|
KOMPAS,
03 Juli 2013
Walter J Ong, ahli komunikasi asal
Irlandia, sezaman dengan Marshal McLuhan, menulis Orality and Literacy (The
Technologizing of the Word), 1982, yang kini menjadi buku klasik.
Buku tersebut menggambarkan bahwa
dunia keberaksaraan dan kelisanan sebenarnya muncul untuk saling mendukung.
Munculnya keberaksaraan tidak serta-merta meniadakan kelisanan, bahkan dalam
keberaksaraan akan memunculkan kelisanan ”lapis dua” (secondary orality).
Dunia media digital saat ini ibarat
kita sedang mengarungi suatu lautan literasi baru, di mana kita sekarang
mungkin masih mengejanya. Dunia digital sudah dimulai satu-dua dekade lalu, dan
pada saat yang sama tumbuh alat penerima komunikasi yang makin canggih. Alat
komunikasi kita sekarang memungkinkan untuk tidak sekadar berkomunikasi lisan,
tetapi juga berkomunikasi dengan tukar-menukar data, berkirim pesan tertulis,
gambar, semua dalam jumlah besar.
Dunia industri media saat ini
berubah total. Bagaimana nasib jurnalisme dalam kondisi industri media massa
kini? Apakah jurnalisme masih relevan? Bagaimana cara membuatnya tetap relevan?
Apakah ada yang secara mendasar berubah dari sisi produksi pesan komunikasi
hari ini? Siapa yang disebut audiensi pada masa sekarang? Bagaimana informasi
didistribusikan pada hari ini? Dan sejumlah pertanyaan lain.
Beberapa tahun lalu, dalam seminar
di University of California, Los Angeles, AS, muncul pernyataan ”What we need now is journalism, not
newspaper...” Sekarang, makna dari pernyataan itu makin jadi jelas bahwa
jurnalisme adalah suatu yang tetap penting mengisi media pada hari ini, lepas
dari aneka bentuk media yang akan membawanya.
Mungkin saja surat kabar makin lama
makin tidak populer, dan banyak orang sekarang lebih mengonsumsi jurnalisme
lewat mobile media, tetapi isi media bernama jurnalisme tetap
memiliki posisi yang penting.
Jurnalisme macam apa?
Dalam kondisi yang terus berubah
ini, kita patut bertanya, jurnalisme macam apa yang harus digunakan karena
informasi yang disajikan kini beredar hanya dalam hitungan jam atau menit dari
saat peristiwa terjadi. Informasi yang dihasilkan bisa saja lebih banyak
dibandingkan yang diproduksi dua dekade lalu.
Audiensi menerima informasi dari
aneka penjuru: dari media tradisional seperti surat kabar dan majalah, media
baru semacam media online, televisi, serta media sosial (yang harus
diverifikasi sebelum diyakini kebenarannya), dan lewat jaringan-jaringan di
mana kita terlibat.
Untuk kondisi ini, kalimat
bijak ”content is the king” makin relevan. Jika jurnalisme ingin
tetap relevan dan menemui pembaca lama dan barunya, jurnalisme harus terus
berinovasi. Jurnalisme masa sekarang tak lagi menunggu peristiwa terjadi atau
menunggu apa yang akan dikomentari atau dikemukakan oleh pejabat atau artis.
Jurnalisme saat ini harus lebih proaktif dan kreatif menciptakan konten baru.
Konten semacam ini harus makin mendekat kepada audiensi, dan juga memberi ruang
kepada audiensi untuk berinteraksi.
Berbagai forum pimpinan media dalam
dan luar negeri sepakat, media yang bisa bertahan adalah media yang makin
mendekatkan diri dengan audiensinya. Artinya, pembuat pesan sebagaimana konsep
lama komunikasi tidak semata-mata para pengelola media, tetapi audiensi bisa
berkontribusi menghasilkan konten lain.
Sebagian besar berita yang dibuat
wartawan mudah direspons pembaca secara cepat, bahkan setelah pembaca selesai
membaca berita. Berita langsung dikomentari—juga langsung disebarkan
lewat link via media sosial—sehingga pendistribusian informasi
bergerak sangat cepat.
Jurnalisme saat ini perlu makin
cerdas untuk mengimbangi audiensi yang juga makin cerdas. Sumber informasi
audiensi zaman sekarang bisa datang dari berbagai media.
Cara memeriksa kebenaran suatu
informasi mudah dilakukan dengan membandingkan isi media satu dengan yang lain.
Organisasi media yang hendak terus maju perlu mempertimbangkan strategi isi
media yang tidak mudah ditelan waktu, sesuatu yang memberikan bacaan penting
untuk diingat lebih lama. Konten seperti itu memberikan kesempatan audiensi
turut berkomentar atas isinya.
Dalam peringatan hari ulang tahun
ke-48, Kompas meluncurkan edisi siang dalam versi
digital. Kompas sadar perkembangan pesat ini harus direspons dengan
strategi baru di mana konten dihasilkan bukan sekadar follow
up berita yang telah dihasilkan sebelumnya, tetapi dengan konten yang
berdiri sendiri dan tetap menarik untuk dibaca tanpa tergesa.
Inilah cara Kompas untuk
makin mengeja perkembangan dunia digital. Aneka inovasi memang dibutuhkan untuk
membuat jurnalisme tetap relevan kepada audiensi dan menambah nilai dari
informasi yang disampaikan. Apakah inovasi semacam ini berhasil atau tidak,
kita masih harus melihat perkembangannya. Namun, yang pasti dunia digital
memberi peluang besar untuk langkah-langkah inovatif.
Di belahan dunia lainnya, inovasi
sejenis dilakukan oleh sejumlah organisasi media. Namun, kita harus selalu
kembali pada kontekstualisasi kondisi yang kita hadapi di Indonesia:
infrastruktur, postur industri media, sumber daya manusia, dan kreativitas.
Makin banyak kita belajar mengeja
(dan melihat orang lain juga mengeja dunia yang sama) akan semakin baik untuk
membantu pemahaman kita terhadap dunia baru yang sejauh ini seperti tak
berujung. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar