Senin, 01 Juli 2013

Memahami Tekanan pada Nilai Rupiah

Memahami Tekanan pada Nilai Rupiah
A Tony Prasetiantono ;  Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
KOMPAS, 01 Juli 2013


Banyak pihak yang semula menyangka, setelah harga bahan bakar minyak subsidi dinaikkan− menyusul kenaikan BI Rate menjadi 6 persen, otomatis rupiah segera menguat. Kenyataannya, rupiah masih terus berjuang agar tidak melampaui batas psikologis Rp 10.000 per dollar AS. Kini kurs rupiah di kisaran Rp 9.900 per dollar AS. Sementara itu, Indeks Harga Saham Gabungan jatuh dari 5.200 ke 4.400 sebelum ditutup 4.818 akhir pekan lalu. Apakah kebijakan kenaikan harga BBM keliru?
Kenaikan harga BBM jelas tidak keliru. Bahkan, kalau mau jujur, tingkat harga Rp 6.500 per liter masih murah. Harga BBM pernah menjadi Rp 6.500 per liter tahun 2009 saat harga minyak dunia saat itu 45 dollar AS per barrel. Kini harga minyak sudah lebih dari 100 dollar AS per barrel.
Ketika menulis kolom ini, saya sedang berada di Turki. Harga BBM di Turki saat ini sekitar 4,5 lira Turki atau setara Rp 24.000 per liter. Inilah harga BBM tertinggi di dunia bersama Norwegia. Padahal, pendapatan per kapita kedua negara beda jauh: Turki ”hanya” 15.000 dollar AS, sedangkan Norwegia 60.000 dollar AS.
Tentu saja kita tidak bisa meniru Turki dalam kebijakan harga BBM karena perbedaan karakteristik kedua negara. Saat orang Turki sudah terbiasa mengimpor minyak, masyarakat kita telanjur mengira sebagai negara penghasil minyak yang besar, padahal tidak. Salah kaprah. Cadangan minyak kita cuma 4 miliar barrel. Jauh di bawah Venezuela (296 miliar barrel) dan Arab Saudi (265 miliar barrel).
Untuk mengubah persepsi yang keliru ini tentu tidak bisa dalam sekejap. Pemerintah perlu mengedukasi bahwa kita tidak memiliki cadangan minyak besar. Karena itu, kita harus memperlakukan BBM sebagai barang langka, tidak boleh dihamburkan, apalagi menyubsidi BBM untuk orang yang tidak tepat. Konsekuensinya, harga BBM harus lebih mahal. Filosofi ini sudah dimiliki rakyat Turki sehingga dari harga BBM yang tinggi, pemerintah bisa memperoleh pajak.
Pelan tapi pasti, harga BBM di Indonesia pun secara berangsur-angsur didekatkan pada angka keekonomian (Rp 9.000 per liter). Namun, untuk saat ini, kenaikan harga BBM yang terjadi beberapa hari lalu sudah cukup baik. Karena jika dinaikkan lebih tinggi lagi, dikhawatirkan akan menyulut inflasi yang bebannya tak bisa ditanggung. Inflasi tahun ini diduga akan bergerak 7-8 persen. Dengan level ini, kenaikan BI Rate dari 5,75 persen menjadi 6 persen sesungguhnya belum memadai. Inilah salah satu alasan yang saya duga kuat mendasari tetap melemahnya rupiah terhadap dollar AS.
Dengan ekspektasi inflasi yang lebih besar daripada suku bunga acuan, bank-bank kini mulai bekerja keras mencari likuiditas atau dana masyarakat. Beberapa bank bahkan mulai mengalami kemerosotan dana pihak ketiga (DPK). Banyak bank harus menaikkan suku bunga deposito melampaui suku bunga penjaminan yang ditetapkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Mengapa penabung berani menyimpan dananya di bank, padahal suku bunganya di atas bunga penjaminan LPS, karena mereka masih percaya kepada bank.
Lalu, apa gunanya LPS dan LPS Rate? Saat ini dana milik LPS hanya Rp 30 triliun. Jadi, jika ada bank papan atas yang aset totalnya Rp 100 triliun hingga Rp 650 triliun bangkrut, sesungguhnya LPS tidak mungkin mampu. Karena itu, bagi nasabah, faktor terpenting dalam menyimpan dana adalah derajat kepercayaan atau kredibilitas bank yang dia pilih untuk menyimpan dananya.
Karena itu, dengan situasi terakhir perbankan itu, sesungguhnya pergerakan suku bunga perbankan tidak lagi sepenuhnya menggantungkan diri pada sinyal BI Rate dan LPS Rate. Tarik-menarik pasar lebih kuat berpengaruh daripada suku bunga yang ditetapkan oleh BI dan LPS. BI Rate boleh dipatok 6 persen, sementara LPS Rate 5,75 persen, tetapi tidak ada jaminan bahwa suku bunga deposito mengikuti di level tersebut. Jika bank kaku mengikuti angka ini, risikonya mereka kehilangan likuiditas. Lalu, ke mana dana tersebut mengalir? Yang paling favorit adalah ke pasar modal dan pembelian valuta asing.
Buktinya, IHSG pernah menembus rekor 5.200, padahal tidak ada tanda perbaikan fundamental yang berarti pada kinerja emiten dan kondisi perekonomian makro. Ini artinya, likuiditas migrasi dari bank ke pasar modal. Dana ”tidak kerasan” dengan suku bunga rendah di bank, lalu mencari peruntungan di pasar modal yang menjanjikan capital gain. Secara industri, perbankan kini praktis stagnasi dalam pengumpulan DPK. Pada beberapa bank, DPK bahkan turun.
Bagi BI, kini pilihannya ada dua. Pertama, BI menunggu perkembangan dana asing. Ketika IHSG tembus 5.200, memang terjadi profit taking, yakni investor ambil posisi jual untuk memetik keuntungan. Hasil penjualan tersebut kemudian dibawa ke luar negeri. Itulah sebabnya terjadi arus dana keluar dalam jumlah besar, yang diperkirakan Rp 43 triliun. Namun, saat IHSG turun ke 4.400, level ini dipandang terlalu rendah sehingga bisa menarik kembali dana-dana itu ke Indonesia. IHSG naik ke 4.800 bisa diduga merupakan sinyal kembalinya dana asing, yang akan membuat rupiah menguat.
Kedua, segera naikkan BI Rate lagi menjadi 6,25 persen. Untuk kompensasi nasabah bank dari gerogotan inflasi di atas 7 persen.

Namun, bisa saja BI menempuh keduanya. Artinya, sekalipun dana asing mulai kembali, hal itu belum tentu cukup untuk mengembalikan rupiah ke level Rp 9.700-Rp 9.800 per dollar AS. Untuk lebih memastikan rupiah tidak mengalami volatilitas yang tinggi, BI Rate bisa saja perlu segera dinaikkan lagi. Memang ada risiko perlambatan pertumbuhan kredit bank ke level sedikit di bawah 20 persen. Namun, itu masih cukup untuk mendukung pertumbuhan ekonomi setidaknya 6 persen tahun ini. Inilah target paling realistis dalam kondisi serba terbatas seperti sekarang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar