|
KOMPAS,
01 Juli 2013
Banyak pihak
yang semula menyangka, setelah harga bahan bakar minyak subsidi dinaikkan−
menyusul kenaikan BI Rate menjadi 6 persen, otomatis rupiah segera menguat.
Kenyataannya, rupiah masih terus berjuang agar tidak melampaui batas psikologis
Rp 10.000 per dollar AS. Kini kurs rupiah di kisaran Rp 9.900 per dollar AS.
Sementara itu, Indeks Harga Saham Gabungan jatuh dari 5.200 ke 4.400 sebelum
ditutup 4.818 akhir pekan lalu. Apakah kebijakan kenaikan harga BBM keliru?
Kenaikan harga
BBM jelas tidak keliru. Bahkan, kalau mau jujur, tingkat harga Rp 6.500 per liter
masih murah. Harga BBM pernah menjadi Rp 6.500 per liter tahun 2009 saat harga
minyak dunia saat itu 45 dollar AS per barrel. Kini harga minyak sudah lebih
dari 100 dollar AS per barrel.
Ketika menulis
kolom ini, saya sedang berada di Turki. Harga BBM di Turki saat ini sekitar 4,5
lira Turki atau setara Rp 24.000 per liter. Inilah harga BBM tertinggi di dunia
bersama Norwegia. Padahal, pendapatan per kapita kedua negara beda jauh: Turki
”hanya” 15.000 dollar AS, sedangkan Norwegia 60.000 dollar AS.
Tentu saja kita
tidak bisa meniru Turki dalam kebijakan harga BBM karena perbedaan
karakteristik kedua negara. Saat orang Turki sudah terbiasa mengimpor minyak,
masyarakat kita telanjur mengira sebagai negara penghasil minyak yang besar,
padahal tidak. Salah kaprah. Cadangan minyak kita cuma 4 miliar barrel. Jauh di
bawah Venezuela (296 miliar barrel) dan Arab Saudi (265 miliar barrel).
Untuk mengubah
persepsi yang keliru ini tentu tidak bisa dalam sekejap. Pemerintah perlu
mengedukasi bahwa kita tidak memiliki cadangan minyak besar. Karena itu, kita
harus memperlakukan BBM sebagai barang langka, tidak boleh dihamburkan, apalagi
menyubsidi BBM untuk orang yang tidak tepat. Konsekuensinya, harga BBM harus
lebih mahal. Filosofi ini sudah dimiliki rakyat Turki sehingga dari harga BBM
yang tinggi, pemerintah bisa memperoleh pajak.
Pelan tapi
pasti, harga BBM di Indonesia pun secara berangsur-angsur didekatkan pada angka
keekonomian (Rp 9.000 per liter). Namun, untuk saat ini, kenaikan harga BBM
yang terjadi beberapa hari lalu sudah cukup baik. Karena jika dinaikkan lebih
tinggi lagi, dikhawatirkan akan menyulut inflasi yang bebannya tak bisa
ditanggung. Inflasi tahun ini diduga akan bergerak 7-8 persen. Dengan level
ini, kenaikan BI Rate dari 5,75 persen menjadi 6 persen sesungguhnya belum
memadai. Inilah salah satu alasan yang saya duga kuat mendasari tetap
melemahnya rupiah terhadap dollar AS.
Dengan
ekspektasi inflasi yang lebih besar daripada suku bunga acuan, bank-bank kini
mulai bekerja keras mencari likuiditas atau dana masyarakat. Beberapa bank
bahkan mulai mengalami kemerosotan dana pihak ketiga (DPK). Banyak bank harus
menaikkan suku bunga deposito melampaui suku bunga penjaminan yang ditetapkan
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Mengapa penabung berani menyimpan dananya di
bank, padahal suku bunganya di atas bunga penjaminan LPS, karena mereka masih
percaya kepada bank.
Lalu, apa
gunanya LPS dan LPS Rate? Saat ini dana milik LPS hanya Rp 30 triliun. Jadi,
jika ada bank papan atas yang aset totalnya Rp 100 triliun hingga Rp 650
triliun bangkrut, sesungguhnya LPS tidak mungkin mampu. Karena itu, bagi
nasabah, faktor terpenting dalam menyimpan dana adalah derajat kepercayaan atau
kredibilitas bank yang dia pilih untuk menyimpan dananya.
Karena itu,
dengan situasi terakhir perbankan itu, sesungguhnya pergerakan suku bunga
perbankan tidak lagi sepenuhnya menggantungkan diri pada sinyal BI Rate dan LPS
Rate. Tarik-menarik pasar lebih kuat berpengaruh daripada suku bunga yang
ditetapkan oleh BI dan LPS. BI Rate boleh dipatok 6 persen, sementara LPS Rate
5,75 persen, tetapi tidak ada jaminan bahwa suku bunga deposito mengikuti di
level tersebut. Jika bank kaku mengikuti angka ini, risikonya mereka kehilangan
likuiditas. Lalu, ke mana dana tersebut mengalir? Yang paling favorit adalah ke
pasar modal dan pembelian valuta asing.
Buktinya, IHSG
pernah menembus rekor 5.200, padahal tidak ada tanda perbaikan fundamental yang
berarti pada kinerja emiten dan kondisi perekonomian makro. Ini artinya,
likuiditas migrasi dari bank ke pasar modal. Dana ”tidak kerasan” dengan suku
bunga rendah di bank, lalu mencari peruntungan di pasar modal yang menjanjikan capital
gain. Secara industri, perbankan kini praktis stagnasi dalam pengumpulan DPK.
Pada beberapa bank, DPK bahkan turun.
Bagi BI, kini
pilihannya ada dua. Pertama, BI menunggu perkembangan dana asing. Ketika IHSG
tembus 5.200, memang terjadi profit taking, yakni investor ambil posisi
jual untuk memetik keuntungan. Hasil penjualan tersebut kemudian dibawa ke luar
negeri. Itulah sebabnya terjadi arus dana keluar dalam jumlah besar, yang
diperkirakan Rp 43 triliun. Namun, saat IHSG turun ke 4.400, level ini
dipandang terlalu rendah sehingga bisa menarik kembali dana-dana itu ke
Indonesia. IHSG naik ke 4.800 bisa diduga merupakan sinyal kembalinya dana
asing, yang akan membuat rupiah menguat.
Kedua, segera
naikkan BI Rate lagi menjadi 6,25 persen. Untuk kompensasi nasabah bank dari
gerogotan inflasi di atas 7 persen.
Namun, bisa
saja BI menempuh keduanya. Artinya, sekalipun dana asing mulai kembali, hal itu
belum tentu cukup untuk mengembalikan rupiah ke level Rp 9.700-Rp 9.800 per
dollar AS. Untuk lebih memastikan rupiah tidak mengalami volatilitas yang
tinggi, BI Rate bisa saja perlu segera dinaikkan lagi. Memang ada risiko
perlambatan pertumbuhan kredit bank ke level sedikit di bawah 20 persen. Namun,
itu masih cukup untuk mendukung pertumbuhan ekonomi setidaknya 6 persen tahun
ini. Inilah target paling realistis dalam kondisi serba terbatas seperti
sekarang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar