Jepang. RI masuk kloter dua bersama Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Mereka sempat dikagumi dan dipuji, bahkan oleh World Bank, dengan buku The
East Asian Miracle. Ironisnya, buku itu terbit ketika krisis Thai mulai
merebak serta memicu krisis moneter 1997-1998, yang menghancurkan ekonomi
Thailand, Korea, dan Indonesia—yang memaksa Presiden Soeharto lengser.
Indonesia kemudian memasuki masa
transisi dari otoriter ke demokrasi dengan tiga presiden dalam enam tahun:
Habibie, Gus Dur, dan Megawati (Mei 1998-Oktober 2004). Megawati menghadapi era
geopolitik baru berupa konflik peradaban antara Barat dan Islam dengan serangan
teror WTC 2011. Megawati adalah kepala negara pertama yang diterima Presiden
Bush hanya seminggu setelah pesawat terbang sipil ditabrakkan oleh Al-Qaidah ke
simbol kapitalisme WTC. Sayangnya, RI tidak menggunakan leverage diplomasi
perang peradaban secara canggih.
Perang teror lebih dalam akarnya,
bukan sekadar bom, tapi juga bagaimana mengubah temperamen atau kultur
kekerasan yang terwadahi dan tersalurkan dalam terorisme menjadi keterbukaan
untuk menjalin komunikasi dan win-win solution di antara dua kultur
peradaban yang saling berkonfrontasi.
Kultur Barat versus Islam, menurut
Dominique Moisi dalam The Geopolitics of Emotion, dibajak oleh
ketakutan dan kebencian satu sama lain. Asia dan Indonesia diharapkan bisa
berperan sebagai mediator, honest broker, dan peacemaker—juru
damai dunia yang membebaskan dunia dari ancaman terorisme dan trauma paranoid
perang sabil satu milenium silam.
Indonesia, yang mayoritas
penduduknya Islam, yang bisa menjadi kiblat model demokrasi non-Barat
(non-Kristen), ditantang untuk menjadi game changer geopolitik.
Sementara Mesir, Iran, dan Turki gagal melakukan transformasi menuju demokrasi
berbasis Islam, Indonesia, yang belum bisa membanggakan diri, sudah bebas dari
“sindrom jihad Timur Tengah” atau elemen Salafi, Wahabi, dan jihadis model
Al-Qaidah. Pelbagai intoleransi di Indonesia telah mengakibatkan posisi RI
sebagai “saudara tua” demokrasi negara dunia ketiga dan bisa tergerus apalagi
bila kita gagal melakukan transformasi menjadi negara demokrasi sejati yang teruji
dalam supremasi hukum, rule of law, yang efektif dan mampu
menciptakan kesejahteraan rakyat secara efisien.
Pemilihan calon presiden ketujuh
Indonesia relatif terbuka, meski tetap terbatas pada oligarki 12 partai politik
yang dilegalisasi pemerintah. Tampaknya elite politik Indonesia jarang yang
memperhatikan faktor geopolitik sebagai salah satu kriteria menguji
elektabilitas dan kapabilitas calon presiden. Politik luar negeri Indonesia
memang tidak bebas dari populisme, sehingga bisa terjadi “arus bawah
Petamburan” yang mendikte Pejaten atau Pejambon dalam mengambil keputusan yang
“populis”.
Insiden penyiraman dalam talk
show di TV One juga merupakan cermin bahwa Indonesia
belum sepenuhnya mentas dari konflik syariah versus sekuler,
seperti di Kairo. Keberanian mawas diri memang hanya bisa muncul dari seorang
Gus Dur sebagai ketua ormas Islam terbesar sedunia untuk menerobos Israel.
Suatu hal yang sebetulnya juga dimiliki oleh Soeharto ketika dia menerima sowan Yitzhak Rabin di Cendana pada
1993. Seandainya Soeharto melangkah lebih jauh, pastilah hadiah Nobel yang pada
1994 diterima oleh Arafat Rabin Peres bisa dibagikan untuk Soeharto juga. Tapi,
sayang, presiden kedua RI tersebut hanya protokoler dan tidak melakukanleverage diplomatik
konkret terhadap Israel-Palestina.
Kedua pihak berpaling ke Oslo dan tidak
memakai Jakarta, yang kurang siap menjadi peacemaker.
Kadang-kadang kita justru
menjadi game changer yang konyol berkorban. Misalnya, diskors
dari Olimpiade Tokyo 1964 karena Bung Karno menolak Israel dan Taiwan dalam
Asian Games IV 1962 di Jakarta. Tapi negara-negara Arab malah tetap lenggang
kangkung bertanding di Tokyo bersama atlet Israel.
Sedangkan atlet Indonesia
malah kapiran di luar stadion. Bung Karno juga melakukan langkah yang mungkin tidak
akan pernah tertandingi oleh siapa pun: satu-satunya negara di dunia yang
pernah keluar dari PBB.
Dapatkah kita mengharapkan lahirnya
presiden ketujuh yang mempunyai terobosan game changer geopolitik
untuk kepentingan nasional pada 2014? Inilah yang akan dibahas oleh Institute
Kepresidenan Indonesia pada Jumat, 5 Juli 2013, di Perpustakaan DKI Jakarta. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar