|
KOMPAS,
03 Juli 2013
Tidak banyak yang tahu, Indonesia
memiliki tak kurang 67 perjanjian investasi bilateral dengan negara lain hingga
kini.
Perjanjian investasi bilateral
(PIB) paling tua adalah perjanjian dengan Belgia dan Luksemburg (1970). Jumlah
PIB akan terus bertambah seiring keterlibatan Indonesia dalam perdagangan bebas
(FTA) intra-ASEAN dan ASEAN dengan non-ASEAN (Australia-Selandia Baru, China,
Jepang, Korea, dan India). Salah satu bab dalam FTA memuat perjanjian
investasi.
Keberadaan PIB sangat relevan pada
masa-masa awal pembangunan sebagai salah satu pemanis agar investor asing mau
menanamkan modal. PIB memuat komitmen pemerintah untuk melindungi investor
asing dan investasinya dari berbagai gangguan dan kerugian yang bersifat
nonkomersial. Termasuk dari gangguan keamanan akibat perang, kerusuhan sosial,
atau yang serupa. Pemerintah dilarang melakukan nasionalisasi dalam arti luas (expropriation).
Manakala pemerintah, misalnya,
lalai atau sengaja melakukan nasionalisasi dan/atau gagal menjaga keamanan
sehingga menyebabkan kerugian investor asing, investor itu dapat menuntut
pemerintah membayar kompensasi. Bahkan, sangat terbuka bagi investor asing itu
membawa tuntutannya ke arbitrase internasional.
Hak
dan kewajiban
Jadi, PIB pada prinsipnya hanya
memuat dua hal, yaitu kewajiban pemerintah melindungi investor asing dan
investasinya, serta hak-hak investor asing dan investasinya. Bentuk
perlindungan sangat luas. Tidak hanya yang disebutkan sebelumnya, tetapi juga
perlakuan yang ”adil dan sama rata” (fair
and equitable treatment) dan pemberian perlindungan dan keamanan sepenuhnya
(full protection and security). Tak
ada batasan jelas bagi kedua provisi tersebut.
Investasi yang dilindungi
pemerintah mencakup seluruh jenis, baik berwujud (tangible), seperti aset,
maupun tidak berwujud (intangible),
seperti hak cipta, merek, dan paten. Cakupan perlindungan yang sangat luas
terhadap jenis investasi yang nyaris tak terbatas itu membuka peluang bagi
investor asing untuk menggunakan PIB sebagai dasar menyelesaikan sengketa yang
timbul dengan pemerintah.
Konferensi Perdagangan dan
Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD) mencatat, perkembangan sengketa
antara investor asing dan pemerintah host country semakin meningkat.
Jika pada tahun 1990-2000 hanya tercatat 37 kasus, pada tahun 2000-2010
tercatat 355 kasus, baik yang statusnya masih dalam proses atau sudah
diputuskan.
Penyelesaian sengketa pada umumnya
melalui lembaga arbitrase seperti International
Center for Settlement of Investment Dispute (ICSID) ataupun ad-hoc, seperti United Nations Commission on International
Trade Law (UNCITRAL). PIB menjadi dasar pengajuan sengketa beberapa
perusahaan.
Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM) mencatat realisasi investasi asing selama tiga tahun terakhir meningkat
cukup tajam, masing-masing sekitar 16 miliar dollar AS (2010), 19,5 miliar
dollar AS (2011), dan 25 miliar dollar AS (2012).
Kuartal I-2013 tercatat 7 miliar
dollar AS realisasi investasi asing langsung. Lebih dari separuh (4 miliar
dollar AS) berasal dari Jepang, AS, Korea Selatan, Singapura, dan Inggris.
Sektor yang paling diminati adalah pertambangan (19,5 persen), industri kimia
dasar, barang kimia dan farmasi (17,4 persen), industri logam dasar, barang
logam, mesin dan elektronik (14,8 persen), industri alat angkutan dan
transportasi lainnya (12,3 persen), industri kertas, barang dari kertas, dan
percetakan (8,2 persen), industri lainnya (27,8 persen). Namun, realitasnya
jauh lebih besar karena BKPM tidak mencatat investasi di sektor migas,
keuangan, dan rumah tangga.
Potensi
implikasi
Seiring jumlah investasi asing yang
semakin meningkat tiap tahun, seyogianya pemerintah semakin mewaspadai potensi
dari implikasi perlindungan kepada investor asing. Sebagai negara yang ikut
menandatangani konvensi ICSID, anggota UNCITRAL, dan pemilik 67 PIB, Indonesia
harus bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Beberapa kasus bisa dijadikan
pelajaran. Sebut saja kasus Amco Asia Corporation (1980-an), Karaha Bodas
Company (1990-an), dan yang terbaru, Churcill (2012). Kasus terakhir ini
menggunakan PIB Indonesia-Inggris tahun 1976 sebagai rujukan atas gugatan
kepada pemerintah 2 miliar dollar AS (Kompas,
6/7/2012). PIB Indonesia-Inggris 1976 itu juga digunakan Rafat Ali untuk
menggugat pemerintah dalam kasus Bank Century.
Beberapa kasus itu bisa dirujuk
pemerintah dalam meninjau kembali perjanjian investasi yang dimiliki, termasuk
PIB. Salah satu yang dapat dilakukan, menegosiasi ulang PIB. Misalnya, menambah
beberapa pasal pengaman dalam PIB, antara lain mengecualikan kebijakan
pemerintah demi kepentingan publik, termasuk kebijakan memelihara kestabilan
sistem keuangan dan perlindungan konsumen sehingga ada keseimbangan dan sikap
saling menghormati antara investor asing sebagai pemilik modal dan pemerintah
sebagai tuan rumah yang berdaulat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar