|
KOMPAS,
01 Juli 2013
Beberapa tahun silam, saya mendapat kunjungan dari seorang
kolega asal Jepang. Setelah mendapat gelar doktor dari Universitas Tokyo,
kolega saya ini menjabat sebagai dosen di sebuah universitas kecil di Tokyo.
Ketika itu,
saya bertanya kepadanya, mengapa ia tidak menjadi dosen di Universitas Tokyo
mengingat prestasinya yang sangat baik. Dalam dua tahun setelah kelulusannya,
ia telah memublikasikan tak kurang dari 14 paper di berbagai jurnal
internasional dan pada saat itu ia sedang menulis enam paper berikutnya. Ia
menjawab, Universitas Tokyo sedang tidak mempunyai lowongan dosen baru. Lalu saya
bertanya lagi, jika ada lowongan nanti, apakah ia akan melamar. Tentu saja,
katanya. Namun, ia menambahkan, persaingan akan sangat ketat.
Masuk akal.
Menurut The Times Higher Education
Supplement Survey, Universitas Tokyo merupakan universitas terbaik di Asia.
Kualitas perguruan
tinggi Indonesia
Dalam satu
dekade terakhir, sejumlah perguruan tinggi terkemuka di Indonesia tiba-tiba
memiliki visi menjadi universitas kelas dunia, bahkan tak sedikit yang mengaku
telah menjadi perguruan tinggi kelas dunia.
Menurut
Webometrics, lembaga independen asal Spanyol yang juga rutin melakukan
pemeringkatan perguruan tinggi dunia, beberapa perguruan tinggi Indonesia
rupanya telah dikenal di dunia walaupun masih jauh tertinggal di belakang
perguruan tinggi Jepang, China, Taiwan, Hongkong, Singapura, dan Thailand.
Secara umum,
masih ada banyak hal yang perlu dibenahi pada perguruan tinggi kita. Bukan
sekadar untuk meningkatkan peringkat, melainkan lebih untuk meningkatkan
kualitas perguruan tinggi kita. Kualitas dalam hal apa? Tentunya kualitas dalam
kegiatan Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan
pengabdian kepada masyarakat. Namun, untuk meningkatkan kualitas Tridharma,
kita juga perlu meningkatkan kualitas sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pendanaan,
serta kualitas para pelakunya, yakni para dosen dan tenaga pendukung, yang akan
berdampak langsung pada kualitas Tridharma.
Dalam tulisan
ini, saya akan menyoroti kualitas dosen. Dibandingkan dengan perguruan tinggi
di negara lain seperti Jepang atau Singapura, betapa mudahnya orang menjadi
dosen di Indonesia. Hanya dengan menyandang gelar magister, orang dapat menjadi
dosen di perguruan tinggi kita.
Saat ini, dari
sekitar 270.000 dosen (dan peneliti) pada perguruan tinggi negeri dan swasta,
hanya sekitar 23.000 yang berpendidikan doktor (Kompas, 27 Mei 2013). Pada saat yang sama, terdapat 3.200 lebih
perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia. Jadi, secara rata-rata, hanya
terdapat 7-8 doktor per perguruan tinggi.
Selebihnya
hanya bergelar master dan tak sedikit pula yang berbekal ijazah sarjana. Di
sebuah perguruan tinggi ternama, jumlah doktor memang bisa melampaui 1.000 orang,
tetapi ini justru menunjukkan distribusi doktor yang sangat tidak merata di
antara perguruan tinggi kita.
Kualitas dosen
Itu baru
tentang ijazah yang dimiliki dosen kita. Jika kita tengok lebih jauh kualitas
dosen yang tersebar di berbagai perguruan tinggi sekarang ini, hati kita bisa
lebih menciut lagi.
Menurut
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor
17 Tahun 2013 yang baru saja diberlakukan pun, seseorang dapat meraih jabatan
tertinggi, yaitu guru besar, tanpa harus memiliki prestasi yang istimewa dalam
penelitian. Hanya dengan memiliki satu atau dua publikasi internasional sejak
menjadi lektor, seorang dosen dapat diusulkan menjadi guru besar asalkan ia
telah mencapai angka kredit 850, yang dikumpulkannya sejak menjadi dosen.
Di Universitas
Tokyo, orang yang kualitasnya pas-pasan seperti itu bahkan tidak layak untuk
melamar menjadi dosen. Pembaca mungkin berkilah, jangan membandingkan dengan
Universitas Tokyo dong. Memang, membandingkan perguruan tinggi Indonesia,
sekalipun perguruan tinggi terbaik kita, dengan perguruan tinggi sekelas
Universitas Tokyo, ibarat membandingkan kucing dengan harimau: sejenis, tetapi
beda kelas. Maksud saya mengemukakan hal di atas adalah untuk mendapat gambaran
kira-kira seberapa jauh posisi perguruan tinggi kita dari perguruan tinggi
kelas dunia.
Kita baru
mengamati satu aspek, yaitu kualitas dosen, melalui sistem perekrutan dan
sistem promosinya. Logisnya, dengan dosen berkualitas rendah, apa yang dapat
kita harapkan dengan kualitas Tridharma Perguruan Tinggi kita? Jika saat ini
banyak program studi yang belum terakreditasi, maka kualitas (dan juga
kuantitas) dalam penelitian dan pengabdian kepada masyarakat lebih menyedihkan
lagi.
Pemerintah,
bersama-sama dengan para pelaku pendidikan tinggi, tampaknya harus berupaya
keras untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia. Adanya
perguruan tinggi yang mempunyai visi menjadi universitas kelas dunia tentu
perlu didukung. Namun, untuk menjadi perguruan tinggi yang diakui dunia, kita
tentunya perlu mempelajari karakteristik unggul dari sejumlah perguruan tinggi
ternama pada tataran global, untuk dilakoni dan kita capai di kemudian hari.
Belajar ke negeri
China
Itulah yang
dilakukan Pemerintah China, misalnya, pada tahun 1990-an, dan sebagaimana kita
ketahui Universitas Beijing dan Universitas Tsinghua saat ini termasuk dalam
jajaran perguruan tinggi papan atas. Dalam bukunya Education for 1.3
Billion, Li Lanqing, eks PM China pada 1993-2003, menjelaskan bagaimana
konsepnya tentang universitas kelas dunia.
Menurut Li,
sebuah universitas papan atas harus mempunyai reputasi akademik yang mapan dan
sumber daya akademik yang kaya. Selain itu, sebuah universitas kelas dunia
lahir dengan pengembangan diri dan upaya tanpa pamrih untuk memenuhi standar
universal. Karena itu, tidak masuk akal menargetkan setiap perguruan tinggi
menjadi kelas dunia. Apalagi tidak semua universitas atau perguruan tinggi
mempunyai potensi untuk menjadi institusi kelas dunia.
Dalam
pengamatan Li Lanqing, terdapat sejumlah karakteristik perguruan tinggi kelas
dunia, antara lain menyangkut kualitas dosennya dan kemampuan perguruan tinggi
tersebut dalam merekrut dan mendidik banyak orang terkenal, sebagian di antara
lulusannya menjadi orang yang berhasil dalam kariernya dan mengharumkan nama
almamaternya.
Tampaknya,
dalam upaya meningkatkan kualitas perguruan tinggi di Indonesia, kita harus
belajar dari China. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar