|
KOMPAS,
03 Juli 2013
Pemerintah kembali memasukkan RUU
Komponen Cadangan dalam program legislasi tahun ini. Meski menuai kontroversi,
pemerintah ingin RUU ini dapat dibahas dan disahkan DPR periode sekarang.
Sejak awal pemerintah selalu
membantah bahwa komponen cadangan bukan wajib militer, padahal substansi RUU
Komponen Cadangan bersifat wajib dan bukan sukarela. Hal itu terlihat dari
persyaratan yang mewajibkan warga negara berusia di atas 18 tahun ikut latihan
dasar kemiliteran. Warga negara yang menolak diancam sanksi pidana.
Secara eksplisit, Pasal 8 Ayat (1)
RUU ini menyebutkan bahwa ”pegawai negeri sipil, pekerja, dan atau buruh yang
telah memenuhi persyaratan wajib menjadi anggota komponen cadangan”.
Pasal 38 Ayat (1) menegaskan bahwa
setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat (1) dan (2) yang memenuhi persyaratan,
dengan sengaja tidak memenuhi panggilan menjadi anggota komponen cadangan tanpa
alasan yang sah dipidana penjara paling lama satu tahun.
Tidak ada satu pun klausul pasal
yang menegaskan bahwa dari perekrutan awal latihan dasar kemiliteran hingga
menjadi anggota komponen cadangan bersifat sukarela.
Tujuan
dan urgensi
Menurut para pejabat Kementerian
Pertahanan, maksud dan tujuan pembentukan komponen cadangan adalah memperbesar
dan memperkuat kekuatan pertahanan (TNI), detterent effect, bela negara,
dan nasionalisme maupun efisiensi anggaran.
Secara normatif, tujuan pembentukan
dan penggunaan komponen cadangan dalam Pasal 2 RUU ini adalah ”untuk
memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan TNI sebagai komponen utama
penyelenggaraan pertahanan negara.”
Dengan tujuan itu, komponen
cadangan bisa dilibatkan membantu tugas TNI dalam kerangka operasi militer,
dari pengamanan perbatasan, menghadapi gerakan separatisme dan terorisme,
hingga ikut perang, sebagaimana di atur Pasal 7 Ayat (2) UU TNI. Hal sangat
mengkhawatirkan karena komponen cadangan bisa menjadi sarana dilegalkannya para
milisi untuk menghadapi kelompok masyarakat sendiri. Padahal, kehadiran
milisi-milisi di Timur Leste, Aceh, Papua, dan juga Pam Swakarsa pada awal
reformasi telah menjadi masalah dalam berbagai konflik, termasuk terlibat dalam
pelanggaran HAM.
Dalam realitas tata kelola sektor
pertahanan yang belum profesional seharusnya pemerintah fokus untuk memperkuat
komponen utamanya, yakni TNI. Perlu penguatan alat utama sistem persenjataan
(alutsista), menjamin kesejahteraan prajurit dan membangun tata sistem negara
hukum yang benar, yakni dengan reformasi peradilan militer melalui revisi UU No
31/1997 tentang peradilan militer.
Kendati anggaran pertahanan setiap
tahun meningkat, hal itu tidak menunjukkan bahwa komponen utamanya telah
terpenuhi dalam pengadaan alutsista dan kesejahteraan prajuritnya. Pembangunan
alutsista masih pada tahapminimum essential forces.
Merujuk pada buku putih pertahanan
dan postur pertahanan negara yang dikeluarkan Kementerian Pertahanan
diperkirakan jumlah kekuatan Komponen Cadangan sampai 20 tahun akan datang
mencapai 160.000 personel untuk cadangan TNI AD, TNI AL, dan TNI AU. Setiap
tahun lebih kurang akan ada pelatihan 8.000 anggota.
Di sisi lain, pemerintah membantah
bahwa komponen cadangan akan membebani anggaran karena logika zero growth, yakni komponen utamanya
akan dikurangi masa datang. Kalaupun logika zero growth itu diterapkan, seyogianya pemerintah
mengalokasikan sisa anggaran dari pengurangan jumlah personel TNI untuk
penguatan alutsista dan kesejahteraan prajurit.
Jika kita kembali melihat
perencanaan Kementerian Pertahanan dalam buku postur pertahanan, pemerintah
ternyata juga akan memperbesar postur pertahanan negaranya, seperti rencana
membangun dua divisi kostrad baru, yakni di Sulawesi dan Papua serta membangun
beberapa Kodam baru yang tentu akan membutuhkan penambahan personel komponen
utama.
Itu artinya ada kontradiksi dalam
perencanaan kementerian pertahanan, di satu sisi menyatakan pengurangan jumlah
personel dengan zero growth tetapi di sisi lain ada rencana menambah
komponen utamanya.
Nasionalisme
atau fasisme
Pemerintah juga pernah menyatakan
pembentukan komponen cadangan karena alasan bela negara dan nasionalisme. Dalam
konteks kekinian, bela negara dan alasan nasionalisme sudah seharusnya tidak
lagi ditafsirkan sempit, yakni sebatas kewajiban latihan dasar kemiliteran yang
cenderung bersifat state centris. Bela negara dan rasa cinta tanah air itu
bisa diwujudkan dalam berbagai macam tindakan.
Peran masyarakat sipil dalam
mengontrol kekuasaan atau pun pengabdian sosial seperti membantu korban bencana
alam juga wujud dari nasionalisme. Kelompok pegiat antikorupsi seperti ICW juga
merupakan perwujudan dari bela negara. Justru yang harus dipertanyakan adalah
semangat bela negara pemerintah karena membiarkan perusahaan asing
mengeksploitasi sumber daya alam kita.
Hati-hati dengan jargon
”nasionalisme” sempit dan membabi buta karena bisa menjerumuskan kita dalam
rezim fasisme, sebagaimana pernah dialami pada masa suram Hitler di Jerman.
Banyak negara yang dahulu
menerapkan wamil kini sudah menghapusnya, termasuk negara-negara di Uni Eropa.
Terakhir pemerintah Jerman pada 2011.
Di era globalisasi, negara-negara
yang sudah menghapus wamil lebih menitikberatkan pentingnya penguatan teknologi
dan tentara yang profesional sebagai faktor penentu kemenangan. Apalagi dalam
menghadapi asymetric warfare yang sedang berkembang, wajib militer
melalui pelatihan dasar kemiliteran dinilai sudah tidak relevan lagi.
Sebagian besar negara-negara Uni
Eropa yang juga tergabung dalam OECD menilai bahwa wajib militer mengganggu
roda ekonomi dan mengganggu tingkat produktivitas angkatan kerja.
Konsep wajib militer dengan
menjatuhkan sanksi pidana juga dinilai bertentangan dengan hak asasi manusia.
Komisi Tinggi HAM PBB melalui resolusi 1998/77 telah mengeluarkan resolusi
mengenai penolakan terhadap wajib militer oleh seseorang atas dasar keyakinan
dan agamanya karena menolak penyelesaian konflik dengan senjata (conscientious objection).
Saat ini, konflik yang berkembang
pascaperang dingin juga lebih banyak menunjukkan konflik yang terjadi dalam
negara (intra state conflict)
ketimbang konflik antarnegara (inter
state conflict). Dalam kecenderungan seperti ini, peran tentara,
kepolisian, dan intelijen yang profesional lebih penting diwujudkan ketimbang
wajib militer. Menjamin keadilan politik dan keadilan ekonomi tentunya juga
penting.
Lebih dari itu, pembangunan ASEAN Community di kawasan Asia Tenggara
tentunya juga akan berpengaruh pada semakin kecilnya penggunaan metode perang
dalam menyelesaikan sengketa antarnegara.
Alasan
geopolitik
Meski demikian, harus diakui,
hingga kini masih terdapat negara yang terus melibatkan masyarakat dalam wajib
militer. Namun, negara tersebut memiliki alasan historis, alasan geopolitik,
dan alasan ancaman yang nyata sehingga mereka menerapkan wajib militer, seperti
Singapura, Israel, dan Korea Selatan.
Dalam kecenderungan itu bukan wamil
ataupun komponen cadangan bukan pilihan tepat. Yang dibutuhkan adalah bagaimana
mewujudkan tentara yang profesional dengan menyediakan alutsista yang lebih
modern serta diikuti dengan peningkatan kesejahteraan bagi prajurit TNI. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar